Random Talk

106 21 2
                                    

Tembus 50 komen lanjut!

"Bedanya analisis Harvard sama Moser apa, Mas?" tanyaku ingin tahu. "Aku bingung ...." lanjutku sembari menggeser layar laptop. Memang dalam beberapa bulan terakhir, agenda kencan kami adalah study together. Sebuah agenda rutinan yang tercetus darinya, sebagai salah satu upayanya untuk menjadi support system ku selama menjalani penelitian.

To be honest, salah satu hal paling menguntungkan memiliki pasangan dari satu jurusan yang sama adalah bisa menanyakan banyak hal terkait tugas kuliah, termasuk skripsi. Apalagi jika yang ditanya senior, tentu kemungkinan untuk mendapatkan jawaban akan lebih besar.

"Harvard itu buat ngeliat kesetaraan gender di tingkat rumah tangga, kalau Moser itu untuk program pembangunan."

Aku mengangguk mengerti. Meski belum terlalu paham, aku bisa mencari kelanjutannya sendiri melalui sumber literasi  sekunder yang lain. Yang penting aku sudah tau dasarnya, dari my boyfee yang sangat bisa diandalkan ini.

"Mas .." tiba-tiba ku terpikirkan sesuatu untuk ditanyakan kepada Mas Wira. "Pendapat kamu gimana soal beban kerja ganda perempuan?"

Mas Wira yang mendapatkan pertanyaan tersebut menaikkan kedua alisnya. Pasti heran dengan perubahan topik tiba-tiba ini. "Kalau aku sih tergantung ya, sama komunikasi dan kesepakatannya."

Meski heran, dia tetap menjawab pertanyaan randomku. "Beban kerja ganda biasanya identik dengan kerja produktif
dan reproduktif, bener?" aku mengangguk menyetujui. "Pada dasarnya kerja reproduktif itu bukan cuma tanggung jawab perempuan, tetapi pekerjaan semua pihak."

Mas Wira menghentikan aktivitasnya membuat desain untuk menjelaskan jawabannya padaku. "Rumah tangga itu dijalankan bareng-bareng, termasuk dalam tanggung jawab mempertahankannya. Termasuk juga soal mengurus rumah, bersih-bersih dan juga memasak. Bukan semata-mata tugas perempuan." Aku sangat senang mendengar jawabannya. Itu berarti jika kelak kami berjodoh, maka aku tidak akan dibiarkan untuk mengurus rumah seorang diri.

"Sementara kerja produktif, biasanya jadi tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga. Laki-laki punya tanggung jawab untuk memberi nafkah, jadi harus bekerja. Tapi ..." Mas Wira menghentikan kalimatnya ketika aku sudah penasaran."

"Penasaran ya?" aku mengangguk mengiyakan.

"Banget!"

Mas Wira tertawa pelan. "Tapi kalau misalnya si perempuan mau ikut andil dalam bekerja, mau berpartisipasi sebagai tenaga kerja, aku pribadi nggak masalah. Dengan catatan ini keinginan pribadi, bukan karena paksaan." 

"Tapi kalau nanti kerja terus kerjaan rumah jadi berantakan gimana? bakal marah-marah gak?"

Kali ini dia menggeleng. "Bukannya tadi aku udah bilang kalau pekerjaan rumah tangga bukan cuma tanggung jawab perempuan?"

"Mas nggak keberatan disuruh nyuci sama nyapu?" spontan aku mengutarakan hal ini. Pasalnya di rumahku sendiri, hal seperti ini - menyuruh laki-laki untuk melakukan pekerjaan rumahan dianggap tidak sopan. Makanya mulutku langsung berujar, tanpa memikirkan yang lain lagi.

"Nggak sama sekali." Tidak bohong aku merasa senang dengan jawaban yakinnya ini. "Balik lagi ke awal, kuncinya di komunikasi dan kesepakatan."  Kali ini dia terlihat seperti menjelaskan kepada anak-anak. "Kalau misalnya kamu nanti pengen kerja, ya kita bagi tugas rumah jadi dua. Misal kamu yang nyapu, aku yang ngepel. Kamu yang nyuci, aku yang jemur." 

"Emang Mas Wira bisa?" tanyaku sanksi.

"Bisa dong, kan udah pengalaman sebagai anak kos." Jawabnya tertawa. Tawa yang menular hingga membuatku ikut tertawa. 

"Nggak malu?" lagi-lagi dia menggeleng. Sangat yakin tanpa ada keraguan yang terlihat.

"Tapi kalau dua-duanya jadi sibuk kerja dan nggak ada waktu buat bersih-bersih rumah?"

"Ya tinggal panggil go clean aja, atau kita gak usah pulang ke rumah. Nginep dulu di hotel, sekalian staycation." Aku benar-benar dibuat kaget dengan jawabannya ini. Bagaimana bisa aku menemukan laki-laki sepengertian ini? bagaimana bisa keberuntunganku sebesar ini?

AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang