Jendela yang menghadap langsung ke jalan raya dibuka lebar, membuat angin malam masuk tanpa permisi ke dalam kamarnya.
Hava duduk di kursi bundar yang terasa nyaman, berlapis selimut bulu berwarna putih yang baru dia beli dari shopee.
Tadi, tante Tissa mengajaknya ke toko buku, melengkapi kebutuhan sekolah juga membeli keperluan lainnya.
Mereka nggak banyak ngobrol, mungkin karena Hava juga masih menjaga jarak aman sementara Tante Tissa nggak tau mau memulai dari mana.
Kepalanya menengadah, menatap langit di atas sana yang menggelap, sama persis dengan langit Surabaya yang sering memayungi tangis tengah malamnya.
Tiga minggu di sini membuat Hava sedikit betah, apalagi sang mama jarang membalas pesannya. Dia tau kalau wanita itu sibuk bekerja.
Berangkat pukul tujuh pagi dan baru pulang pukul enam sore, itu pun kalau tidak ada lembur.
Dulu, ada Hava yang menjaga rumah, juga adiknya. Memasak makan malam, membereskan mainan Hesa atau menyapu ruangan.
Sekarang, mamanya pasti mengambil jasa asisten rumah tangga. Rasanya, Hava terlalu egois, tapi ini semua demi kewarasannya.
Dia menelusupkan kepala dalam lipatan tangan saat ingatan itu kembali, karet gelang di tangan kiri ditarik keras, menciptakan warna merah yang terasa perih di sepanjang pergelangannya.
Setidaknya, efek karet itu lebih 'mending' daripada tajamnya silet yang pernah hampir merenggut nyawanya.
***
Kening Heidy mengerut saat melihat adiknya turun dengan cardigan menutupi seragam.
Jakarta terik hari ini, perkiraan cuaca dari televisi bahkan tidak menyebut akan mendung, gerimis ataupun hujan.
"Kenapa pakai cardigan?"
Pertanyaan mami mewakili Heidy.
"Pengen aja sih, jaga-jaga siapa tau bocor."
Kerutan di kening cowok itu semakin dalam mendengar jawaban adiknya.
Hava bohong.
Baru minggu lalu gadis itu meminjam baju olahraganya karena bocor. Nggak mungkin dia menstruasi sampai sepuluh harian, kan?
"Oh, bawa pembalut cadangan?"
"Huum."
Tissa tidak pernah canggung membahas hal-hal seperti itu di depan Heidy ataupun Hava. Menurutnya, mereka harus dibekali dengan pengetahuan tentang seks yang matang.
Pergaulan remaja saat ini sangat meresahkan, Tissa tidak mau anak-anaknya terjerumus.
"Ya udah, nanti kalau ada apa-apa, minta tolong abang aja."
"Iya tante."
Dua bulan dan Hava masih belum bisa memanggilnya mami.
***
"Makasih ya abang!"
Hava turun dari boncengan motor Heidy saat mereka tiba di parkiran, gadis itu berjalan lebih dulu, menghampiri Raya yang sudah menunggu di gerbang kedua.
"Dy, tugas geo udah kelar?"
Suara Marvin membuyarkan lamunannya tentang Hava.
"Udah, lu belom?"
"Udah juga sih, cuma nggak yakin. Mau nyocokin jawaban?"
Heidy mengangguk, ikuti langkah Marvin ke kelas, berusaha berpikir positif kalau Hava mungkin emang pengen pakai cardigan.
Namun sayangnya, pikiran positif itu harus buyar saat Arjun berteriak memanggil namanya di pintu penghubung saat istirahat.
"HEIDY, ADEK LU DI UKS!"
***
Nggak.
Nggak ada yang salah dengan kesehatan Hava.
Catatan medisnya bersih dari segala jenis penyakit.
Tapi, gadis itu terlihat sesak nafas, gemetar juga menangis.
Perawat membantunya untuk menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan-pelan, namun hal itu tak kunjung membuat gemetar dan tangisnya terhenti.
"Suster."
"Oh, Dy."
Wanita itu menyingkir, membuat Heidy lebih mudah melihat penampilan Hava yang ... kacau.
Ada Raya di belakangnya, menopang badan Hava yang hampir ambruk, sementara satu temannya yang lain menggenggam tangannya.
Perempuan itu segera menyingkir saat Heidy memberi kode, namun Hava menahannya.
"N-no."
"Va ..." panggilnya pelan.
Nggak ada jawaban, adiknya kayak bukan adiknya.
Suster yang paham situasi meminta siswa itu untuk masuk ke kelas, meninggalkan mereka berempat di sini.
"Dy, udah hubungi orang tua?"
"Mami on the way, Sus."
Heidy masih berusaha mendekat, namun Hava berontak, menyembunyikan diri dalam pelukan perawat.
Heidy tidak mengerti.
Sungguh.
"Kenapa sih?"
Dia bingung.
Hava masih terisak, Raya berusaha menenangkan dengan mengusap punggungnya, sementara suster masih memeluknya erat.
Mata Heidy tertuju pada pergelangan tangan Hava yang memerah, panjang sampai ke siku.
"Va ... kenapa, dek?"
Mami datang dengan wajah khawatir, membuka pintu UKS yang membuat penghuninya menengok penasaran.
"Abang, adekmu kenapa?"
Heidy menggeleng, dia juga nggak tau.
Suster buru-buru menyingkir saat Tissa mengelus tangan Hava, membuat gadis itu menengadah.
"Ini mami, sayang."
Tangisnya semakin pecah sampai akhirnya pingsan, tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
nouveau chapitre
Fanficpergi ke Jakarta bagi Hava adalah memulai kembali hidupnya yang sempat ingin diakhiri. Warn: GS.