"Zaffa!" Lantang suara itu mengisi ruang tamu rumah Danadiyaksa.
"Hey, Zaf. Lihat deh, Kak Sya beliin ini buat kamu. Ini bagus tau, Zaf. Keluaran terbaru. Kakak juga beli buat kakak. Jadi nanti kita couple, Zaf. Tenang aja, ini netral kok buat cowok cewek. Cocok banget buat remaja kayak kita. Suka, kan?"
Belum juga bibir ranum Zaffa membuka, suara dari wanita lain lebih dahulu mengudara.
"Ini Mama juga beli kemeja buat kamu. Warna navy gini lagi banyak yang gandrungi, Zaf. Mama juga beli dress couple sama Syafa. Warnanya juga navy, jadi kita bertiga samaan. Ntar kalo ada wedding party or bussines party kita pakai bareng, ya? Biar seru dilihatnya. Kamu suka, kan?"
Sebelum menjawab, fokusnya Zaffa arahkan pada belasan papper bag yang masih terbengkalai isinya. Mungkin, ibu dan kakaknya itu belum sempat membukanya satu persatu.
Seulas senyum tipis pun terbit. "Zaffa suka sepatu sama kemejanya. Tapi, Mama ..." Sengaja Zaffa jeda kalimatnya.
"Boleh, gak? Credit card aku dibalikin? Itu, pakai uang aku, kan?"
Dan benar saja, selesai pintanya Zaffa ucapkan, Monica dan Syafa langsung tersenyum kecut. Tidak lama, hanya tiga detik kiranya. Selanjutnya, dua ibu dan anak itu kembali dengan senyum termanisnya. Sayangnya, Zaffa tahu itu palsu adanya.
"Iya, ntar Mama balikin. Lagian ini juga Mama sama Syafa belanjanya dikit, kok."
'Mama, kalau dikit, gak sampai sepuluh juta juga, kan?'
Kalimat itu tak benar-benar Zaffa sampaikan. Ia mati-matian menahannya lewat tenggorokan.
"Iya, Zaf. Kakak sama Mama gak belanja yang aneh-aneh. Ini itu cuma belanjaan yang emang perlu aja. Buat kamu juga Kakak beliin, kan?"
Entahlah, ini maksudnya Syafa membela diri atau bagaimana? Kakaknya itu terlalu sering berkata begitu. Membeli barang yang hanya diperlukan saja. Tapi apa dengan membeli sepatu seminggu sekali itu namanya perlu?
"Iya, aku gak masalah Kak Sya atau Mama belanja apa aja. Tapi itu uang aku. Jatah bulanan Papa buat Zaffa."
"Iya, Zaf, iya. Nanti malam Mama balikin. Credit card kamu masih di kamar. Nanti Mama ambil dan balikin."
Zaffa bukannya tak percaya. Tapi itu, dompet dan tas mamanya masih tertata rapi di atas meja depan sofa. Zaffa bukannya menduga-duga. Tapi sudah pasti credit card-nya juga masih disana.
Tak mau bertahan lebih lama, Zaffa memilih mengalah. "Ya udah, Zaffa ke kamar dulu aja."
"Iya, ini kemejanya bawa, dong."
"Sepatunya juga sekalian, Zaf"
Monica juga Syafa menyodorkan dua buah papper bag cokelat bersamaan. Sebenarnya tak ingin, tapi menolak juga percuma. Kedua wanita beda usia itu akan terus memaksanya menerima. Akhirnya, Zaffa mengambil dua buah papper bag itu dari keduanya.
"Aku ke atas, Ma, Kak," pamitnya.
.
><><><><><><
.
"Bi, Dega mana?"
Ratih, wanita 40 tahun itu agaknya terkejut. Walau sedikit, tapi tetap saja, Zaffa tidak enak hati dibuatnya. Salahkan saja mulutnya yang selalu berucap tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA MEMBIRU
Teen FictionJika saja Dega bisa memilih, mungkin ia akan memilih untuk tidak dilahirkan menjadi seorang Radega Juanda. Karena menjadi Dega itu berat. Ia harus memiliki mental dan hati yang kuat. Jika tidak, dia sendiri yang akan tersesat. Sejak kecil yang Dega...