2;

1K 140 1
                                    

Dua minggu terasa lama sekali bagi Hava, rasanya dia pengen coret tanggal atau merobek kalender biar cepat-cepat loncat ke tanggal keberangkatannya.

Semua barang sudah di-packing, beberapa bukunya dikirim lewat kargo kemarin, tersisa dua koper besar yang akan dia bawa sendiri nanti.

Besok dia akan berangkat ke Jakarta pukul delapan pagi menggunakan Kereta Api Sembrani, menempuh perjalanan delapan jam lebih sendirian.

Beruntung, papanya memesan kelas luxury, setidaknya dia bisa istirahat dengan nyaman dalam perjalanan.

Perkiraan, dia akan tiba di Stasiun Gambir sekitar pukul setengah lima dan langsung dijemput oleh Heidy.

Napasnya dihembuskan pelan, menatap langit-langit kamar yang sudah dia tempati selama enam belas tahun ini.

Dia nyaman tinggal di Surabaya. Tapi, dia nggak bisa tinggal lebih lama lagi.

"Va ..."

Panggilan lirih dari pintu kamar membuat jantungnya berdetak kencang.

"Hava?"

Matanya terpejam, mengencangkan suara musik yang diputar melalui earphone.

***

"Sering telepon mama. Jaga kesehatan, jangan nyusahin tante Tissa, kalau ada apa-apa langsung ke mama."

"Iya ..."

"Baik-baik di sana, walaupun ada papamu tapi dia juga punya keluarga sendiri."

"Iya, Ma."

Sang mama memeluknya erat, mengecup keningnya yang tertutup poni, "Mama sayaaaang banget sama kamu, mbak. Sayaaaaang sekali. Mama belum rela kamu pindah."

"Jangan ngomong gitu dong," Hava cemberut, menatap ibunya yang pagi ini bersedia mengantar ke stasiun.

"Kapanpun kamu mau pulang, kabari mama. Nanti mama jemput atau kirim tiketnya."

"Iya."

"Bener loh."

"Iya mamaaaa."

Pandangannya beralih pada Nanda yang menghapus air mata menggunakan ujung cardigan.

"Aku masih ngambek."

Tawa Hava berderai pelan, menarik tubuh temannya dalam pelukan.

"Katanya mau masuk UI. Ya aku tunggu di Jakarta."

"Tapi, UI di Depok, Va."

"Wes, sama ae."

Nanda masih cemberut, namun nggak punya kuasa buat nahan Hava tetap di sini.

"Jangan lupain aku."

"Ya nggak bakal."

"Tenanan?"

"Iyaaaa!"

Sekali lagi mereka berpelukan, Hava nahan diri buat nggak nangis, dia harus kuat karena ini keinginannya.

"Kalo ada cowok Jakarta yang ganteng, kasih tau aku instagramnya."

"HAHAHA. Tuh, Javio ganteng, masa ditolak terus sih."

"HIIIIIIH!"

Fokusnya teralih pada Hesa, anak kecil berusia sepuluh tahun itu memajukan bibir, baru tau kalau kakaknya akan pergi jauh untuk waktu yang nggak bisa dia tentukan.

"Jangan bandel loh."

"Nggak."

"Jangan nyusahin mama."

"Nggaaaak."

"Yo wes, mbak pamit ya."

Pelukan mereka terurai saat Hava harus segera naik ke kereta, tangannya melambai kecil pada tiga orang yang melepasnya dengan air mata.

"See you!"

Hava baru bisa mengembuskan napas lega saat sudah duduk di bangkunya, dua koper juga ransel yang dia bawa diletakkan di lantai.

Tangannya mengeluarkan ponsel untuk memberi kabar ke papa juga Heidy kalau keretanya sudah bertolak dari Surabaya.

Dia bersandar pada kursi yang cukup empuk, semalam tidurnya kurang, entah terlalu excited atau takut.

Matanya mulai terpejam saat lengking lokomotif berbunyi nyaring. Keributan Stasiun Pasar Turi mulai tertinggal di belakang, sama seperti kenangan yang berusaha dikubur di kota Surabaya.

***

"Jangan lupa jemput adekmu nanti sore."

"Iya, mamiiiii."

Heidy merapikan seragam, rompinya tidak terpasang seperti biasa membuat Tissa berdecak.

"Mami nggak tanggung jawab kalo kamu dapet poin lagi."

"Elaaah, nanti aku pasang di sekolah."

Lelaki tujuh belas tahun itu mengecup pipi ibunya sebelum pindah ke pipi Celia—sang adik—yang baru berusia lima tahun.

"Aku berangkat."

"Hati-hati. Inget, jemput Hava di Stasiun Gambir."

"IYAAAA!"

Tangannya memutar kunci HRV putih milik maminya, jarang-jarang wanita itu mau minjemin dia mobil.

Kalau bukan karena hari ini dia harus jemput Hava, mungkin dia masih harus ikhlas ke sekolah dengan Nmax hitam yang dibelikan papa pas dia masuk SMA.

Hava.

Kayak gimana ya mukanya sekarang?

Mereka terakhir ketemu pas dia baru lulus SD dan anak itu kelas lima, selama kontakan melalui sosial media, nggak pernah sekalipun mereka menggunakan fitur videocall karena Hava kurang nyaman.

Heidy hanya sering melihatnya lewat instastory, itupun terbilang jarang karena Hava bukan orang yang terlalu aktif menggunakan sosial media.

Nggak kayak dia yang dikit-dikit upload story.

Kata papa, adik sambungnya itu sudah tumbuh jadi perempuan yang manis, sekarang kelas sebelas dan bakalan satu sekolah sama dia nanti.

Sejujurnya, Heidy masih mempertanyakan alasan kenapa Hava memilih untuk pindah sekolah padahal sudah kelas dua.

Kalau emang mau sekolah di Jakarta, kenapa nggak sejak awal dia minta pindah?

Tapi, pertanyaan itu buru-buru ditepis, maminya kelewat excited karena Hava yang cuek dan dingin akhirnya luluh dan mau tinggal bersama mereka.

Bukan sekadar ngabisin liburan dua hari yang singkat kayak beberapa tahun lalu.

Suara Niki yang terputar lewat spotify terhenti saat Heidy memarkirkan mobil, bertepatan dengan satu buah motor CBR hitam yang baru saja sampai.

"Tumben bawa mobil?"

"Iya nih, disuruh mami nanti."

Kening Arjun—temannya—mengerut, "Digaji berapa? Tumben banget mau?"

"HEH!"

Cowok itu udah lari kecil, memanggil nama Marvin yang baru turun dari ojol.

***


nouveau chapitreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang