4;

704 125 0
                                    

Berhubung ini hari pertama Hava, Tissa berbaik hati mengantar mereka ke sekolah, Heidy duduk di bangku depan sementara Hava di belakang bersama Celia yang anteng di baby seat-nya.

"Mami sekalian mau belanja nih. Nitip apa kalian?"

"SNACK! Stok cola-ku juga abis, Mi."

Tissa melirik putrinya dari kaca tengah, Hava diam, hanya menatap jalanan Jakarta yang sudah macet padahal baru pukul enam pagi.

"Va? Mau nitip sesuatu?"

"Hm? Apa tante?"

"Mami mau belanja bulanan, kamu mau dibeliin apa?"

"Oh itu ... nggak ada kok."

Tissa tau, butuh waktu untuk mengambil hati Hava, meluluhkan perempuan itu adalah tantangan tersendiri.

Tapi, dia nggak akan menyerah. Saat Jo bilang dia menerimanya juga Heidy sebelum mereka mengikat janji. Tissa juga bersumpah akan menyayangi Hava sebagaimana dia melimpahkan kasihnya pada Heidy atau Celia.

"Gimana kalo nemenin mami belanja aja? Nanti mami jemput."

"Abang ikuuuuut!"

"Nggak ya!" Tissa melotot galak, "Kamu tuh kalo ikut cuma nambah-nambahin belanjaan aja."

"Ish! Kan aku juga yang dorong troli."

"Makanya, kamu manfaatin buat masukin semua snack micinmu itu."

"Mamiiiii."

Hava tersenyum tipis, perdebatan Heidy dan Tante Tissa mengingatkan dia pada sesi belanja bersama mama.

Dia yang selalu merengek untuk membeli semua varian snack dan mama yang melotot sembari mengembalikan semuanya ke rak.

Ah, wanita itu apa kabar ya?

Pesan yang Hava kirim semalam buat ngabarin kalo dia sudah sampai masih belum dibalas juga.

***

Sekolah barunya cukup luas, dengan dua lapangan basket, satu lapangan futsal dan satu lapangan voli di depan, memisahkan antara gerbang utama dan gerbang kedua.

Heidy jalan dua langkah lebih dulu, sementara Hava di belakangnya.

Masih merasa bersalah setelah menepis lengan abangnya yang hendak menggandengnya.

"Ini ruang guru, masuk aja dulu. Papa udah lapor sih tiga hari yang lalu."

"Okay ... makasih ya abang."

"Kalo ada apa-apa, chat abang."

"Iya."

Heidy sudah kelas sebelas, mengambil penjurusan IPS sementara Hava di kelas IPA sesuai dengan kelasnya dulu di Surabaya.

"Permisi?"

"Oh, murid baru itu ya?"

Bibirnya tersenyum canggung, "Iya, bu."

"Sini, wali kelasnya belum datang. Duduk dulu aja."

***

11 IPA 3.

Hava berdiri di belakang wali kelasnya yang mengenalkan diri dengan nama Naimah.

Perempuan itu punya senyum lembut dengan tahi lalat di bawah bibir.

"Kebetulan ini jam mengajar ibu, ayo masuk."

Saat pintu kelas dibuka, Hava bisa lihat semua pandangan terfokus padanya, membuat gugupnya semakin meningkat.

"Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru. Namanya Hava, pindahan dari Surabaya."

Matanya terangkat, menatap penjuru kelas yang masih memakukan atensi padanya.

"Halo, selamat pagi."

"PAAGIIIII!"

"Saya Achava Brigitte Devanagari, pindahan dari Surabaya, salam kenal dan mohon bantuannya."

"HALOOO HAVAAA."

Hava tersenyum canggung, dia nggak terbiasa jadi pusat perhatian kayak gini, di Surabaya dia selalu jalan bersama Nanda, perempuan itu terlalu ceria dan extrovert, pas untuk menyembunyikan Hava yang diam dan anti sosial.

"Hava boleh duduk di samping Raya."

Ibu Naimah menunjuk satu perempuan dengan wajah datar, tidak tertarik tapi juga tidak menunjukkan rasa enggan.

"Hai," sapanya ramah, berusaha untuk berbasa-basi.

"Gue Raya."

"Hava."

"Oke anak-anak, buka halaman seratus empat, hari ini kita belajar tentang sistem organ."

Aih. Hava lupa, dia masih belum melengkapi buku paket penunjang.

Raya menggeser bukunya lebih ke tengah, "Nih, liat. Bu Imah kadang suka nunjuk random."

"Ah, makasih banyak."

Well, hari pertamanya di sekolah sejauh ini cukup baik, semoga seterusnya selalu begitu.

***

"Yang mane sih adek lu?"

Heidy menyentil jidat Lucas yang sudah menolehkan pandangan ke sana kemari, menunggu sosok perempuan yang kata Heidy adalah adiknya.

"Kok gue nggak liat ada muka baru ya?"

Di sampingnya, Arjun dan Marvin sibuk menghabiskan semangkuk soto, lelah berjibaku dengan bola futsal di jam olahraga tadi.

"Nggak ke kantin kali ya?"

"Hayoloh!" Lucas berseru heboh, "Jangan-jangan di-bully tuh adek lu."

Mangkuk Arjun disingkirkan ke samping, sebelum meneguk habis air hangatnya, "Otak lu tuh, minta banget di-bully."

"IDIH? KENAPA JADI GUE?"

"Demi Tuhan, kalo suara lu masih nggak bisa dikecilin, gue cekokin air cuci piring, liatin aje."

Marvin nggak pernah main-main dengan kalimatnya, kalau dia bilang bakalan nyekokin Lucas dengan air, maka itu pasti akan dilakukan.

Nggak peduli mereka udah berteman dari SD atau Lucas adalah teman sebangkunya. Bodo amat.

"Tuh tuh, adek gue."

"Mane sik?"

Kepala Lucas terjulur penasaran, menatap beberapa adek kelas yang baru memasuki kantin.

"Yang rambutnya dikuncir kuda."

"Oh, yang sama Raya?"

"Iya."

Raya itu bendahara umum OSIS yang baru dilantik bulan lalu, sementara mereka berempat adalah demisioner. Wajar kalau kenal.

"Bagus deh, temenannya sama Raya. Nggak aneh-aneh."

"Ya kalo aneh-aneh udah disamperin Heidy duluan."

Kalimat Arjun bikin Heidy ketawa, sejujurnya dia juga masih nggak tau harus mendekatkan diri dengan cara seperti apa ke Hava.

Gadis itu kadang terlihat begitu mudah dipahami, tapi tak jarang juga seperti orang yang menyembunyikan banyak sekali rahasia.

"Emang kenapa deh adek lu tiba-tiba minta pindah ke sini?"

"Mau ngerasain hidup jadi remaja ibukota, ngab."

"Alay lu, jamet!"

Matanya beradu dengan Hava yang tersenyum kecil, Heidy melambaikan tangan, berharap hadirnya bisa bikin Hava sedikit lebih nyaman.

***

nouveau chapitreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang