𝐋 𝐀 𝐃 𝐀 𝐍 𝐆 𝐆 𝐀 𝐍 𝐃 𝐔 𝐌
Di sebuah rumah perkebunan yang terletak jauh di sudut kota, sesosok pria muda yang berusia tak lebih dari dua puluh lima tahun itu
Terlihat baru saja melompat turun dari sebuah mobil bak terbuka pengangkut hasil bumi yang sepertinya berhasil ia tumpangi secara cuma-cuma dari jalan desanya tersebut dengan sukarela.
Mereka, para petani dari berbagai macam pelosok tentu saja berupaya memasarkan hasil kebun mereka setidak nya sampai ke pengepul di tingkat kota untuk hasil yang lebih memuaskan.
Maka tak heran jika kalian tak menemukan sebuah adegan penolakan meskipun hanya satu pihak yang di untungkan di dalam sebuah pertemuan karena tujuan mereka yang hampir searah.
Pria itu sedikit terdiam, merasakan asing yang terus lalu bergeming, entah berapa kendaraan yang telah berhasil ia tumpangi hingga ia bisa sampai ke tempat dimana ia berdiri sendiri disini.
Satu detik sudah cukup membuat nya merasa bising, karena ia bukanlah seorang yang terbiasa dengan alunan rasa hening.
Maka dari itu, tanpa di penuhi seutas rasa keraguan ia mulai berjalan membawa kaki nya masuk melewati sebuah pagar besi yang menjulang tinggi
Setelah puas mengamati secarik kertas lusuh yang juga sempat tersimpan apik di dalam saku celana nya yang menguning.
Sebuah pintu gerbang yang besar benar-benar telah menyambut nya dengan bebas, seolah-olah tengah memamerkan keindahan akan sebuah kemakmuran dari segala sisinya dengan nyata di hadapan nya.
Sebuah halaman luas dengan lantai batu-bata yang memeta, pagar berumput tentu dengan segala ornamen bak kerajaannya yang juga begitu memanjakan mata.
Semua akses utama di lengkapi dengan fitur canggih yang otomatis, maka tak heran jika ia tak menemukan sebuah pos satpam ataupun penjaga di sekeliling nya.
Hanya ada kawasan hijau dengan pohon cemara yang mengisi setiap sudut lahan luas bangunan megah berlantai dua tersebut
Sampai-sampai karena saking luas nya ia benar-benar membutuhkan beberapa waktu hanya untuk sampai ke tahap menaiki pondasi rumah yang di lengkapi beberapa bait anak tangga karena sebuah jarak sebagai teras depan.
Hingga pada akhirnya, siluet jemari nya yang terlihat tegas dengan beberapa bekas luka lama yang menojol pun terangkat
Ia berhasil meraih sebuah bell yang terpasang di samping pintu mahoni tebal berukuran besar yang tampak terlihat tangguh di hadapan nya
Namun sayang nya setelah satu kali, dua kali, sampai yang ke tiga kali ia menekan dengan selingan jeda waktu sebagai bentuk kesopanan, ia belum juga kunjung mendapatkan tanggapan.
Apakah suara bell ini yang terlalu kecil atau justru rumah ini yang terlalu besar? Sehingga tak ada orang yang belum juga datang untuk menyahuti kedatangan nya.
Oh astaga, memang nya ia siapa? tentu saja pria itu hanya mempunyai pilihan menunggu sebagai opsi tunggal sekalipun jika ia harus bertamu lewat pintu lain.
Satu menit, lima menit ia menunggu hingga sampai dimana ia memutuskan untuk terus tetap menunggu tanpa terduduk dengan intensitas kesabaran
Barulah pintu bercat putih yang mempunyai warna senada dengan keseluruhan warna bangunan tersebut pun akhir nya terbuka dan menjawab seluruh penantian nya.
Namun anehnya, bukan dengan sesosok orang dewasa yang menyambutnya melainkan sesosok anak kecil berambut pirang yang kini tampak menatap nya sambil sedikit terdongak dengan raut terpaku nya yang melamun.
