Big fast respon itu karakter, bukan keadaan!
Salah satu dari sekian banyak hal yang membuatku suka dengan Mas Wira adalah responnya yang cepat. Setiap kali aku menghubunginya, dia akan membalas dengan cepat. Bagaimana pun sibuknya dia, dia tidak akan menghilang begitu saja. Selalu mengabari, bahkan untuk kabar jika dia akan lebih slow respon dibandingkan biasanya.
Well, Jakarta-Bogor memang tidak sejauh itu. Tapi tetap saja, kesibukannya sebagai karyawan nine to four dan kesibukanku sebagai mahasiswa tingkat akhir membuat kami - mau tidak mau menjalani hubungan long distance relationship.
Paling lama, kami hanya bisa menghabiskan waktu dua hari dalam sepekan. Itu pun jika jadwal kami berdua tidak bentrok seperti minggu lalu. Oleh karena itu, karakternya yang fast respon membuatku sangat bersyukur. Dia tidak pernah membiarkanku feeling lonely, bahkan tanpa kehadiran nyata dirinya sekali pun.
"Tadi gimana?" tanyanya dari ujung telepon.
Saat ini kami sedang melakukan sleep call. To be honest, tidak bisa disebut seperti itu juga karena dia memintaku untuk menemaninya lembur melalui sambungan telepon. "Cuma sebentar sih, Mas, ketemunya. Cuma setor wajah sama tipis-tipis ngasih tau soal topik penelitian yang mau diambil." Curhatku mengenai pertemuanku tadi siang.
"Tapi kamu tau nggak, Mas, ternyata aku tuh punya temen satu bimbingan."
"Oh iya?" responnya tampak antusias. Dia benar-benar tau bagaimana menyikapi ceritaku, padahal sendirinya juga sedang sibuk dengan laptopnya. "Anak pindahan juga?"
Aku membenarkan posisi ponselku agar wajahku terlihat lebih proporsional. Meski sudah terlihat cantik dengan bantuan kamera ponsel, tetap saja aku tidak boleh terlihat jelek di mata Mas Pacar. "Gimana ya ngomongnya," aku menjeda kalimatku sebentar untuk memilih kata yang tepat.
"Kakak tingkat, Mas. Tapi dia katanya baru ambil cuti, jadi baru ambil mata kuliah skripsi di semester ini."
"Namanya Bang Alva, Mas." Jelasku melanjutkan.
Pada umumnya, orang-orang di kampus memang memanggil orang yang lebih tua dengan embel-embel 'bang'. Makanya aku juga menambahkan embel-embel tersebut di depan nama teman sebimbinganku itu. Namun untuk kasus Mas Wira, karena dia orang yang spesial maka secara khusus dia meminta untuk mengubah panggilan 'bang' menjadi 'mas'.
"Alvaro?" tanyanya terdengar kaget. Kali ini bahkan dia memberikan perhatian sepenuhnya pada layar ponselnya, mengabaikan komputer dan seperangkatnya yang sedari tadi jadi mainannya.
Aku menuangkan beberapa tetes serum ke wajah, lalu meratakannya. Semakin malam aku biasanya malas menggunakan skincare, jadi mumpung ada teman, sekalian saja aku pakai sekarang. "Kamu kenal?" aku tidak menyangka bahwa Mas Wira ternyata mengenal sosok Bang Alva. Pasalnya aku yang adik tingkatnya saja tidak tahu menahu, tetapi dia yang notabene adalah kakak tingkat yang sudah lulus justru malah tau.
Mas Wira mengangguk. Terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi mengurungkannya. "Di situ hujan nggak?"
Entah hanya perasaanku saja atau tidak, sepertinya Mas Wira mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Padahal biasanya dia tidak keberatan untuk membicarakan laki-laki lain, tetapi untuk kasus ini sepertinya agak berbeda. Semoga cuma firasatku saja!
"Iya, Mas."
"Udah makan, kan?" aku hanya bisa meringis mendengar pertanyaannya kali ini. Alin dan kebiasaan telat makannya memang sudah berkawan baik. Tidak heran di pukul setegah sebelas ini, aku belum makan apapun sejak sore. "Belum ya?" lanjutnya tepat sasaran. Membuatku - mau tidak mau hanya bisa merespon dengan anggukan pelan.
"Ck, kebiasaan banget," wajahnya terlihat kesal. Mungkin geram dengan kebiasaan burukku yang sulit hilang, meski berkali-kali selalu dia ingatkan.
"Beneran lupa, Mas. Soalnya aku nggak ngerasa laper juga," aku mencoba membela diri. Pulang dari bimbingan, aku langsung ikut nongkrong bersama anak-anak. Memesan segelas kopi di Starbucks dan mengobrol hingga sekitar pukul delapan malam.
"Terakhir makan jam berapa?" Mas Wira benar-benar terlihat seram dengan ekspresi wajahnya. Membuatku tidak berani menjawab, sebab jawabanku pasti akan membuatnya semakin kesal.
Tidak kunjung mendengar jawabanku, dia hanya bisa menghela napas. Hubungan kami sudah terjalin cukup lama, jadi dia paham betul bagaimana karakter pacarnya ini.
"Mau makan apa?" kali ini aku sudah berani tersenyum. Sepertinya dia tidak akan marah, jadi aku sudah bisa bernapas lega.
"Gampang deh, Mas, ntar. Bikin mie."
"Jangan makan mie terus, Alinea!" Sepertinya aku kembali melontarkan jawaban yang salah. Sudah tau bahwa Mas Wira adalah orang paling strick terkait makanan yang aku konsumsi, tetapi malah dengan beraninya, aku mengucapkan kalimat ingin makan mie instan saat dia tau bahwa dari siang aku belum mengkonsumsi sesuatu. Matilah kau, Lin!
"Kamu mau makan apa? biar aku go food in."
Rasanya setiap saat aku ingin bersyukur. Mendapatkan pasangan seperti Mas Wira adalah hal yang patut disyukuri, sebab aku tak tahu apakah akan menemukan orang lain yang sebaik dia lagi.
"Mau nasi goreng," jawabku manja. Bukannya matrealistis, hanya saja aku menyukai segala bentuk perhatiannya ini. Toh aku sebenarnya juga tidak mengalami kesulitan finansial, tapi makan nasi goreng yang dibeli sendiri dan yang dibelikan oleh Mas Pacar tentu akan sangat jauh berbeda.
Tanpa memprotes, Mas Wira langsung mengangguk. "Sebentar," ujarnya kemudian. Setelah itu layar ponsel sudah tidak menampilkan wajah tampannya. Sepertinya dia mengambil hp untuk membuka aplikasi ojek online untuk memesankan makanan.
"Udah aku pesenin ya, jangan lupa dimakan." Kali ini wajah tampannya sudah kembali terlihat di layar. Dan tentu saja, aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.
"Terima kasih, Mas."
"Sama-sama," senyumnya benar-benar berhasil membuatku jatuh cinta lagi, dan lagi.
"Mas,"
"Kenapa?" dia terlihat bingung.
"Bisa nggak sih kalau senyum jangan manis-manis. Ntar kalo aku kebayang-bayang senyum kamu mulu terus nggak bisa tidur gimana?"
BUSET! GUE TERNYATA SELEMAH ITU KALO UDAH KENA SENYUMAN MAUT COWOK GANTENG
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionDidedikasikan untuk mengapresiasi orang-orang yang masih bertahan dengan skripsinya!