Tissa udah duduk di teras pas mereka tiba sore itu, Celia yang lebih dulu berlari dalam pelukan abangnya, kemudian berganti ke gendongan Jo.
Anak itu berceloteh riang tentang apa yang dia dan mami alami selama ditinggal papa dan kedua kakaknya keluar kota.
Tissa membuka lengannya saat Hava mendekat ragu, "Gimana perasaannya?"
Gadis itu memeluknya erat, "Happy ... happy banget. Aku udah lega. Makasih ya ... mami."
Pelukan Tissa di bahunya terasa nyaman dan hangat, wanita itu nggak ngomong banyak hal, tapi memastikan kalau Hava selalu punya tempat yang aman untuk kembali.
"Mandi dulu, mami tadi masak banyak."
Lengannya digandeng ke dalam, Tissa berteriak nyaring pas dengerin suara tangisnya Celia, pasti si sulung lagi ngisengin adeknya.
"Heidyyyy! Bener-bener ya tuh anak."
Tawa Hava berderai, matanya menatap sekeliling rumah yang diterangi lampu kekuningan.
Ada banyak sekali pajangan yang tergantung di dinding. Tapi, satu yang bikin senyumnya semakin lebar.
Foto Jo, Tissa, Heidy, dirinya juga Celia yang masih berusia sekian bulan.
Hava tau, selalu ada tempat di rumah papa untuknya. Sama kayak mama yang selalu menyediakan ruang hangat untuknya pulang.
Tapi, kali ini, biarlah dia menepi sejenak. Mencoba mencari siapa dirinya yang sebenarnya, mengais kembali sisa-sisa 'Achava' yang pernah tertimbun oleh luka di masa lalu.
Dia akan sembuh. Dia akan pulih.
Dan, jika saat itu tiba, dia akan berdiri di sini dengan hati yang lebih kuat dari sebelumnya.
"VAAAA. MAKAN NGGAK? ADA AYAM KEMANGIII."
Teriakan Heidy mungkin awalnya menyebalkan, tapi itu bisa mengisi hidupnya yang hening dan sepi.
"HAVAA, MAKAN SAYAAANG."
Tissa mungkin bukan ibu sambung yang sempurna, tapi wanita itu menerimanya dengan senyum tulus, mendekapnya tanpa ragu.
"Teriak-teriak mulu, apa nggak capek itu pita suara?"
Jovial pun bukan ayah yang sempurna, tapi pria itu membuktikan bahwa kasihnya tidak akan terputus meskipun hubungannya dengan ibu kandung telah usai.
"Apa sih Ceeeel? Nangis mulu kamu tuuuuh."
Tangisan Celia kadang mengganggu malamnya, tapi tawa dan kata-kata tak beraturan yang keluar dari bibirnya kadang menghibur lelahnya Hava.
Keluarga papanya bukanlah keluarga yang sangat rukun, harmonis atau family goals. Mereka sering bertengkar, berteriak, atau memaki satu sama lain.
Tapi, walau begitu, mereka tetap punya lengan yang terbuka untuk memeluk luka satu sama lain.
"Iyaaaa. Sisain buat aku, ganti baju dulu bentaaaar."
Hava tersenyum kecil, kamarnya di Jakarta akan jadi ruang singgah baru yang semoga bisa menghapus luka di hatinya.
***
"Dil ..."
"Eh, Va. Kenapa?"
Raya yang berdiri di belakangnya mendorong pelan.
"Aku minta maaf ya buat yang kemarin ... I don't have any intention to hurt you."
"Lah ... gue yang harusnya bilang gitu nggak sih?"
"Ya pokoknya gitu lah ya." Raya yang udah pengen ke kantin akhirnya menengahi. "Intinya Hava minta maaf, dia tuh ada trauma, jadi gue kasih tau aje nih buat cowok-cowok, tuh tangannya dijaga ntar gue slepet kalo berani nyentuh Hava."
