--***--Seorang perempuan dengan seragam SMA lengkap dengan atribut khas masa orientasi tergesa berlari ke arah gerbang yang tengah ditutup oleh seorang satpam, tak sengaja ia tersandung sesuatu yang membuatnya hampir hilang keseimbangan, walau tak jatuh tapi kakinya berhasil mendapat ngilu tepatnya dibagian jari jemarinya. Ia terlihat sedikit meringis dan mengangkat kakinya yang terasa ngilu. Dari arah belakang seorang laki-laki dengan sepeda berhenti.
"Kamu baik-baik saja?"
Perempuan tersebut menoleh kemudian menunduk. "Iya."
Ia bahkan tidak kenal dengan laki-laki yang barusan bertanya, terlebih ia canggung tatkala mata mereka bertemu.
"Ah, gerbangnya sudah ditutup. Sepertinya kita telat." laki-laki itu kembali berucap, kali ini pandangannya beralih pada gerbang yang baru saja ditutup.
Perempuan tersebut ikut menoleh dan ia menghela nafas sedikit kesal, mungkin menyalahkan insiden tersandungnya sang kaki, padahal salah ia sendiri, bangun telat dengan alasan kedatangan tamu bulanan karenanya tak salat subuh. Ia berjalan menuju gerbang setelah dirasa kakinya tak lagi terasa ngilu. Lelaki dengan sepeda itu mengikutinya.
"Maaf, Pak, bisa kami masuk? kami murid baru dan sedang melaksanakan MPLS."
Belum sempat perempuan tersebut berbicara, lelaki dengan sepeda tadi lebih dahulu bicara pada satpam yang telah menutup gerbangnya.
"Haduh kalian ini, kenapa baru datang. Karena kalian murid baru tunggu disini dulu, OSIS akan mencatat kalian untuk mengikuti MPLS tapi terlambat datang."
Perempuan tersebut mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"BTW, syukurlah aku ada teman telat ... Aku Afnan, kamu siapa?"
Perempuan tersebut terkejut, lelaki disebelahnya mengulurkan tangan untuk berkenalan, mungkin wajar, mereka sama-sama murid baru.
"Awfa." jawabnya singkat dengan mengatupkan kedua tangannya depan dada.
Laki-laki itu kikuk dan langsung menarik tangan yang tadi diulurkannya untuk berjabat tangan. Ia faham satu hal, perempuan yang ia ajak berkenalan berbeda dari yang biasanya.
--***--Sepanjang perjalanan dari Bandung ke Yogya bersama dengan Arya, Awfa tak banyak bicara. Ia lebih banyak tidur dan sesekali teringat dengan pertanyaan ibunya mengenai perasaanya terhadap Afnan. Beberapa saat memorinya mengawang pada masa lalu, tatkala ia pertama bertemu dengan Afnan di bangku sekolah dulu. Lelaki cerewet, pikirnya dulu.
Awfa benar-benar tidak memahami dirinya sendiri, apakah ia sudah benar-benar melupakan rasa yang pernah hadir untuk Afnan? Atau sekadar dihilangkan paksa sebab kekecewaan dan rasa sakit yang teramat besar sebab pilihan Afnan.
"Kamu gapapa, Fa?"
Awfa menoleh ke depan, ia duduk di belakang, sebab ia tentu canggung duduk di depan bersama Arya dan kala itu mereka hanya berdua. Walau telah menganggap seperti kakak sendiri dan sebab ibunya percaya, sehingga ia setuju untuk pulang ke Jogja bersama dengan Arya, akan tetapi Arya tetaplah laki-laki dan bukan mahram untuknya.
"Gapapa, kak. Memangnya aku kenapa?"
"Ditanya malah nanya balik toh, Fa."
Awfa sedikit terkekeh, "Gapapa kok, kak. Ngantuk aku, tapi susah tidur."
Mungkin Arya sadar bahwa raut wajah Awfa sedikit muram dan beberapa kali terlihat melamun. Arya tak ingin ikut campur lebih jauh dulu, ia faham situasi bahwa Awfa sepertinya belum siap untuk cerita. Yang ia ketahui, bahwa perempuan yang kini pulang bersamanya adalah perempuan yang memiliki trauma pada hubungan asmara. Ia pernah mengalami gagalnya pernikahan dan Arya mengetahuinya sebab urusan pernikahan Awfa dulu dikerjakan oleh WO milik ibunya. Tapi tak pernah benar-benar mengetahui cerita seluruhnya, sebab ia tak berhak mengetahuinya. Mungkin.
--***--Selepas pulang ke Yogya kemarin, ia memulai kesibukannya seperti biasa, bekerja dan menjalani hari-harinya menjadi masyarakat Yogya. Tapi, ada yang sedikit berbeda, hatinya perlahan menyusuri kembali lembaran lama, teringat memori yang dahulu 'sempat' berwarna kemudian redup tak berona.
Sebuah notifikasi di smartphone milik Awfa membuat layar benda itu menyala, menampilkan nomor tak dikenal. Awfa membuka pesan tersebut, ia bergeming sesaat selepas mengetahui siapa pengirimnya, seseorang yang kembali menghantuinya sejak pulang dari Bandung. Afnan.
Dari mana ia mengetahui nomor hpku?
Belum Awfa membalas, beberapa detik kemudian sebuah pesan susulan datang, kata-katanya lebih panjang dari sebelumnya dan kali ini berhasil membuat perasaanya campur aduk, diantara sesak, marah, bingung sekaligus menjawab rasa penasaran Awfa terkait darimana Afnan mendapat nomornya.
Maaf sebelumnya, aku mendapat nomormu dari ayahmu sebab kudengar kau sudah kembali ke Yogya. Maaf, aku lagi-lagi tidak sempat berpamitan padamu. Aku harap kita bisa bertemu, ada banyak yang ingin kukatakan padamu. Tapi aku tahu, rasanya tidak terlalu baik jika aku mengajakmu bertemu, jadi aku hanya berdoa semoga Allah pertemukan lagi kita. Aku berharap kamu benar-benar memaafkanku. Aku berdoa semoga kamu selalu bahagia.
Awfa tidak tahu harus menjawab apa. Ia bingung harus bersikap bagaimana, heran mengapa Afnan seolah bersikap 'biasa', padahal ia selalu sulit jika ingin memulai berbicara padanya, sulit bertanya mengapa dahulu Afnan berbuat demikian. Padahal ia sudah berusaha lupa, mungkin jika Afnan kini tak kembali ia telah ikhlas?
Notifikasi kembali berbunyi, menyadarkan Awfa yang rupanya sedari tadi hanya menatap layar di ponselnya.
Saat bertemu nanti, bolehkah aku bertanya tentang surat yang kukirim untukmu? Mengapa kau tidak membalas suratku lagi?
Kening Awfa mengernyit, "Surat? Surat apa maksudnya? Aku tidak pernah sekalipun menerima atau membalas surat darinya."
Awfa kembali membaca pesan Afnan, mungkin ada bagian yang terlewat mengenai surat yang Afnan maksud. Mungkin maksudnya pesan ini tetapi dia analogikan sebuah surat.
Maksudmu pesan? Ini pesan pertamamu setelah sekian lama. balas Awfa bertanya.
Pesan apa maksudunya? Aku bertanya tentang surat setelah kejadian (maaf) waktu kita batal menikah. Afnan membalas kembali disebrang sana.
Ada rasa nyelekit ketika Awfa membaca kalimat 'kita batal menikah'. Tapi fokus Awfa kembali, ia mengingat-ingat apakah ia pernah menerima dan membalas sebuah surat dari Afnan? Tapi mau diingat bagaimanapun ia tahu jelas bahwa surat itu tidak pernah ada. Segera ia menjawab dengan tegas.
Awfa
| Aku tidak pernah menerima surat apapun darimu.
+628xxxxxxxx
| Aku tahu kamu mungkin masih belum benar-benar memaafkanku. Tapi tolong jangan bicara begitu. Apa kamu pura-pura tidak ingat dengan surat itu? Aku hanya ingin mendengar alasan kenapa kamu tidak membalasnya.
Jawaban dari Afnan membuatnya kesal, tanpa sadar rasa sakit itu kembali, padahal saat bertemu lagi di Bandung, ia sudah tidak tahu harus bersikap bagaimana, ia anggap bahwa memang Afnan dan dirinya sudah baik-baik saja, terlebih ibunya yang seolah menerima lagi kehadiran Afnan. Tapi rupanya ia salah, rasa sakit hati pada perempuan yang pernah mantap menitipkaan serta menetapkan hatinya pada seorang laki-laki, membuat luka dihatinya kembali, seolah masa lalu itu sedang terjadi lagi. Balasan Awfa seakan mengeluarkan unek-unek kekecewaanya selama ini.
Kamu menghilang tanpa kabar. Kenapa kembali? Kamu bahkan tidak memikirkan akibat setelahnya padaku dan keluarga, Afnan. Aku sudah memaafkanmu jadi tolong jangan ganggu lagi, Maafkan kesalahanku, aku juga memaafkan kesalahanmu, tidak perlu ungkit apapun di masa lalu, kita sudah selesai dan kau yang menyelesaikannya secara paksa. Aku sudah menerimanya. Sudah.
--***--
.
.
.Assalamu'alaikum
Alhamdulillah ceritanya up kembali di hari yg dijadwalkan.Jika menyukai cerita ini silakan beri vote ⭐ dan share. Komentar dipersilakan.
Terima kasih.🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembaran Lama
Romance(Romance - spiritual) Pertemuan setelah sekian lama, di tempat tak terduga dengan seorang laki-laki bernama Afnan, mengantar Awfa pada masa lalu yang berusaha ia lupakan. Disisi lain, sang kakek menginginkan Awfa segera menikah sebab umurnya yang me...