"Jadi, cuman di hukum bersihin toilet doang? Lah, gak seru, dong."
"Gue juga udah nyudutin dia, tapi guru BK masih kekeuh kasih hukuman ringan gitu aja."
"Kenapa gak panggilan orang tua aja coba? Kan seru tuh, kalau Bokap lo ngamuk sama si Sampah," sahut Galih. Tawa ketiganya menggelegar mengisi tiap sudut ruangan.
Setelah Dega dan Gova dipanggil ke ruang kedisiplinan, keduanya diintrogasi oleh Bu Kintan. Dega yang terus diam saat disalahkan, juga Gova yang tak berhenti menyudutkan. Karena merasa tak ada pembelaan, Bu Kintan akhirnya memutuskan untuk menghukum Dega seorang. Tapi bukan lagi skorsing seperti sebelumnya. Kali ini hukuman ringan membersihkan toilet laki-laki di pojok lorong lantai 3 jadi pilihan.
Saat Dega masuk ke kelas, semua mata langsung tertuju padanya. Tatapan nyalang dari teman sudah biasa ia dapatkan. Mereka selalu menjatuhkan bahkan hanya lewat lirikan. Seketika ia ingat tempatnya adalah di titik orang-orang terendah.
"Bu, kenapa kita selalu dibilang sampah? Emang kita kotor ya, Bu?"
Pertanyaan sederhana itu ia lontarkan tepat saat ia memasuki sekolah dasar. Ia ingat, ibunya tersenyum kala ia bertanya demikian.
"Dega gak kotor. Mereka cuman gak tahu seberapa suci anak Ibu. Seberapa berharganya Dega buat orang tuanya. Dega bukan sampah, Nak. Kamu manusia sama seperti mereka."
Dega duduk di kursinya. Membalas tatap dingin Gova yang meremehkan dirinya. Lagi, ia ingat kelanjutan ucapan ibunya saat dulu.
"Bedanya, kamu itu berharga. Kata Tuhan, anak Ibu kuat. Kalau anak lain bisa berlindung dibalik kekuasaan orang tuanya, anak Ibu satu ini bisa buat tameng perlindungan dengan sendirinya."
Ibunya benar. Terbukti saat Gova mengancam Bu Ratna menggunakan nama ayahnya, Dega tetap diam saja. Tidak pula ikutan menyombongkan ayah yang tidak ia punya. Tidak ikut serta membawa nama Ratih yang hanya seorang pelayan di rumah Zaffa. Ia, tidak bisa menyombongkan apa-apa.
"Ibu bilang gue berharga. Tapi, buat siapa?" batin Dega menyeruak lantang.
"Radega Juanda ... Sekeras apapun lo teriak lo gak salah, tetap lo yang bakal kalah. Lo itu orang rendah, yang kebanyakan orang bilang sampah! Gak berguna, kotor, dan menjijikkan!"
Gova mengatakan itu sambil berjalan menghampiri mejanya. Tepat saat ia sudah berdiri di samping meja Dega, anak itu mengangkat tangan guna mengelus surai Dega perlahan.
"Anak baik kayak lo, selalu dikelilingi orang jahat kayak gue. Itu kan, yang lo pikirkan sekarang?"
"Radega!" Lantang suara Zaffa tertangkap rungu Dega.
Zaffa masuk menghampiri meja anak pembantunya itu. Menarik bahu Gova agar lengan anak itu menyingkir dari helai halus milik Dega.
"Tangan lo yang menjijikkan. Gak usah kotorin anak suci kayak Dega! Lo, jauh lebih rendah ketimbang sampah!"
"ANJING! Berani banget lo ngatain gue lebih rendah dari sampah?! Ini, temen lo yang sampah."
Luapan amarah Gova tak sama sekali menggetarkan pertahanan Zaffa. Jika Gova anak pengacara, maka Zaffa juga anak dari Dewan yang bekerja dipemerintahan. Gova juga Zaffa sama berkuasa. Tapi bedanya, Kakek Zaffa juga pengusaha. Ia jauh lebih kaya bila dibandingkan kedua ayah mereka. Sudah bisa disimpulkan, Zaffa lebih berkuasa dalam hal menyombongkan keluarga.
"Lo laki apa banci? Berantem sama anak orang, tapi ujungnya bawa kekuasaan orang tua? Merasa ayah lo paling kaya? Merasa kedudukan lo paling tinggi dari semua manusia?"
"Zaffa, stop!"
Perintah Dega tak Zaffa hiraukan. Anak itu lebih memilih melanjutkan.
"Lo anjing yang sebenarnya, Gova!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA MEMBIRU
Teen FictionJika saja Dega bisa memilih, mungkin ia akan memilih untuk tidak dilahirkan menjadi seorang Radega Juanda. Karena menjadi Dega itu berat. Ia harus memiliki mental dan hati yang kuat. Jika tidak, dia sendiri yang akan tersesat. Sejak kecil yang Dega...