"Iyeeeee."
Mendengar itu, Raya tersenyum puas, tangannya mengapit lengan Hava dan menyeretnya keluar.
"Gue nggak tau apa aja yang lu urus kemarin di Surabaya. Tapi, semoga bisa selesai dengan baik."
Hava tersenyum kecil, "Iya. makasih loh. Yuk, gue traktir."
"Wih, lagi tajir bos?"
"Iya dong."
Mereka masuk ke kantin dengan tawa kecil, ngegosipin banyak yang terjadi selama Hava ke Surabaya kemarin.
"Vaaaa. Sini, gabung."
Heidy melambai dari ujung kantin, ada beberapa temennya yang duduk melingkar di sana.
"Hadeeeeh." Raya mengeluh tapi tetap menyeret Hava ke sana.
Lebih aman soalnya.
"Makan apa?"
"Batagor, tadi dipesenin Raya."
Tangan Heidy terangkat, merapikan rambut Hava yang acak-acakan.
Ini perubahan yang cukup signifikan sih. Soalnya, Hava udah berani menerima 'sentuhan fisik', biasanya Heidy jaga jarak satu meter biar adeknya nyaman.
Tapi, terapinya berjalan dengan baik walaupun nggak mudah.
Hava menunjukkan banyak sekali perubahan positif yang bikin dia keliatan lebih cerah dan banyak senyum.
"Nanti latihan padus nggak?"
"Iyaaa. Abang tungguin dong."
"Duh, gue ada les jam segitu."
"Jemput aja kalo gituuu."
"Iyeee, liat ntar deh."
Kepalanya terangguk puas, kembali fokus ke piring batagornya. Walaupun masih belum bisa naik angkutan umum atau ojek online. Tapi, Hava udah berani gabung ke ekstrakurikuler dan memperluas pergaulannya.
Heidy menghela napas panjang, berharap ke depannya hidup Hava semakin bahagia.
***
Kening Hava mengerut bingung saat keluar dari gerbang tapi nggak menemukan motor Nmax abangnya.
Justru dia menemukan Honda CR-V berwarna hitam yang terparkir rapi dan sosok Marvin yang lagi main game di ponselnya.
Dia inget cowok ini, salah satu temennya Heidy yang sering main bareng dan mampir ke rumah.
"Abang mana, Kak?"
"Oh, hey."
Cowok itu mengantongi ponselnya sebelum menjawab pertanyaan Hava.
"Heidy ada test tambahan, kemungkinan kelarnya jam sembilan malem. Jadi, minta tolong ke gue buat anterin lu pulang."
"Oh ..."
Mendengar nada ragu dalam kalimatnya, Marvin menyerahkan satu set alat perlindungan diri.
"Ini ... apa?"
"Itu ada piso kecil, semprotan merica, stun gun sama personal alarm. Kalo misal gue ngapa-ngapain, lu pake itu buat nahan gue."
"Wow ..."
"Itu dari Heidy sih. Buat jaga-jaga aja."
"Thanks ..."
"Jadi, mau ikut gue pulang atau lu naik ojol terus gue buntutin?"
"Ikut aja."
Pintu mobil Marvin dibuka, Hava naik dan memasang safey belt.
"Gue play musik ya."
"Iya ..."
Mobil yang dikemudikan Marvin keluar dari sekolah, cowok itu nggak ngomong apa-apa, Hava juga fokus pada jalanan di luar.
Tangannya bertaut di atas paha, berusaha untuk menenangkan diri.
Nggak semua pria sebejat ayah tirinya, nggak semua laki-laki otaknya di selangkangan.
Dia mengulang kalimat itu seperti mantra, sampai tangannya berhenti gemetar dan kembali mendengarkan alunan musik yang terputar dari speaker mobil.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
nouveau chapitre
Fanfictionpergi ke Jakarta bagi Hava adalah memulai kembali hidupnya yang sempat ingin diakhiri. Warn: GS.