Zaffa menutup buku tepat saat Dega membuka pintu kemudi. Menunggu Dega memasang sabuk pengamannya dengan benar sebelum kembali membuka suara.
"Dega, itu tangan lo kenapa?"
Nada khawatir jelas tersirat dari kalimat tanyanya. Tapi Dega memilih abai dan mulai melajukan mobil dengan kecepatan standar.
Tepat setelah mobil putih itu keluar gerbang, Zaffa kembali mengutarakan pertanyaan yang sama.
"Ga, tangannya kenapa? Semalem masih baik-baik aja, kan? Papa ada lukain lo lagi? Karena apa?"
Pertanyaan beruntun keluar begitu lancar dari bibir mungil milik Zaffa. Seharusnya Dega paham, anak itu tak akan diam sebelum mendapat jawaban.
"Bukan Papa lo. Ini gak sengaja kesiram air panas waktu bikinin Ibu teh."
"Agak aneh denger lo ceroboh gini. Tapi itu udah lo obatin, kan?"
"Udah. Udah diperban gini juga."
Zaffa tak buta. Perban putih yang melilit tangan kiri Dega memang menjadi titik fokus Zaffa. Tapi bukan itu yang ia pertanyakan. Sudahkah luka itu diobati dengan benar? Seharusnya itu yang Zaffa tanyakan.
"Siapa yang obatin? Lo sendiri? Gak yakin gue lo benar-benar obatin. Paling cuman lo kasih obat merah terus diperban asal. Gini aja, Ga. Lampu merah depan belok kanan aja. Ke klinik bentar, minta obatin yang bener. Kita gak bakal telat kalau cuman mampir bentar."
Dega tahu Zaffa khawatir, tapi Dega pikir itu terlampau berlebihan. Dega sudah terbiasa menerima sakit yang bahkan lebih dari ini. Lebih dari sekedar panasnya tangan karena disiram air mendidih dari dalam panci.
"Besok atau lusa juga udah baik. Gak usah dipikirin. Gue gak punya cukup duit buat bawa luka ke klinik."
"Gue yang bayar, Ga."
Zaffa itu keras kepala. Apalagi jika menyangkut Dega. Wajar bila anak itu terus memaksa Dega melakukan apa yang ia minta. Kata Zaffa, itu demi kebaikannya juga.
"Gue tahu lo kaya. Tapi gak gitu juga, Zaf. Udah lo simpen aja duitnya. Gue gak mau gaji Ibu yang malah dipotong nantinya."
Kalimat yang Zaffa sampaikan diiringi kekehan itu ternyata berhasil menyulut emosi seorang Rezaffa. Anak itu membolakan mata tidak terima.
"Lo ngatain gue sok kaya? Pamer? Atau gimana, Ga? Gue cuman khawatir tangan lo kenapa-kenapa. Tapi respon lo kayak nyindir gue banget."
Dan kembali lagi. Setiap kalimat yang berhasil lolos dari bibirnya selalu mendapat arti yang berbeda di telinga Zaffa. Terkadang, itu menjadi alasan Dega sering mangabaikan pertanyaan Zaffa.
"Gak gitu, Zaf."
"Terus gimana?!"
Sentakan dari nada tanya Zaffa kembali tertangkap oleh rungunya. Anak itu, kembali terjebak oleh emosinya.
"Kalo gue jawab jujur, lo sakit lagi, gak?"
Zaffa memiringkan kepala, menatap Dega dengan kerutan tipis di dahinya. Dan tanpa ia sadari, mobil yang ditumpanginya sudah terpakir rapi di area sekolah. Ia terlalu fokus pada Dega sampai tak memperhatikan keadaan sekitar.
"Tangan gue bukan gak sengaja kena air panas waktu bikin teh buat Ibu. Lo bener, Zaffa. Radega gak seceroboh itu."
Kalimat Dega ia sampaikan sambil menatap manik kembar milik Zaffa. Kali ini, posisi mereka benar-benar berhadapan. Saling bertatapan, bertukar pikiran.
"Kemarin gue gak sengaja menang dari Kak Sya. Gak sengaja lolos dari keisengan dia. Dan lo tahu akibatnya apa?"
Dega mengangkat tangan kirinya cepat. Menunjukkan tangan pucat penuh perban itu pada Zaffa. Namun kalimat Dega selanjutnya ternyata lebih mengejutkan dari kiraannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA MEMBIRU
Novela JuvenilJika saja Dega bisa memilih, mungkin ia akan memilih untuk tidak dilahirkan menjadi seorang Radega Juanda. Karena menjadi Dega itu berat. Ia harus memiliki mental dan hati yang kuat. Jika tidak, dia sendiri yang akan tersesat. Sejak kecil yang Dega...