Gimana kabar kalian teman-teman?
Semoga sehat dan bahagia ya***
Memasuki pertengahan semester lalu, aku seringkali mengeluhkan mengenai padatnya jadwal kuliah. Harus masuk kelas di pagi hari, dan baru bisa pulang ke kosan setelah pukul lima sore. Lalu malamnya pun masih harus mengerjakan tugas, atau paling tidak kerja kelompok untuk mengerjakan laporan hasil turun lapang. Makanya aku merasa sangat sulit beristirahat, dan ingin cepat-cepat menjadi mahasiswa tingkat akhir saja yang SKS nya tinggal sedikit. Namun siapa sangka, SKS yang tinggal sedikit itu ternyata tidak semenyenangkan yang ada di kepala.
"Akhirnya," aku menjauhkan kedua tanganku dari keyboard laptop. Sudah sejak tadi aku sibuk mengetik untuk menyusun tinjauan pustaka — yang harus diubah lagi setelah bimbingan, dan kini merasa sudah waktunya untuk beristirahat.
"Udah kelar, ay?" tanya Mas Wira yang melihat perbuatanku.
Aku menatapnya dan meringis. "Hampir," jawabku kemudian.
Dari lima subbab yang ingin aku bahas di bagian tinjauan pustaka — tiga diantaranya harus diganti dan dua yang lain harus ditambahkan. Aku baru menyelesaikan tiga diantaranya. Namun menurutku itu sudah lah hal yang hebat, sehingga sangat wajar untukku mengapresiasi kerja kerasku dengan berhenti sebentar.
FYI, masih dengan misinya untuk menjadi support system, Mas Wira benar-benar menjadikan acara kencan weekend kami untuk menemaniku mengerjakan skripsi. Justru dibandingkan aku yang menjalani tugas akhir ini, dia terlihat lebih bersemangat. Sejak semalam sudah mengingatkan agenda kencan kami, lalu kembali mengingatkannya di pagi hari.
"Kamu ngerjain apa, Mas?" daripada aku ditanya-tanya mengenai progress pekerjaanku, aku mencoba untuk mencari topik obrolan yang lain. Dan obrolan mengenai apa yang dia lakukan ketika aku tinggal mengerjakan skripsi adalah topik yang sepertinya cukup tepat untuk ku angkat.
Seperti biasanya, Mas Wira menggeser layar laptopnya agar mudah terlihat olehku. Di sana terlihat sebuah video yang sedang diedit olehnya, yang sepertinya sudah hampir selesai. "Masih ngerjain video yang semalem. Kurang finishing aja."
Aku mengangguk. Menanggapinya jawabannya yang memang sudah sangat jelas.
"Kabar Mbak Mima gimana, Mas?" tanyaku mengubah topik. Entah ini pilihan yang bijak atau tidak, sebab topik ini tergolong cukup sensitif untuk dibahas. Biasanya berakhir dengan menjengkelkan, dan membuatku kesal dengannya.
Jemima — atau yang biasa dipanggil Mima adalah salah satu rekan sedivisi Mas Wira. Sama seperti kisah-kisah pada umumnya, dia ini adalah perempuan yang sangat potensial untuk mengganggu kestabilan hubungan kami. Pasalnya secara terang-terangan, dia menunjukkan bahwa tertarik pada pacarku ini. Meski sampai sekarang Mas Wira tidak pernah percaya dengan asumsi ku itu. Padahal sikap dan perilakunya sudah jelas. Sering menghubunginya di luar kantor untuk hal yang tidak penting-penting amat.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Wira malah tersenyum. "Kenapa? masih cemburu?"
Aku mengangguk. Tidak gengsi untuk mengakui bahwa seorang Alenia memang pencemburu. Walaupun secara pribadi, aku belum pernah bertemu dengan sosok yang menjadi subjek yang dicemburui.
"Mas gak ada hubungan apa-apa sama Mima." Jawabnya sembari tersenyum. "Mas juga udah gak pernah bales chatnya lagi kalau bukan urusan kantor. Sesuai permintaan kamu." Lanjutnya menambahkan. Membuatku ingin tersenyum, tetapi gengsi untuk menunjukkannya.
Aku menyelidik untuk menyembunyikan keinginan tersenyum. "Serius?" dia menanggapi pertanyaanku dengan mengulurkan smartphone nya padaku.
Sebenarnya aku tidak pernah mengekangnya. Aku juga bukan tipe perempuan yang ingin mengecek-cek ponsel pasangan, tetapi memang — harus aku akui, terkadang aku memang suka penasaran dengan apa yang ada di dalam ponselnya.
Tidak langsung mengambil ponsel yang dia berikan, aku justru mengambil ponselku yang juga di atas meja. Lalu mengulurkan padanya, sebagai tukaran dari ponselnya yang dia berikan padaku. "Sebagai pasangan yang tidak egois, aku juga mau kasih lihat isi hp ku, Mas. "
Mas Wira tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak usah, Mas gak penasaran. Mas selalu percaya sama kamu."
"No no. Walaupun Mas percaya aku, Mas tetep harus terima hp Alin. Biar adil." Kataku. "Lumayan juga, Mas. Kapan lagi kan bisa buka-buka hp cewek cantik dengan bebas?" lanjutku sembari menaik turunkan alis. Sudah pernah kukatakan belum kalau meski aku adalah perempuan yang cukup kalem, tetapi jika bersama Mas Wira jadi banyak bicara?
Mas Wira akhirnya mau menerima ponselku. Aku pun tersenyum, karena jadi bisa langsung mengeksekusi ponsel yang kini ada di tanganku. Dimulai dengan membukanya menggunakan face id, karena kebetulan kami saling memasang kunci wajah di masing-masing hp kami.
"Kok mbak ini pantang menyerah banget ya, Mas?" ujarku setelah melihat room chat Mas Wira dan Mima. Sama seperti yang dia katakan, ruang percakapannya didominasi oleh chat Mima yang menanyakan banyak hal.
Aku mendengus. "Mbaknya kaya tokoh antagonis di AU."
Aku melirik Mas Wira yang masih sibuk dengan ponselku. Sepertinya dia tidak terlalu memperhatikan apa yang aku lakukan, dan lebih sibuk dengan gawai yang ada di genggamannya. "Tadi katanya gak mau buka-buka," lirihku setelah melihat kelakuannya.
"Mas," panggilku.
"Kenapa?" tanyanya sembari mengernyitkan dahi.
"Berdosa gak kalau nomornya Mima aku blok?" semakin scroll ke atas, aku semakin dibuat kesal oleh perempuan ini. Jelas-jelas Mas Wira sudah mengatakan bahwa dia sudah memiliki pasangan, tetapi mbak-mbak ini seolah tidak peduli. Ada saja kelakuan ajaib yang dia lakukan, seperti meminta tolong dijemput, menawarkan makanan, dan bahwa mengajak jalan di akhir pekan. Sadar mbak, yang lo pepet udah punya pasangan!
"Jangan dong, kan kadang-kadang masih perlu komunikasi buat urusan kantor."
"Mas gak bakalan nanggepin yang bukan urusan kantor kok. Aman-aman aja."
Bukannya aku tidak percaya — malah aku sangat percaya dengan Mas Wira. Percaya bahwa dia bisa menjaga diri dan kepercayaan ku. Namun sifat baiknya ini, kadang-kadang yang membuatku was-was. Takut-takut kalau perempuan lain salah mengartikan dan akhirnya mencoba untuk menjadi lebih dekat dengannya. Termasuk di Mima Mima ini.
"Nih, Mas." Pada akhirnya aku memilih untuk mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. Apa yang dia katakan memang benar, dan syukurnya otakku masih bisa berpikir secara rasional. "Walaupun gak kamu respon, tetap aja bikin aku kesel." Daripada buang-buang tenaga untuk hal yang sebenarnya tidak perlu, keputusan untuk untuk mengembalikan ponselnya sepertinya adalah yang paling tepat.
"Sebentar, Mas belum selesai pakai hp kamu."
"Emang lagi ngapain?" tanyaku penasaran. Sebab biasanya, meski sepenuhnya aku memberikan hak, dia memilih untuk tidak melakukan apa-apa dengan ponselku.
"Ada lah," jawabnya enteng. Lalu beberapa saat setelahnya baru mengembalikan ponsel padaku.
Aku hanya mengangguk-angguk. Kemudian membuka aplikasi warna hijau, sebab melihat notifikasi pesan dari Kael yang baru masuk. "Anjir, tumben banget lo pos story bucin."
Aku dibuat bingung dengan pesan darinya. Namun saat kemudian aku mendapatkan notifikasi bahwa beberapa orang me reply story ku di Instagram, aku langsung tau apa yang sedari tadi dilakukan Mas Wira di hp ku.
"Mas tadi update story di IG aku ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alinea
Teen FictionDidedikasikan untuk mengapresiasi orang-orang yang masih bertahan dengan skripsinya!