#3 Gluttony - Beezelbub

0 0 0
                                    

Disclaimer:

Cerita yang disajikan berpotensi menyinggung isu-isu sensitif seperti bunuh diri, depresi, kecemasan, dll. Harap dimengerti bahwa cerita ini ditujukan untuk tujuan hiburan, refleksi, dan pemahaman lebih dalam tentang isu-isu yang rumit. Sebagian besar dari kisah ini adalah fiksi.

*

10 May 845 AD

Father Edmund Blackthorn merasa nafasnya terengah-engah saat ia membuka mata di pagi yang remang-remang. Lingkungan sekitarnya terasa asing sejenak, dan ia mencoba mencernanya dengan cepat. Kamar penuh dengan bayangan-bayangan aneh, dan ingatan tentang peristiwa malam sebelumnya datang membanjiri pikirannya.

Mata Edmund melebar dalam ketidakpercayaan, dan ia mencoba meraih ingatan yang seolah-olah mengambang di antara dunia mimpi dan kenyataan. Ia meraba-raba di dalam ingatannya, mencoba memahami apa yang sebenarnya telah terjadi.

Lalu, seperti kilatan cahaya yang datang menyelinap, ingatan itu muncul dengan lebih jelas. Bella Clarke. Pembunuhan. Gelapnya malam. Tubuh yang jatuh. Perlahan-lahan, rincian tergelap itu mulai terurai di depan matanya.

Father Edmund merasakan rasa mual merayap di dalam perutnya, ketika akhirnya ia menyadari apa yang telah ia lakukan. Tubuhnya terguncang oleh kepanikan dan penyesalan yang tak terlukiskan. Apakah semua itu hanya mimpi buruk? Atau apakah ia benar-benar telah melakukan perbuatan mengerikan itu?

Ketidakpastian melanda dirinya. Ingatan yang samar-samar itu menjadi semakin jelas dan nyata, menancap dalam pikirannya seperti duri tajam. Dia mencoba mengatasi perasaan kacau ini, mencoba memahami akibat dari tindakannya.

Edmund terbangun dari tempat tidur dengan penuh gelisah. Perlahan-lahan, ia berdiri dan merapikan dirinya. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan dunia di sekitarnya berubah menjadi tempat yang suram dan terkutuk. Dalam kegelapan pagi yang mendalam, dia merenungkan masa depan yang gelap dan tak pasti.

Bella Clarke, nama yang kini terpatri dalam pikirannya, membawa bersamaan gelombang emosi yang tak terkendali. Tidak bisa ia lupakan, bahwa Bella adalah cucu dari wanita yang mati tragis, membakar diri sebagai tanda penghormatan kepada kepercayaannya yang sesat.

Nenek Bella, yang kala itu menyimpan keyakinan bahwa perbuatan mengerikan itu adalah jalan untuk mengamankan perlindungan dan kemurahan dari entitas gelap, meninggalkan luka yang mendalam dalam keluarganya. Luka yang Bella bawa bersamanya, merasuk dalam jiwanya dengan rasa dendam yang tak terkira.

Dalam kegelapan, Bella merasakan api kebencian yang membara. Api yang menuntunnya untuk mengambil belati dan berdiri di hadapan Father Edmund, sosok yang menjadi sasaran dari segala amarah dan rasa sakit yang tak tertahankan. Dalam pandangan matanya, belati itu bukanlah sekadar senjata, melainkan simbol dari segala perasaan gelap yang ia alami selama ini.

Namun, takdir telah memainkan peran tak terduga. Pertemuan mereka berubah menjadi bencana yang tak terelakkan. Saat belati terhunus, segalanya berubah menjadi kekacauan dan kepanikan. Father Edmund terpaksa bertindak demi keselamatan dirinya, menyelamatkan diri dari serangan yang datang. Tubuh Bella jatuh, dan dalam cahaya rembulan yang memancar, nyawa muda itu pun sirna.

Ketika Father Edmund merasa terjebak dalam rasa panik dan stres yang melanda setelah perbuatan mengerikan yang ia lakukan, ada suara dalam pikirannya yang terdengar seperti seruan dari dalam kegelapan. Seakan-akan ada entitas gelap yang mendengarkan pikirannya, meski dalam bentuk komunikasi satu arah.

Dalam momen kebingungan dan keputusasaan, Father Edmund merasakan dorongan untuk memberikan ucap syukur kepada Beelzebub. Ia merasa bahwa sosok itu, entitas yang ia bayangkan sebagai penyelamat dari konsekuensi perbuatannya, telah datang dan memperhatikan keadaannya. Meski suara yang ia dengar hanya dalam benaknya sendiri, tetapi rasanya sangat nyata, menggema dalam pikiran yang kacau.

Seven Deadly CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang