Stranger

227 32 3
                                    

Cerita apa yang update nya paling paling kalian tunggu?
Yuk komen di bawah!


No matter where you are, what you are doing, who you are with, life must go on

- Alinea -


"Gue yakin lo pasti malu dan canggung karena jarang berinetraksi sama cowok asing. Tapi inget tujuan lo! Jadi sebisa mungkin lo harus punya kesan pertama yang baik sama dia," ujarku pada diri sendiri.

Aku mengambil napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. "Oke cukup. Gue rasa gue nggak boleh segrogi ini biar nggak canggung."

Aku memberanikan diri dan melangkah ke arah sosok laki-laki yang sedang duduk dan fokus dengan ponselnya. "Bang Alva ya?"

Bang Alvaro mendongak, mengernyit bingung, lalu beberapa detik setelahnya mengangguk paham. "Lo Alin?"

Kali ini aku yang mengangguk. Akhirnya sedikit bisa bernapas lega karena sosok kating yang ternyata adalah satu-satunya teman bimbinganku ini tidak seseram yang aku bayangkan. "Mau langsung naik?"

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Selain memang karena kami harus menemui dosen, aku juga tidak harus membicarakan topik apa dengan orang yang baru aku kenal ini. Meski aku sudah men stalk semua sosial medianya, tidak berarti bahwa aku bisa dengan nyaman untuk membuka obrolan dengan  dia. Dia tetap lah seorang stranger, dan ini adalah pertemuan perdana kami.

"Ini seangkatan cuma lo aja yang dapet Pak Idam dan Bu Nana?" Bang Alva membuka obrolan saat kami sedang naik tangga. Sepertinya dia menyadari kecanggunganku dan mengajakku mengobrol untuk sedikit mencairkan suasana.

"Setahu gue sih iya, Bang. Yang lain dapetnya satu, kalo nggak Pak Idam ya Bu Nananya,"

"Kalo lo sendiri gimana? kok bisa lo dapet beliau berdua juga. Setahu gue kan nggak biasa kan beliau ini disatuin." Tidak ingin dicap sebagai adik tingkat yang sombong, tentu saja aku memberikan feedback dari pertanyaan yang dia lontarkan. 

"Gue abis cuti, terus lupa nggak ikut war kemarin." Balasnya sembari tertawa. Membuatku yang mendengar terheran-heran, sebab tidak menyangka bahwa dia tidak ikut war memilih dosen karena alasan lupa.

FYI aku ingin memberitahu bahwa saat kemarin aku menghubungi Pak Idam dan Bu Nana untuk mengenalkan diri dan meminta waktu bertemu untuk berdiskusi, Pak Idam justru malah langsung memasukanku ke dalam grup. Sebuah grup yang ternyata sudah berisi tiga orang, yaitu Bang Alva, Pak Idam, dan juga Bu Nana. Membuatku sadar bahwa aku bukan satu-satunya orang yang menjadi anak bimbingan beliau berdua.

Ada seorang kakak tingkat - which is sosok yang baru ku temui tadi, yang ternyata juga menjadi anak bimbingan mereka sama sepertiku.  Alvaro, kakak tingkat satu tahun di atasku, yang sayangnya tidak aku kenal keberadaannya karena baru saja mengambil cuti.

"Udah punya topik?" dari obrolan ini, sepertinya aku bisa menyimpulkan bahwa Bang Alva adalah orang yang ramah. Dari caranya yang aktif bertanya, aku tau kalau dia bukan tipe kating songong yang merasa dirinya lebih senior. Bahkan dia cenderung banyak tanya padaku, bukan malah menceritakan tentang dirinya sendiri.

"Udah sih bang, mau ngambil gender."

"Loh," Bang Alva terlihat kaget. "Bukannya biasanya sama Bu Ela atau Pak Ilham ya kalau ngambil gender?"

Aku mengangguk. Ternyata tidak hanya Kael yang merasa heran, tapi juga Bang Alva. "Iya. Gue kemarin juga milihnya Pak Ilham, tapi beliau lagi ngambil S3 ternyata. Kalau Bu Ela katanya sih karena anak bimbingnya udah banyak. Jadi sama Bu Nana gue dicariin dosen lain," jelasku padanya.

Bang Alva terlihat mendengarkan penjelasanku dengan seksama. "Jadi lu dapet dua dosen karena mereka belum pernah pegang topik ini nggak sih?"

Aku mengendikkan bahu, "Kayaknya sih begitu."

"Kalo lo sendiri gimana?" kita berbelok ke arah kanan dan kembali menaiki tangga. Kebetulan ruangan dosen ada di lantai tiga, dan tadi kami janjian di lantai dasar.

"Gue belum punya topik sih, belum kepikiran." Ucapnya enteng. 

Jadi selain ramah, dia sepertinya juga tipe yang sangat santai - batinku.

"Sama sekali?" dia mengangguk.

"Paling nanti minta rekomendasiin aja sih, baiknya ngambil topik apa."

Aku benar-benar heran dengan orang ini. Pasalnya aku terbiasa dengan cerita kehidupan Mas Wira yang sudah tersusun rapi, jadi agak sedikit kaget bahwa ternyata tidak semua laki-laki merencanakan kehidupannya seperti dia.

Tapi di sisi lain aku juga sadar bahwa aku tidak berada pada posisi yang dibenarkan untuk berkomentar atas kehidupannya. Kami baru saja kenal, dan tentu saja sangat tidak sopan kalau aku langsung mengomentari kehidupannya. Semua orang punya prinsipnya sendiri-sendiri, jadi tidak perlu mencampuri walaupun dengan alasan peduli.

"Janjiannya di ruangan siapa?" aku yang sedang melamun tidak mendengar.

"Lin!" 

"Iya, bang?" jawabku setelah mengembalikan kesadaran. Sepertinya sejak tingkat akhir aku jadi mudah memikirkan banyak hal dengan lebih dalam. Makanya hanya karena informasi bahwa dia belum mempersiapkan topik satu pun saja, aku malah langsung terheran-heran. Padahal sebenarnya juga masih tergolong wajar, kan?

"Lo bikin janjinya di ruangannya Pak Idam apa Bu Nana?"

Meski kami berada di grup yang sama, sepertinya laki-laki ini tidak melihat isinya. Buktinya tempat janjian yang kita sepakati di grup saja, dia tidak tahu. "Di ruangan Pak Idam. Bu Nana kan katanya masih ada rapat, jadi ntar nyusul." 

Bang Alva mengangguk, lalu memilih berbelok kanan saat mengetahui bahwa ruangan yang akan kami tuju adalah ruangan Pak Idam. 




AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang