Dalem

148 32 7
                                    

Setelah kemarin menghabiskan waktu seharian dengan girls day out, hari ini saatnya untuk menghabiskan waktu dengan pasangan. Saatnya melepas rindu dan bermanja-manja, juga saling membagikan cerita dari banyak hal yang sudah terjadi di masing-masing hidup kami.

"Hari ini targetku mau ngelarin bab satu dua, besok baru lanjut ke bab tiga." Ceritaku pada Mas Wira dengan penuh semangat — seolah ini memang rencana hebat yang patut untuk dibanggakan.

"Bagus!" responnya sembari menggeser sepiring carbonara ke hadapanku. "Sekarang makan dulu, abis itu ngambis." lanjutnya menambahkan.

Tentu saja aku mengangguk patuh. Seperti anak kecil yang dinasihati ayahnya, aku langsung mengambil alih piring yang disodorkan dan memegang garpu yang ada di atasnya.

To be honest, kegiatan pacaran kami ternyata tidak terlalu bervariatif. Apalagi sejak Mas Wira bekerja, kami hanya bisa quality time di akhir pekan, dengan pilihan kegiatan yang itu-itu saja. Makan atau menonton.

"Kamu hari ini rencananya ngapain?" di sela-sela mengunyah, aku kembali melontarkan pertanyaan padanya. Meski aku bukan tipe orang yang senang berbicara di depan umum, pada dasarnya aku adalah orang yang cukup cerewet. Makanya jika sedang bersama dengan orang yang dekat, aku akan menjadi another Alin yang sangat talkactive.

"Makan jangan sambil ngomong," bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah memberi peringatan. Mimik wajahnya memang tidak berubah dari sebelumnya, tetapi aku tahu kalau dia sedang memberi nasihat. Sebagai mas-mas keturunan Jawa, kesopanannya memang bisa diacungi jempol. Makannya kebiasaan apapun yang aku lakukan - yang menurutnya tidak baik, dia akan mengatakannya padaku, tentu dengan gaya halus dan tidak menyinggung seperti andalannya.

Aku mengerucutkan bibir pelan, lalu mengangguk. Kemudian terjadi keheningan karena di antara kami tidak ada yang mengeluarkan suara.

"Kemarin gimana lari sorenya sama Kael?" Mas Wira menggeser piring yang sudah tidak terisi, lalu memanggil pelayan untuk memindahkannya agar pergerakanku cukup bebas.

Aku tersenyum. Perhatian-perhatian kecilnya ini selau berhasil membuatku meleleh dan ingin menjadi jeli. "Aku dapet putaran dua kali dong, lumayan banget buat orang yang jarang olahraga sepertiku."

Sebagai seorang yang self love, aku memang hobi memberi afirmasi positif kepada diriku sendiriku. Jika aku bisa menghargai dan memuji kemampuanku sendiri, kenapa harus menunggu orang lain untuk melakukannya? oh tidak, Alinea sendiri bisa melakukannya!

"Seru?" responnya sembari tersenyum."

"Banget!"

"Kapan-kapan kita harus olahraga bareng sih, Mas. Biar hubungan kita jadi hubungan yang menyehatkan," lanjutku yang membuatnya tertawa.

"Emang hubungan kita sebelumnya nggak menyehatkan?"

Aku meringis. "Hubungan kita sebelumnya menggendutkan, Mas. Soalnya tiap kali ketemu kamu ngajakin aku makan,"

Kali ini tawanya lebih lepas dari sebelumnya. Padahal aku hanya mengatakan fakta, karena laki-laki yang ada di depanku ini memang hobi sekali memberiku makan. Tapi gimana, rejeki tidak boleh ditolak kan?

"Apa kencan besok gak usah makan? gak usaha jajan juga?" dia terlihat berpikir. Membuatku sedikit-sedikit cemas kalau sampai pemikirannya tiba-tiba ini direalisasikan.

Meski apa yang aku katakan adalah fakta, aku tidak berniat menghindar darinya. Makan adalah salah satu kesenanganku, apalagi makan gratis , tentu aku akan sangat rugi jika aku kehilangan kesempatan emas seperti itu begitu saja.

"Mas ..." panggiku dengan nada manja.

"Kenapa, hm? katanya tadi mau hubungan yang menyehatkan."

"Kita olahraga bareng aja tiap weekend," lanjutnya - berniat menjahiliku.

"Mas Wira," kali ini aku merubahnya menjadi panggilan halus.

"Dalem, Lin?" katanya menirukan nada bicaraku. Terdengar sangat ramah di telinga.

Kenapa mas-mas jawa ini sangat menggemaskan sih?

"Udah ah, aku nggak mau ngomong sama Mas Wira. Mau nyicil bikin proposal aja." Menyembunyikan semburat merah yang mungkin sudah muncul di pipi, aku menggeser laptop ke depan dan membukanya. Sedikit menundukkan kepala agar wajahku tertutup sepenuhnya, sebab tak mau kelihatan salah tingkah olehnya.

Dapat kurasakan bahwa Mas Wira, lagi-lagi tertawa. Namun untungnya dia tidak kembali meledekku, sebab aku pasti tak sanggup lagi untuk menghadapinya.

"Ya udah kalau mau ngambis lagi, aku gak bakal ganggu."

Aku menarik napas pelan-pelan untuk mengembalikan kewarasan. Lalu setelahnya mencoba fokus untuk menyusun latar belakang proposal penelitian, meski pikiranku tidak bisa sepenuhnya hilang dari orang yang sedang senyum-senyum di hadapan.

"Lin," baru saja aku mendapatkan satu paragraf, Mas Pacar sepertinya sudah tidak tahan diam-diaman.

Baguslah!
Sekali-kali dia yang akan jadi pembicara, sementara aku jadi pendengar.

"Lin," panggilnya untuk yang kedua kali.

Aku mendongak dan menatap lurus ke arahnya, "Dalem, Mas Wira..."

Boom!
Satu-satu.

Kali ini aku membalas perbuatannya tadi. Aku menirukannya ketika menjawab dengan kata 'dalem' dan membuatnya salah tingkah.

Ada apa ini?
Kenapa hanya dengan satu kata ini kami berdua sama-sama bisa salah tingkah?

Apa aku meneliti topik ini saja ya?
Pengaruh penggunaan kata 'dalem' dalam komunikasi pasangan?

AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang