Bagian 14. Masalalu Sebenarnya

196 16 3
                                    

"Aku hamil," kata Soraya.

Roy tentu saja terkejut bukan main. Di pandangnya lamat-lamat gadis yang masih memakai seragam SMA itu. "Kamu lagi bercanda, kan, Nadine?!"

Gelengan lemah Soraya berhasil mematahkan harapannya. Gadisnya tengah serius sekarang.

"Ini anak kamu, Roy. Nikahi aku, ayo tanggung jawab!"

"Gila kamu?! Mana bisa aku menikahi gadis SMA?!"

"Om Ardy sudah restui kita, Roy! Ayo nikahi aku!"

"Ayah gak masalah meskipun kamu gak punya apa-apa asalkan kita saling cinta, tapi Ayah gak akan terima wanita yang hamil di luar kata sah untuk jadi menantunya, Nadine!"

"TERUS AKU HARUS APA?!" Soraya berteriak frustasi di tempatnya. Gadis itu sudah menangis tersedu-sedu sedari tadi.

"Gugurkan dia!"

Soraya melotot tak percaya. Ini Roy Danadyksa kekasihnya, kan? Ketua BEM Fakultas Ilmu Sosia dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang di kagumi hampir seluruh adik tingkat maupun teman angkatannya itu, kan? Tapi kenapa Soraya seperti tak mengenalinya?

"KAMU YANG GILA, ROY! Mana mungkin aku gugurkan dia?!"

"Gugurkan anak kamu sebelum Ayah tahu kebenarannya, Nadine!"

"DIA ANAK KITA! ANAK KITA, BUKAN HANYA ANAKKU!"

"AKU GAK MAU MENGAKUI ITU! Gugurkan dia selagi aku masih baik."

Soraya jatuh terduduk di sana. Tidak peduli lagi bila rok sekolahnya harus kotor karena debu atau bila kulit putihnya ikut bersentuhan dengan tanah kering itu. Soraya benar-benar tak menyangka Roy akan sebegitu teganya.

"Nadine," panggil Roy sambil memegang kedua pundak gadis itu. Mahasiswa itu juga ikut berjongkok di depan gadisnya.

"Nadine dengarkan aku. Kamu masih sekolah dan aku masih kuliah. Kamu gak mungkin melanjutkan sekolah dengan keadaan hamil, kan? Ujian sebentar lagi, kamu gak seharusnya mempertaruhkan tiga tahun masa SMA kamu untuk hal yang tidak perlu, Nadine."

"APA YANG GAK PERLU?! ANAK INI KAMU BILANG HAL YANG GAK PERLU AKU PERTAHANKAN?! INI ANAK KAMU, ROY! DARAH DAGING KAMU! KAMU—"

Soraya berhenti saat bibir Roy menyapa bibir mungilnya yang sudah terluka akibat ia gigit dengan sengaja tadi. Roy hanya menempelkannya, tidak ada lumatan paksa di sana. Ia hanya ingin membungkam Nadine sebentar saja. Setelahnya Roy benar-benar menarik jauh wajahnya. Wajah Soraya yang memerah, entah karena ciuman tadi atau karena tangisannya, tapi intinya, Soraya benar-benar cantik luar biasa. Roy tidak bisa menampiknya.

"Aku gak bisa bertanggung jawab walaupun aku ingin. Ayahku orang yang kejam kalau menyangkut harga diri dan martabatnya, Nadine," kata Roy pelan.

"Kalau bukan kita, mungkin Ayah yang akan paksa kamu langsung untuk menggurkan dia. Dan itu tentu akan lebih menyakitkan untuk kita. Ayah gak akan percaya lagi sama kamu. Dan hal terburuk, Ayah gak akan merestui kita, Nadine. Kamu dan aku sudah berjanji untuk menikah kelak. Kita harus hidup bahagia. Kamu juga bilang sama aku, kamu mau jadi Designer ternama, kan? Mana bisa kamu mewujudkan mimpi kamu kalau kamu tetap mempertahankan dia?"

"Roy, anak ini gak salah. Kenapa dia yang harus tanggung semuanya? Seharusnya aku yang menolak melakukannya saat kamu mabuk malam itu. Jangan salahkan dia, Roy. Dia bahkan gak tahu apa-apa."

"Iya, iya! Iya, Nadine, iya! Dia gak bersalah. Kita yang salah karena sudah kelewat batas, oleh karena itu ayo kita gugurkan dia, ya?"

Soraya menggelang kuat. "Aku gak mau jadi pembunuh!"

GEMA MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang