8;

740 129 2
                                    

"Bangsat!"

"ANJING!"

Tissa sudah menangis saat Hava bercerita, tangannya masih dalam genggaman gadis itu, berusaha mencari kekuatan.

"Kamu nggak pernah bilang mamamu?"

"Nggak ..."

"Kenapa?"

"Bajingan itu ... manipulatif. Dia bisa mutar balikan fakta jadi aku yang salah."

Jo memijit pangkal hidung, berusaha menahan tangis yang sebentar lagi turun.

Hava-nya.

Anak perempuannya.

Permata hatinya.

Yang dia jaga dari jauh, yang selalu dia doakan setiap malam, yang selalu jadi topik favoritnya bersama Tuhan.

"Va ... kita harus seret bajingan itu ke penjara."

Heidy mengangguk setuju, "Ah, kita nggak ada bukti kuat, Pa."

Gadis itu mengambil ponselnya dari dalam kantong piyama kemudian mendorongnya ke meja.

"Sebelum ketiduran, aku lagi nugas, speaking. Biasanya, aku rekam buat tau salahku di mana."

"Oke?"

"Audionya masih nyala ... sampai aku matikan sendiri."

"Kamu save?"

Anggukan kecil itu bikin Heidy menyeringai, "Izin otak-atik hpmu ya, Va. Aku kirim aja ke hpku kok."

"Aku juga udah copy ke laptop, jaga-jaga hpku rusak atau gimana."

"Good. Pinter banget adeknya abang."

Malam itu, Hava sadar, bahwa dia tidak sendiri.

Dia tidak akan ditinggalkan.

***

Tidak butuh waktu lama bagi Jo untuk mengurus cuti dan terbang ke Surabaya bersama Hava juga Heidy.

Jumat pagi ini, mereka sudah mendarat dan bertemu dengan panas menyengat di puncak kepala.

"Papa udah minta ketemu sama mamamu nanti di jam makan siang di restoran. Kita istirahat dulu ya?"

Hampir dua bulan meninggalkan kota kelahirannya membuat Hava sedikit rindu, terlebih mamanya jarang sekali mengabari.

Dia hanya rutin bertegur sapa dengan Nanda yang selalu penasaran dengan hidup barunya di ibukota.

"Ayo ke hotel."

Jo jalan lebih dulu ke taksi yang mereka pesan, sementara Heidy jalan di sampingnya.

***

Hava nggak tau, ini pilihan yang tepat atau bukan, bahkan saat taksi yang membawanya ke sebuah restoran buat ketemu sang mama berhenti, dia masih termenung.

Membuat Heidy terpaksa harus menyentil keningnya.

"Mikirin apa sih?"

"Ini ... bener nggak sih, bang?"

Heidy mengembuskan napas panjang, jongkok di depan adiknya yang terlihat gelisah, kedua tangannya bertaut di atas paha.

"Bener. Ini hal paling bener yang bisa kita lakukan buat kamu."

Jo yang baru abis reservasi menghampiri mereka, tangannya mengelus kepala Hava, memberikan usapan lembut yang menenangkan.

"Kamu selalu punya papa, sekarang dan nanti. Apapun itu, bagi semua ke papa. Jangan kamu tanggung sendirian."

Belum sempat dia ngebalas kalimat Jo, seorang pelayan menyilakan untuk masuk ke sebuah ruangan VIP, Hava menarik napas panjang, mengisi rongga paru-parunya dengan udara segar sebelum menyusul langkah Heidy dan papanya ke dalam.

***

Dia sama sekali nggak nyangka kalo mama akan membawa pria itu ke tempat mereka bertemu.

Seingatnya, papa bilang mau ngomongin ini dulu bareng mama, tapi pria itu mengekor ke dalam tanpa tau malu, menatap Hava dengan tajam, membuat Heidy beringsut merapat ke sampingnya.

"Silakan duduk."

"Maaf kami terlambat, traffic nggak bisa diprediksi."

Jo menatap mantan istrinya dengan wajah datar, kemudian berganti ke pria yang duduk tanpa perasaan bersalah di sisi sang mantan.

"Hava, apa kabar sayang? Kenapa nggak ngabarin mama kalo kamu ke sini?"

"Mama nggak pernah balas chat aku lagi ..."

Raut kaget jelas tampak di wajah wanita itu, buru-buru mengecek ponsel di dalam tas, membuat pria di sampingnya menegang.

Hal itu nggak luput dari mata elang Heidy yang sedari tadi mengamati.

"Ya Tuhan! Nomer kamu ke-block, mbak!"

Cih.

Heidy berdecih dalam hati. Wanita di depannya terlihat sangat berkelas, cantik, pintar juga punya pekerjaan tetap.

Sementara suaminya—menurut cerita Hava—adalah pengangguran yang kerap kali menghabiskan waktunya dengan sesekali bermain judi.

"Iya, Ma. Nggak apa-apa kok."

"Jadi ... ada apa? Ini masih hari sekolah, kan? Kenapa tiba-tiba sudah di Surabaya?"

Jo narik napas panjang, berusaha mengurai emosi yang sudah membatu di dada.

"Mir, pernah nggak kamu mempertanyakan alasan kenapa Hava ngotot pengen pindah ke Jakarta?"

"Karena pengen deket sama kamu?"

"Coba, Mir," kesepuluh jemari papanya bertaut di atas meja, menatap tajam ke Amira, mantan istrinya yang masih duduk bingung di depannya. "Aku tau kamu pinter, coba pikir lagi, kenapa Hava yang sejak kecil nggak mau pisah sama kamu, kok bersikeras ikut aku yang jelas-jelas nggak dia kenal dengan dekat?"

"Kamu mau ngomong apa sih, Jo? Kok prolognya bertele-tele banget?"

Jovial mengembuskan napas panjang, tatapannya terhunus pada lelaki yang masih duduk di samping mantan istrinya tanpa malu.

"Tanya ke suami kamu, Mir. Apa yang udah dia lakukan sampai Hava cari aku buat minta tolong."

Udara di dalam ruangan terasa mencekam saat Amira mengalihkan tatap pada pria yang masih berstatus sebagai suaminya.

"Mas? Ada apa? Ini kenapa sih?"

Kebingungan wanita itu nggak berlangsung lama, Heidy mendorong ponselnya ke atas meja, memutar rekaman yang sudah dia kirim dari ponsel Hava.

Seketika, suara yang mereka kenali terputar dari sana.

Tangannya nyaris memutih saat Hava menggenggamnya dengan erat, adiknya begitu rapuh, lemah dan kebingungan.

Heidy memeluk bahunya, mencoba memberi nyaman yang Hava butuhkan.

"APA-APAAN INI MAS?"

Satu tamparan telak mampir di pipi lelaki itu.

Hava menunduk, genggamannya di tangan Heidy semakin mengerat saat dia merasakan pria itu meliriknya dengan sinis.

"Aku bisa jelasin, Mir."

"Jelasin apa? Ini udah jelas banget! Kamu ... kurang ajar sekali. Sudah jadi benalu, sekarang misahin aku sama anakku. Bener-bener nggak tau malu."

"Bawa adek kamu ke mobil, Dy."

Remaja tanggung itu menurut, tangannya menuntun Hava untuk keluar dari ruangan, membiarkan papa mereka menghajar pria itu habis-habisan.

Persetan dengan urusan polisi, hatinya yang patah tidak akan pernah sembuh dengan vonis hakim.

***

nouveau chapitreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang