Bagian 7. Bagian Mana yang Paling Sakit

204 21 12
                                    

Sejak dulu rooftop akan menjadi tempat pelarian yang paling menenangkan. Karena menurut Dega, di tempat ini ia tidak merasa direndahkan. Tidak ada suara yang mengatakan bahwa ia menjijikan. Dan tidak ada kata yang menyakitinya secara perlahan.

Saat ini Dega sudah merasa sedikit lebih tenang. Walau masih belum sepenuhnya melupakan, setidaknya tadi Dega tidak lepas kontrol di depan Soraya. Jika saja tadi ia tidak bisa mengendalikan kecewanya, bisa dipastikan orang-orang di sana akan semakin menghujamnya dengan lontaran kata yang menyakitkan. Berkata seolah mereka adalah manusia suci yang tak pernah berbuat kesalahan.

Dega marah tentu saja, tapi memang apa yang bisa ia lakukan? Jujur, ia sangat ingin berteriak pada semua orang, mengatakan bahwa dia kesakitan. Mengatakan bahwa hidup menjadi seorang Radega Juanda tak semudah yang mereka pikirkan.

Apa terlahir menjadi seorang anak pembantu adalah sebuah kesalahan? Mengapa orang-orang selalu melihatnya dengan pandangan menjijikan? Jika iya, lalu kenapa ibunya bilang bahwa ia ini berharga, dan patut dijaga seperti berlian?

Jika ditanya apakah Dega lelah dengan semua. Dega akan dengan lantang mengatakan iya. Mengatakan bahwa selama ini ia kepayahan. Tapi sekali lagi, Dega tak bisa melakukan itu. Tidak bisa menyuarakan kesakitannya, tidak bisa mengatakan di mana letak lukanya, dan tidak bisa menjelaskan seperti apa keadaan hatinya.

Dega tidak bisa bersuara, tidak bisa menggambarkan seperti apa perasaannya. Dan mereka hanya bisa menyakiti tanpa tahu bagaimana cara mengobati. Meninggalkan Dega sendirian dengan luka yang dibiarkan semakin dalam.

Untuk itu Dega hanya bisa diam, sambil sesekali mempertanyakan mengapa semesta membiarkannya terluka teramat dalam?

Di sampingnya Zaffa terisak pelan, menyadarkan Dega dari lamunan. Ia bahkan tidak sadar sejak kapan anak itu berdiri di sana.

"Lo kenapa, Zaf?" tanya Dega khawatir karena suara isak Zaffa yang semakin terdengar.

"Maaf, Ga." Bukannya jawaban, Zaffa justru malontarkan permintaan maaf.

Dega diam, memory-nya berputar ke beberapa waktu belakang. "Om Roy gak pernah ngebolehin lo minta maaf sama gue, Zaf. Jadi lo gak usah minta maaf, karena gue juga gak punya hak buat terima maaf lo," ujar Dega dengan senyuman.

Bibirnya tersenyum, tapi disaat bersamaan hatinya merasa kesakitan. Rasanya sangat tidak nyaman, saat ia harus mengatakan bahwa orang kecil sepertinya tidak pantas menuntut hak apapun, walau sekedar permintaan maaf dari sebuah kesalahan.

Zaffa semakin terisak di sampingnya. "Gue selalu jadi alasan lo dapet masalah. Dan gue cuma bisa diem tanpa bantu apa-apa. Sedangkan disaat gue yang dalam masalah, lo adalah orang yang berdiri paling depan buat selesain semuanya."

Di tempatnya, Dega mengehela napas lelah. Ia tidak pernah menyalahkan Zaffa atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Ia melindungi Zaffa karena memang Dega menyayangi Zaffa. Dan melindungi Zaffa juga merupakan tugasnya.

Jadi, saat Zaffa menyalahkan dirinya sendiri, Dega juga ikut merasa kesakitan.

"Kalau lo mau bantu gue, cukup jaga diri lo untuk gak terluka, Zaf. Karena gue gak pernah bisa kontrol emosi kalau itu menyangkut hidup lo. Jangan buat gue kena masalah dengan hajar orang-orang yang udah buat lo kesakitan." Kata itu kembali Dega ucapkan dengan senyuman.

Zaffa bisa melihat senyum itu tulus. Tapi entah mengapa justru sesak yang ia rasa. Zaffa kembali gagal untuk melindungi Dega. Kenapa harus selalu Radega yang berkorban untuknya, kenapa ia tidak bisa melakukan sebaliknya?

Permainan apa lagi yang akan semesta siapkan untuk hidup keduanya? Kenapa tidak diakhiri saja, dan jadikan Radega sebagai pemenangnya. Karena Zaffa tahu Dega lah yang paling terluka. Dan Zaffa sadar bahwa Dega sudah mulai lelah dengan semua.

GEMA MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang