6;

687 131 1
                                    

"Mind to explain?"

Jo dan Heidy sudah menunggu di depan kamar Hava sejak tadi, beruntung Celia tidur cepat, membuat Tissa lebih fokus mengurus Hava.

Setelah pingsan di sekolah, dia dibantu Heidy akhirnya membawa Hava ke rumah sakit. Namun, anak sulungnya itu harus kembali ke sekolah, meninggalkan Tissa hanya berdua dengan Hava.

"Duduk dulu, yuk."

Tissa menggiring kedua lelaki itu ke sofa di depan tangga, menatap Heidy dan suaminya bergantian.

"Hava physically okay, but mentally not."

"What do you mean?" Jo yang pertama kali bereaksi.

"Tadi, aku bawa dia ke rumah sakit, ke UGD. Dokter yang ngecek bilang kalo dia ada gangguan pernafasan karena kaget, tapi beliau nyaranin aku buat bawa ke psikolog karena Hava looks so ... fragile."

"Terus?"

Tissa menatap suami dan anaknya bergantian sebelum kembali membuka suara.

"Untungnya, di sana ada praktek psikolog dan setelah konsultasi satu jam lebih, Hava didiagnosa PTSD."

Post-traumatic stress disorder.

Sederhananya, itu adalah gangguan mental atau kecemasan yang muncul setelah mengalami trauma.

"Kok ... bisa?"

Itu juga yang jadi pertanyaan Tissa sejak tadi.

Kenapa?

Kok bisa?

Apa yang sudah dialami Hava?

Peristiwa apa yang memicu traumanya muncul?

Dan serentetan pertanyaan lain yang terpaksa harus ditelan karena Hava memilih bungkam.

"Tadi di sekolah, Hava kenapa bang? Kok bisa sampai begitu?"

"Nggak tau, Mi. Aku lagi belajar, tau-tau Arjun bilang kalo Hava di UKS."

Jo mengusap wajahnya, membuat Tissa menoleh dengan senyum kecil.

"Kata dokter, sebagai keluarga, kita nggak boleh keliatan kasihan, harus didukung, di support."

"Dokter bilang apa? Ada obatnya?"

"Iya, bisa terapi."

Tissa menoleh ke anak sulungnya yang masih diam.

"Abang?"

"Iya?"

"Boleh minta tolong buat nanyain ke temannya Hava nggak?"

Heidy mengangguk, "Besok ya, mi."

***

Dan di sinilah Heidy sekarang.

Duduk di depan Raya yang mengaduk jus jeruknya tanpa minat.

"Kok bisa, Ray?"

"Gue juga nggak tau, kak." Gadis itu menghela napas panjang, "Kita lagi main, biasalah cewek."

"Okay?"

"Hava lagi nyoba lip balm barunya Anne, terus si Fadil ngerangkul bahunya dari belakang, nanyain warna atau apa gitu. Ya, biasalah ya, namanya juga teman, jail dikit."

"Terus?"

"Tau-tau, Hava langsung gemeter. Lip balmnya Anne jatoh, terus dia dorong Fadil sampe nabrak meja, abis itu nangis. Kita langsung bawa ke UKS."

Heidy memijit kening, bingung. Jujur. Asli. Bingung.

"Hava nggak apa-apa kan, Kak? Gue mewakili anak-anak kelas minta maaf banget kalo becandaan kita mungkin kelewatan."

nouveau chapitreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang