For some people, being maried is the goal
For some other, living without thinking about the thesis is the goal- Alinea -
"Mas, bedanya probability sampling sama non probability sampling apa?" aku menengok ke arah laki-laki yang tengah fokus di depan laptopnya.
Mas Wira menghentikan jarinya yang sedang mengetik, lalu menoleh. "Kalau probability berarti setiap populasi punya peluang yang sama buat dijadikan anggota sampel. Kalau yang non, anggota populasinya nggak punya peluang yang sama buat dipilih."
Aku mengangguk, sedikit paham dengan penjelasannya. "Kalau simple random sampling masuknya yang mana?"
"Yang probability," jawabnya.
Mengerjakan tugas bersama Mas Wira adalah salah satu date list yang paling aku suka. Selain hidupku yang dipenuhi dengan rebahan bisa lebih sedikit bermanfaat, aku juga akan langsung mendapatkan jawaban atas semua kesulitan yang aku temui. He's the best boyfriend that i have ever had, and he also the best teacher for me.
"Berati kalo responden aku rumah tangga pelaku industri, aku bisa pake teknik sampling yang itu kan?"
"Setiap rumah tangga pelaku industrinya memenuhi syarat buat jadi responden? atau ada syarat-syarat tertentu?"
Aku menggeleng. "Nggak kok. Asal rumah tangganya punya industri, mereka bisa jadi responden."
Mas Wira mengangguk. "Kalo gitu iya, bisa." Jawabnya yang membuatku senang.
"Oke, Mas. Thank you." Aku meneruskan kegiatan menulis catatan mengenai teknik pengambilan sampel dalam penelitian. Mengabaikannya yang padahal sudah membantuku, karena hari ini aku sedang bersemangat untuk mencari kesibukan.
"Gimana kerjaan kamu, Mas?" tanpa menatap ke arahnya, aku melontarkan pertanyaan.
FYI, Mas Wira — the man who is my boyfriend adalah kakak tingkat yang berada satu tahun di atasku. Beberapa tahun lalu kami berada di himpunan yang sama, lalu menjadi dekat dan berakhir dengan menjalin hubungan hingga sekarang. Saat ini dia sudah lulus, sementara aku sedang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa tingkat akhir.
"Ini lagi ngeliatin editorial planner buat bikin video." Mas Wira menjawab pertanyaanku sembari menggeser arah laptopnya agar menghadapku. Menampilkan sebuah google sheet dengar berbagai macam tulisan, yang pasti berhubungan dengan pekerjaannya sebagai video editor.
"Kalau hasil war dosen pembimbing kamu kemarin gimana?" belum sempat aku menanggapi pertanyaannya, dia malah melontarkan pertanyaan padaku.
Sebagai seorang yang berasal dari tempat yang sama, dia tahu betul bahwa sistem pemilihan dosen pembimbing di jurusan kami menggunakan sistem war. Pertama-tama kita akan memilih topik, lalu akan muncul pilihan dosen-dosen yang bisa dipilih untuk dijadikan dosen pembimbing.
Tentu saja hasilnya tak selalu sama, bahkan jika di pemilihan kita sudah mendapatkan dosen yang diinginkan. Ada faktor-faktor lain bisa memengaruhi, termasuk kondisi dosen yang ternyata sedang melanjutkan studinya.
"Sebenernya aku dapet yang sesuai, Mas. Tapi katanya Pak Ilham dapet beasiswa S3. Jadi kayaknya aku bakal dilempar ke dosen lain." Pertanyaan yang diajukan Mas Wira mengingatkanku kembali dengan hal menyedihkan yang baru-baru ini aku alami.
Sedari awal aku sudah berniat untuk mengambil topik penelitian mengenai gender, dan sudah memantapkan hati juga untuk memperebutkan Pak Ilham. Namun saat akhirnya aku mendapatkan slot untuk menjadi anak bimbingnya, beliau justru akan istirahat dari kegiatan mengajar untuk menempuh kuliah S3.
Tidak salah memang, malah mulia. Tapi kenapa harus di tahunku juga sih, pak?
Mas Wira menautkan alis. Kebetulan aku memang belum sempat menceritakan masalah ini dengannya, jadi dia mungkin sedikit kaget. "Terus jadinya gimana?"
"Warnya udah kemarin, kan?"
Aku mengangguk. "Kemarin aku udah chat Bu Ana, katanya belum fix bapaknya mau ambil beasiswanya apa nggak. Tapi kalau misalnya iya, beliau bakal nyariin dosen lain buat aku."
Aku memberitahu Mas Wira bahwa aku sudah menghubungi dosen akademik. Pasalnya kabar seputar Pak Ilham yang kuliah lagi baru aku dapatkan dari mulut ke mulut, sehingga aku mencoba mengonfirmasi langsung dengan dosen akademik.
"Katanya bakal dikabarin kapan?"
Aku menggeleng. "Secepatnya sih, cuma ibunya nggak ngasih info kapan tepatnya."
Mas Wira mengangguk, lalu mengacak pelan rambutku yang mungkin lengket karena sudah tidak keramas beberapa hari. Semoga baunya gak ketinggalan di tangannya.
"Gapapa, gak usah sedih." Ujarnya enteng. Sepertinya dia membaca ekspresi wajahku yang terlihat tidak bersemangat, jadi berusaha menghibur dengan mengacak-acak rambutku. Dia tahu betul bahwa Alin yang mudah baper ini memang sangat lemah kalo sudah dipegang-pegang olehnya.
"Sekarang cari-cari referensi dulu soal topik apa yang mau diambil. Jadi kalau nanti sudah dapat info siapa dosen fix-nya, bisa langsung diskusi pas ketemu."
Tentu saja aku mengangguk. Sebagai seorang yang lebih berpengalaman, sangat wajar bahwa wejangan dari Mas Wira tidak akan aku abaikan. Apalagi dengan predikatnya sebagai lulusan terbaik di jurusan kami, tentu saja tidak perlu diragukan lagi bagaimana kemampuannya itu. Ya, walau pekerjaannya yang sekarang sepertinya tidak memerlukan skill yang dia dapatkan saat menyusun skripsi.
Aku mengerucutkan bibir, "Maunya sih begitu, Mas. Tapi gimana ya, bawaannya tuh males banget kalo udah soal yang gini-gini."
Bukannya menyemangati, Mas Wira malah tertawa. Dia tahu betul kalau pacarnya adalah orang paling malas sedunia kalau soal belajar dan sejenisnya. Jadi sudah tidak kaget dengan jawaban yang aku lontarkan. "Kalau kamu tahan buat baca jurnal selama satu jam, abis dari sini aku bakal ajak kamu nonton. Gimana?"
Sebagai penikmat film tentu saja aku tidak akan menolak. Apalagi secara gratis dan ditemani oleh cowok tampan, tentu saja akan sangat disesali jika aku mengabaikan kesempatan ini begitu saja. "Siap 45 pak bos. Laksanakan!"
Belum lima belas menit aku membaca jurnal mengenai relasi gender dalam rumah tangga pelaku UMKM, fokusku sudah mulai hilang. Keinginanku untuk berbicara sudah naik ke permukaan, sehingga dengan berat hati aku turuti dengan mengganggu Mas Wira yang sedang fokus dengan video-videonya. "Mau nonton apa nanti, Mas?"
Masih fokus dengan layar di depannya, Mas Wira menjawab. "Suami halu kamu."
"Ha?" aku tidak langsung paham dengan maksud perkataannya. Apalagi dia tidak menoleh sama sekali, sehingga aku tak bisa menebak maksud perkataannya dari ekspresi. "Siapa, Mas? kan ada banyak ..."
Setelah menyadari maksudnya, aku kembali memastikan. Pasalnya aku menghalukan banyak cowok tampan, mulai dari yang berkebangsaan Korea, Cina, hingga negara Asia Tenggara seperti Thailand.
"Yang jadi astronot itu,"
"DO maksud kamu, Mas?" tanyaku antusias. Tidak bisa menyembunyikan rasa semangat saat sadar bahwa ternyata dia tidak pernah menganggap angin lalu semua ocehanku. "Kamu beneran mau ngajak nonton The Moon?"
Kali ini, dia tidak lagi memandang laptopnya. "Iya, tapi kalau kamu berhasil ngejelasin isi jurnal yang udah kamu baca ke Mas."
Semangatku langsung meredup. Dia tahu betul bagaimana caranya menuntutku fokus. Padahal niatku hanya akan berpura-pura membaca. "Kok gitu? tadi perjanjiannya cuma yang penting aku baca satu jam."
Mas Wira menggeleng. "Mas berubah pikiran. Soalnya dari tadi kamu nggak fokus baca, malah cuma di scroll ke atas ke bawah ke atas ke bawah. "
"Jadi kamu harus kasih bukti kalau beneran baca," lanjutnya sembari mencubit hidungku pelan.
Ya Allah mama, niat jahatku ternyata aku ketahuan!!
Halo!
Maafkan karena aku muncul dengan cerita baru
Lagi mau fokus skripsian, tapi kepikiran nggak pernah update — takut ada yang nungguin
Jadi mau pos yang deket² sama kehidupan aku di RL biar mikir alurnya gak terlalu mumetSemoga kalian semua sehat amin
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionDidedikasikan untuk mengapresiasi orang-orang yang masih bertahan dengan skripsinya!