Bab 3 Pertemuan Kedua

11 2 0
                                    

--***--

Baru saja tadi pagi Awfa tiba di rumah, kemudian ia gunakan seharian itu untuk istrirahat terlebih dahulu karena ia berencana menjenguk kakeknya besok. Tadinya mau langsung, tetapi entah kenapa badan Awfa terasa begitu lelah. Dan malamnya, ibu Awfa membahas perihal pernikahan.

"Mamah tahu, kamu masih nggak mau buka hati setelah kejadian itu. Tapi kan tidak semua laki-laki sama."

Beberapa menit yang lalu, ibu Awfa masuk membawa cemilan ke kamar Awfa, ingin mengobrol sebab rindu, katanya. Tentu Awfa senang sebab sudah lama ia tak berbincang dengan ibunya. Terlebih, ia adalah anak tunggal. Jadi ibunya bukan hanya sekadar ibu, melainkan bisa menjadi kakak, guru dan sahabat baginya.

"Iya, Mah. Aku tahu. Cuma kan nyari calon suami yang bener-bener srek itu susah, Mah. Kan laki-laki yang nanti jadi suami aku juga harus bisa ngehargain Mamah sama Ayah,"

"Iya, Neng ... kamu masih inget kejadian itu ya?"

Awalnya Awfa sudah mulai lupa. Tapi, ada orang yang membuatnya ingat kembali dengan jelas, ia adalah pelaku semuanya dan malah bertemu di tempat tak terduga.

"Mah?"

"Iya,"

"Aku ketemu sama Afnan tadi pagi,"

Ibunya sedikit terkejut, terlihat dari raut wajah yang berubah. Ia tadi tersenyum ramah tapi kini terlihat siluet kekhawatiran yang tidak bisa diartikan.

"Mah, aku gapapa. Itu kan udah lama kejadiannya. Dan lagi perasaannya udah gak sama."

Terlihat raut wajah lega dari ibu Awfa setelah mendengar jawaban dari sang putri. "Mamah kayaknya nanya pernikahan di situasi gak tepat ya. Kamu baru aja ketemu Afnan,"

"Enggak kok, Mah. Kan aku udah bilang aku gapapa ...

"Tapi ... kenapa mamah tiba-tiba ngobrolin soal nikah?"

"sebenarnya ... ayah dan mamah mau coba kenalin kamu ke anaknya teman mamah."

"Dijodohkan?" Raut wajah ibunya hanya menampilkan senyuman tipis

"Mamah gak bercanda kan?" Awfa kembali bertanya.

"Ya enggak atuh, masa yang kaya gini bercanda. Tapi mamah gak maksa kamu, cuma berharap kamu mau coba,"

"Namanya?"

"Hah?"

"Namanya siapa, mah?"

"Katanya mamah gak boleh sebutin namanya sampai kamu siap buka hati dan coba jalanin dulu,"

"Kalau gitu ngapain dikasih tahu ke aku, dianya aja main rahasia-rahasiaan."

"Makannya mama tanya, kali ini mau coba ya? Jangan langsung ditolak kaya yang udah-udah. Jalani aja dulu, siapa tahu memang cocok sama kamu. Kalau kata ayah kamu mah, istikharah dulu aja,"

Awfa bergeming sesaat, "Kasih aku waktu buat berpikir dulu ya, mah ..."

Ibu Awfa hanya tersenyum, ia tahu putrinya sedang berusaha membuka hati lagi, terlebih orang yang menyakiti hatinya baru saja ia temui tadi pagi.


--***--

Buah apel, pir juga anggur hijau terbungkus dengan rapih, tak lupa bubur ayam yang telah Awfa persiapkan ia bawa menggunakan rantang kesayangan kakeknya. Ya, hari ini Awfa akan menjenguk kakeknya di rumah sakit, kakeknya sangat suka bubur ayam buatan Awfa, rasanya seperti bubur buatan almarhum nenek, katanya. Sama hal rantang kesayangan kakeknya, pun peninggalan almarhum neneknya Awfa. Bagi Awfa kakeknya seperti orang tua kedua, sebab sedari kecil saat ibu dan ayahnya bekerja, kakek dan neneknya lah yang merawatnya. Dulu ibunya sempat bekerja sebagai perawat, namun akhirnya ibu memilih berhenti sebab ia ingin fokus menjaga Awfa saat umur Awfa 10 tahun. Sedangkan sang nenek meninggal tepat di hari gagalnya pernikahan Awfa empat tahun lalu.

Lembaran LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang