#1 Gluttony - 66 Villagers

0 0 0
                                    

Disclaimer:

Cerita yang disajikan berpotensi menyinggung isu-isu sensitif seperti bunuh diri, depresi, kecemasan, dll. Harap dimengerti bahwa cerita ini ditujukan untuk tujuan hiburan, refleksi, dan pemahaman lebih dalam tentang isu-isu yang rumit. Sebagian besar dari kisah ini adalah fiksi.

*

Thought and intention (Pikiran dan niat buruk)

Ketika kamu mendengar suara itu, hatimu bisa tergoyahkan. Kamu mulai berpikir, 'Mungkin satu kali nggak apa-apa.' Ini adalah langkah pertama menuju jalan yang gelap. Kamu mulai membuka pintu bagi niat buruk untuk masuk.

Niat buruk ini adalah semacam pemberontakan. Ini adalah saat ketika kamu memutuskan untuk mengikuti suara itu dan melakukan tindakan yang kamu tahu nggak baik. Seperti mengambil yang bukan milikmu atau berbohong. Ini adalah saat di mana kamu memilih untuk mengabaikan nilai-nilai baik dalam dirimu.

845 AD

Inggris terperosok dalam jurang kegelapan yang menenggelamkan segala harapan dan kemuliaan yang pernah ada. Alam sendiri tampak marah, dengan angin yang membawa aroma kematian dan langit yang terus menerus tertutup oleh awan mendung yang pekat. Cahaya matahari hampir tak pernah terlihat, meninggalkan desa-desa dalam bayang-bayang sepi dan teror.

Dalam kemanusiaan, tampaknya nurani manusia telah hilang seiring datangnya gelombang gelap ini. Penduduk desa yang dulunya bersaudara kini hidup dalam ketakutan yang melumpuhkan. Teror yang tak terlihat menyelimuti mereka, menghancurkan ikatan sosial yang pernah ada. Orang-orang yang dulu berbagi kehidupan dan cerita, sekarang melihat satu sama lain dengan rasa curiga yang mendalam.

Desa-desa yang pernah hidup dengan semangat kini terlihat mati dan hampa. Wajah-wajah terkulai lesu, mata yang pernah berbinar penuh harapan kini memancarkan rasa putus asa. Senyum-senyum telah sirna, digantikan oleh ekspresi cemas yang meresap hingga ke tulang. Ketidakpastian akan masa depan telah merusak jiwa mereka, meninggalkan bekas luka yang dalam.

Kekerasan dan kekejaman merebak di antara penduduk desa. Dalam suasana gelap dan suram ini, manusia kehilangan belas kasihan mereka, dan kekuasaan serta harta benda menjadi alat untuk menguasai yang lemah. Kelaparan dan penyakit merajalela tanpa pengobatan yang tepat, memakan korban-korban tanpa ampun. Suku-suku Viking yang datang dari laut menjarah dan menghancurkan, meninggalkan jejak kehancuran dan penderitaan.

Pergolakan batin dan moral menjadi terlihat dengan jelas di mata setiap individu. Bahkan pemuka agama yang seharusnya memberi harapan dan panduan terjebak dalam ambisi dan keserakahan. Mereka memanfaatkan ketakutan masyarakat untuk memperkuat kontrol atas mereka, mengingkari makna sejati dari keimanan dan kebaikan.

Tahun 845 AD, Inggris menjadi tempat di mana segala keindahan manusia dan alam telah pudar. Kegelapan telah mengakar dalam setiap sudut hati, meninggalkan narasi penderitaan yang dalam dan gelap. Dalam suasana ini, mungkin hanya sedikit cahaya harapan yang tersisa, terpendam di dalam jiwa yang bertahan dalam upaya melawan kegelapan.

Ada ebuah desa di Inggris yang menggelar tarian gelap dalam bayang-bayang kehancuran. Tersembunyi di tengah lembah yang tertutup kabut dan dikelilingi oleh hutan yang menggeram, desa ini adalah tempat yang dikepung oleh misteri dan kekacauan. Semua yang ada di dalamnya telah tercemar oleh rahasia dan rasa takut yang mengalir dalam darah mereka.

Fakta menarik di balik tirai kelam ini menggambarkan kebenaran yang mengejutkan. Tidak ada lansia di desa ini, dengan orang tertua yang hanya berumur 54 tahun. Namun, usia mereka seperti terkulai oleh beban yang tak terungkapkan, sebagai simbol dari kegelapan yang melingkupi mereka.

Desa ini adalah rumah bagi sejumlah penduduk terbatas, tak lebih dari 66 orang. Namun, jumlah tersebut seolah-olah tak penting di tengah lingkungan yang lembam oleh suasana suram. Desa ini menjadi bagian dari alam liar yang tak lagi memiliki cahaya, dan semua yang tersisa hanyalah suara-suara bisikan yang menghantui udara.

Kisah kelam ini semakin dalam karena pemujaan terhadap pemimpin mereka, Father Edmund. Di mata mereka, Father Edmund adalah satu-satunya pancaran cahaya yang tetap ada dalam tengah kegelapan yang merayap. Mereka merasa bersyukur akan kehadirannya, seolah-olah terikat oleh mantra gelap yang tak terungkapkan.

Father Edmund, seorang yang misterius dan angker, memimpin dengan kekuatan yang tak terdefinisi. Ia telah menciptakan hirarki yang penuh ketidakpastian dan ketakutan. Desa ini seperti kuburan di bawah langit yang selalu kelam, di mana suara-suara gemuruh hutan membawa pesan kehancuran.

Ritual-ritual yang diadakan di bawah cahaya bulan penuh semakin meneguhkan aura kelam desa ini. Tubuh-tubuh bergerak dalam tarian yang penuh dengan ekspresi penderitaan, seolah-olah berkomunikasi dengan entitas tak terlihat yang merasuki desa.

Seiring angka penduduk desa mendekati batas maksimal 66, tekanan tak terelakkan muncul. Fakta menarik yang menyimpan kegelapan semakin menyala: jika jumlah penduduk melampaui ambang batas ini, maka orang tertua akan dihadapkan pada dua pilihan yang tak pernah diinginkan. Ini adalah saat dimana jiwa-jiwa terbelenggu antara kehormatan dan penghinaan, di bawah penerangan cahaya bulan yang tak menyentuh kegelapan dalam diri mereka.

Dalam pilihan pertama, mereka harus meninggalkan desa dengan penuh penghinaan. Terluka oleh ketidaksetujuan dan pandangan tak akurat dari sesama penduduk, mereka harus melangkah keluar dari kehidupan yang dikenal, menuju ke gelapnya dunia yang tidak diketahui. Pilihan ini seperti seutas tali yang mengikat mereka pada eksistensi yang tercampak ke dalam hampa dan sepi.

Pilihan kedua membawa rasa sakral yang dalam. Ritual pembakaran diri dengan penuh penghormatan adalah pilihan yang tidak mudah, tetapi di mata desa ini, itu adalah tindakan yang mengekspresikan kesetiaan dan pengabdian yang tak terbandingkan. Dalam aksi itu, tubuh mereka menghilang dalam nyala api, seolah-olah menyatukan mereka dengan elemen alam dalam bentuk kehampaan yang lebih besar.

Di bawah teriknya api, mereka menghadapi misteri kematian dengan wajah yang tenang dan mata yang teguh. Kegelapan dan cahaya tampak berpadu menjadi satu, menciptakan gambaran yang penuh dengan simbolisme yang mengiris hati. Sebagai penutup, cahaya yang tersisa hanyalah bara yang terbakar dalam ingatan penduduk yang tersisa.

Suasana yang kelam dan mencekam melingkupi pemandangan yang tak terbayangkan. Di bawah langit yang kelam dan hampa, sebuah tragedi bermain di panggung penderitaan. Nenek itu, seorang sosok yang telah melalui banyak dari perjalanan hidup, duduk di depan api yang berkobar. Wajahnya yang penuh keriput dan mata yang telah melihat banyak, kini memancarkan tekad yang tak tergoyahkan.

Putri tunggalnya, masih muda dan rentan, berdiri di sampingnya, air matanya tak tertahankan lagi. Dia merasakan bagaimana keputusasaan membelenggu hatinya saat melihat ibunya mempersiapkan diri untuk tindakan mengerikan. Tangannya yang kecil bergetar saat mencoba menggapai tangan neneknya, tetapi tak ada kata yang mampu menghentikan apa yang sudah dinyatakan.

Nenek itu melihat putrinya dengan pandangan yang tak terdefinisi. Mungkin ada cahaya di balik mata itu, suatu harapan untuk masa depan yang tidak akan dia saksikan. Dan mungkin ada juga kehampaan, pengorbanan yang dia anggap perlu dilakukan untuk melindungi apa yang tersisa dari desanya.

Sinar api memantulkan rona merah di wajah mereka berdua, menciptakan latar belakang yang mengerikan untuk momen ini. Sementara api berkobar, putri itu hanya bisa menangis dalam keputusasaan. Dia menginginkan ibunya untuk pergi, untuk tidak mengorbankan diri dalam cara yang tragis ini. Namun, kata-kata tidak mampu menembus tekad ibunya, dan kini mereka hanya menyatu dengan suara gemuruh api.

Pada akhirnya, nenek itu mengambil langkah terakhir menuju api, dengan langkah yang mantap dan hati yang teguh. Nyala api menyentuh tubuhnya, dan suara teriakan terbakar oleh nyala api yang menghunjam ke langit. Putri itu hanya bisa menutup matanya, mencoba untuk menghalau gambaran yang mengerikan ini.

Di tengah pemandangan ini, kehampaan dan keputusasaan menyatu menjadi satu. Pengorbanan nenek tersebut adalah tragedi sekaligus tindakan cinta yang merobek hati. Putri yang masih muda, terjebak dalam situasi yang tak bisa diubah, terpaksa menyaksikan dan merenung dalam keterbatasan yang menyayat hati.

Seven Deadly CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang