Area lapangan kampus terlihat sangat ramai dengan banyaknya orang yang tengah berolah-raga. Akhir pekan memang waktu yang tepat untuk melepas penat, terutama untuk mahasiswa yang masih memiliki jadwal full sehingga tidak ada waktu luang di hari biasa. Setelah sepekan menghabiskan tenaga untuk berpikir, sudah saatnya untuk melepas kepenatan, menyegarkan pikiran, dan tentu saja pergi berkencan bersama pasangan.
Sayangnya kali ini aku tidak menghabiskan waktu bersama Mas Wira, tetapi bersama Kael. Selain karena aku tidak mau mengganggunya, aku memang sudah terlanjur janji dengan Kael untuk menemaninya olahraga. Katanya berat badannya sudah mulai naik, dan dia memintaku untuk menemaninya lari keliling lapangan.
"Kemarin lo .. jadi bimbingan?" tanyanya di sela-sela lari. Nafasnya sudah mulai tidak teratur, tetapi dia masih sempat untuk menanyakan perihal bimbingan yang memang belum sempat aku ceritakan padanya.
"Jadi," jawabku tak kalah ngos-ngosan. Apalagi aku tak biasa lari, tentu saja nafasku lebih ugal-ugalan dibandingkan dia. "Gue nunggu di tribun aja deh ya," aku meminta izin padanya untuk menyerah. Ini sudah putaran ketiga kami, dan rasanya aku sudah tidak kuat untuk melanjutkan perjuangan.
"Ntar gue ceritain kalo lo pengen tahu," aku sudah melipir ke arah kanan. Meninggalkan Kael yang geleng-geleng kepala, sebab sudah paham dengan tabiat sahabatnya.
Aku hanya mengangkat tangan kiriku tanpa melambaikannya. Hanya sebuah isyarat bahwa aku merespon kalimatnya yang mengatakan masih akan berputar dua kali lagi.
Aku menaiki tangga dengan nafas yang masih tidak teratur. Memilih untuk belok kiri, tepat ke sisi selatan karena peralatan kami memang ditinggalkan di sana.
Menyelonjorkan kaki, aku mengambil tas dan mengambil tumbler minum yang ada di dalamnya. Meneguknya sedikit, lalu menaruhnya disebelah tubuh. Membuka kembali tas yang sebelumnya dan mengambil ponsel.
Setelah membalas beberapa pesan WhatsApp yang masuk, aku beralih ke kolom chatku dengan Mas Wira. Mengambil gambar langit pagi, lalu membumbui keterangan bahwa aku jadi lari sore bersama Kael. Kebetulan aku bukan tipe yang suka berbagi aktivitas di sosial media, jadi setelah mengirimkan pesan tersebut aku kembali meletakkan ponsel di tempat sebelumnya.
Entah berapa lama aku melamun, tiba-tiba Kael sudah duduk di sebelahku. "Minta minum lo ya," ujarnya meminta izin. Namun belum aku iyakan, dia sudah meminum air dari botolku itu. Terus apa faedahnya izin coba?
"Cape banget ternyata ya, gue udah lama banget gak lari."
Aku mengangguk mengiyakan. Aku yang hanya lari tiga putaran saja rasanya kakinya mau copot, lalu apa kabar dengan dia yang berhasil dengan lima putarannya. "Lagian lo udah lama gak lari, El. Malah mau langsung banyak gitu."
"Lo nggak gemukan kok," tambahku melanjutkan.
"Itu mah kata lo, Lin. Emang dasarnya lo suka kalo temenku pada gemukan, biar lo gak ngerasa gemukan sendirian kan?"
Aku hanya tertawa mendengar sindirannya. Badanku memang tidak bagus, malah sekarang cenderung agak sedikit gemuk. Makanya aku hanya tertawa dengan kalimat sarkasnya, karena sedikit benar itu memang fakta. "Siapa emang yang bilang lo gemukan?"
Pada dasarnya, aku dan Kael adalah tipe perempuan yang sama. Sama-sama tidak suka berolahraga, kecuali ada pemicu tertentu. Entah ejekan tipis-tipis di tongkrongan yang niatnya bercanda, atau ulah pacar Kael yang mulutnya memang sedikit toxic itu.
"Samuel ya?" melihat Kael tidak menjawab dan malah meluruskan pandangan ke tengah lapangan, aku langsung bisa menebak kalau alasan kedualah penyebabnya. "Si brengsek ngomong apalagi emang?" saking dekatnya kami, aku tak segan untuk menggunakan kata-kata yang cukup kasar jika sedang bersamanya. Toh hubungan persahabatan kami sudah hampir berjalan empat tahun, dan kami terbiasa untuk berbicara jujur satu sama lain.
Samuel, which is pacarnya Kael adalah salah satu mahasiswa di kampus kami. Dia satu angkatan dengan kami berdua, dan sudah menjadi pasangan Kael selama dua tahun terakhir.
Secara pribadi, aku secara terang-terangan tidak menyukainya. Dia memang laki-laki yang tampan dan cukup perhatian, tapi untuk sifat dan tabiatnya jelas tidak. Omongannya terlalu kasar dan tanpa filter, bahkan pada Kael yang notabene adalah pacarnya sendiri. Bahkan dalam beberapa kesempatan, dia sering bersikap mengecewakan karena membatalkan janji sepihak kencan yang sudah direncanakan dari berhari-hari sebelumnya.
Pokoknya sebagai sahabatnya, aku adalah orang pertama yang menolak keras hubungan mereka. Tapi tentu saja, kapasitasku hanya bisa memprotes dan menemaninya ketika sedih, bukan memaksanya untuk putus atau sejenisnya. Makanya Mas Wira adalah orang yang biasanya jadi korban kekesalanku jika Kael tidak mau mengakui sisi minus kekasihnya.
"Katanya gue gendutan, disuruh diet."
Mendengar jawabannya, aku hanya bisa menghela napas. Aku yang gemukan sungguhan saja tak pernah mendapat omongan seperti itu dari Mas Wira. Tapi dia yang bahkan belum terlihat perubahan bodynya malah sudah kena roasting oleh pacarnya sendiri. "Nggak cuma itu kan yang dia bilang smaa lo?" meski terlihat baik-baik saja, aku tetap bisa merasakan perubahan mental Kael sejak berhubungan dengan Samuel.
Dia memang masih menjadi Kael yang aku kenal bertahun-tahun lalu, tetapi dalam beberapa hal dia sudah sangat jauh berbeda.
"Katanya badan gue udah gak enak dilihat, makanya dia nggak mau ngajak keluar,"
Gila!
Aku benar-benar menahan emosiku sekarang. Cowok gila macam Samuel itu harusnya dibasmi dari muka bumi, tapi malah sabahabatku sendiri ini - sepertinya tidak menyetujui ide brilian ini."Pengen gue tendang cowok lo sumpah, El,"
Kael menoleh dan tertawa. Meski kelihatannya dia bisa mentertawakan apa yang terjadi di hidupnya, pandangan matanya tidak bisa berbohong. "Gue gak tau deh, Lin. Gue tau dia emang brengsek, tapi gue belum ikhlas buat nglepasinnya."
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas. Secara logika dia memang masih waras, hanya saja dia selalu mengikuti perasaannya yang sudah tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk itu. "Gue tau lo pasti capek sih Lin dengerin gue curhat gini mulu. Tapi ya gimana ya, kayaknya cuma dia yang tulus sama gue." Lanjutnya sembari tertawa.
Aku berpura-pura muntah mendengarnya. Kenyataannya dia memang sudah ratusan kali mengatakan ingin melepas Samuel, tapi sampai sekarang masih dipertahankannya itu.
Tapi aku bisa apa? sebagai sahabatnya yang tahu bagaimana kehidupan keluarganya, aku tidak bisa menghakimi perbuatannya yang selalu aku anggap bodoh ini. Pasalnya Samuel memang datang di hidup Kael pas dia sedang jatuh-jatuhnya, jadi Kael merasa bahwa Samuel adalah orang yang benar-benar sayang denganny. Sakin beruntungnya Samuel, dia bahkan berhasil mendapatkan cinta Kael yang ugal-ugalan ini.
"Gue udah capek nasehatin lo, El. Dasarnya lo udah tau yang harusnya lo lakuin, tapi emang gak mau nglakuin." Seringkali aku ikut frustasi jika memikirkan hubungan mereka. "Gue cuma bisa bantu doa, semoga lo cepet waras."
"Haha ya maaf lah, Lin. Namanya juga cinta."
"Untung selama ini maunya dia masih logis. Walaupun ngata-ngatain lo, tapi efeknya bisa buat lo ada niat olahraga. Setidaknya nggak melulu buruk, agak baik karena bikin lo sehat." Memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan ke arah yang lebih serius, aku melempar candaan.
Meski perkataan Samuel memang seringkali menyakitkan, tapi untuk kali ini masih ada sisi positifnya. Kami berdua yang biasanya mageran dan hanya scroll tiktok, kini jadi keluar kosan untuk berolahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionDidedikasikan untuk mengapresiasi orang-orang yang masih bertahan dengan skripsinya!