15.31
Rezaffa melangkah pelan masuk ke ruang rawat Radega. Di ranjang sana dapat ia lihat Radega tersenyum menatap ke arah jendela. Setelah sampai, Rezaffa angkat tangannya guna menepuk pundak kakaknya. "Lihat apa, kok senyum-senyum gitu?"Iya, Radega masih belum terbiasa dengan suara. Jadi telinganya belum terlalu peka untuk tahu bahwa ada yang datang tanpa melihatnya.
"Jangan ngejek, gue buta."
Rezaffa mengulum bibirnya kecewa. Sialan, dia masih saja lupa jika keadaan kakaknya sudah jauh berbeda.
"Gimana sekolahnya?"
Rezaffa menarik kursi di samping ranjang pesakitan Radega lalu menjawab setelah ia duduk sempurna. "Biasa aja, soalnya gak ada lo," katanya.
Radega tersenyum simpul. "Emang sekolah itu masih bisa nerima orang cacat kayak gue, ya?"
Rezaffa menghentikan aktivitasnya seketika. Dia menatap sorot kosong kakaknya kecewa. "Siapa yang cacat? Lo cuma istimewa."
Radega ingin sekali tertawa, tetapi yang bisa ia lakukan hanya diam sambil fokus mendengarkan bagaimana Rezaffa kembali membela kondisi dirinya. Dia tahu adiknya tengah berusaha menghiburnya.
"Jadi, lagi mikirin apa sampai senyum-senyum sendiri gitu? Takut tau, takut lo ketempelan setan rumah sakit."
Ada jeda singkat usai kalimat tanya itu mengudara. "Gue semalam mimpi indah, mimpiin lo," jawabnya.
"Oh ya? Apa, tuh?"
"Gue lihat lo senyum, ke gue. Manis banget, Zaf. Sumpah kali ini gue gak bohong. Indah banget sampai rasanya gue gak mau bangun."
Rezaffa diam mendengarnya. Melihat bagaimana bibir itu bercerita dengan tatapan sendu dari mata, benar-benar kembali membuatnya kecewa.
"Zaf, mau janji sesuatu sama gue, gak?" tanya Radega pelan.
"Apa?"
Terlalu singkat memang, tetapi jujur saja Rezaffa tengah berusaha menahan getar pada suaranya.
"Kalau suatu hari gue bisa lihat lagi, lo harus senyum sebanyak dan sesering mungkin untuk gue," pintanya.
Dengan perasaan ragu, Rezaffa raih tangan Radega yang masih senantiasa terpasang infus di sana. Dia arahkan tangan kakaknya perlahan pada ujung bibirnya yang ia paksa tersenyum lebar untuk Radega. "Gak usah tunggu nanti, ini gue lagi senyum, buat lo, Kak."
Senyum simpul Radega seketika berubah menjadi gembira yang tak terkira, Rezaffa bisa merasakan kebahagiaan kakaknya.
"Pasti indah, ya, Zaf?"
Rezaffa hanya mengangguk untuk menanggapi. Suaranya sudah terlanjur tercekat di tenggorokan.
Rezaffa menarik tangan Radega, menyingkirkannya sedikit cepat karena dirasa air bening itu hampir tumpah dari matanya. "Sembuh, yuk, Ga!"
Tak ada jawaban, hanya seulas senyum sendu serta pandangan kosong yang mampu Radega berikan. Setelahnya hening cukup lama sampai mata liar Rezaffa menangkap objek di tangan Radega. Dia meraihnya cepat dan berujar tak sabaran kemudian.
"Tangan lo bengkak, Ga. Kenapa gak bilang?!"
"Gue buta, Zaf. Gak lihat," jawabnya santai sambil meraba tangannya sendiri yang masih terpasang infus itu.
Rezaffa berdecak malas. "Tunggu bentar, gue siapin air dingin buat kompres ini dulu."
"Gak usah, bengkaknya bakal hilang kalau infusnya dilepas."
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA MEMBIRU
Novela JuvenilJika saja Dega bisa memilih, mungkin ia akan memilih untuk tidak dilahirkan menjadi seorang Radega Juanda. Karena menjadi Dega itu berat. Ia harus memiliki mental dan hati yang kuat. Jika tidak, dia sendiri yang akan tersesat. Sejak kecil yang Dega...