#4 Sloth - Belphegor

1 1 0
                                    

Disclaimer:

Cerita yang disajikan berpotensi menyinggung isu-isu sensitif seperti bunuh diri, depresi, kecemasan, dll. Harap dimengerti bahwa novel ini ditujukan untuk tujuan hiburan, refleksi, dan pemahaman lebih dalam tentang isu-isu yang rumit. Sebagian besar dari kisah ini adalah fiksi.

*

30 Desember 2022

Victor terbaring lemah di tempat tidurnya di kamar rumah sakit. Wajahnya pucat dan lesu, mencerminkan keletihan dan perjuangan yang tak terlihat oleh siapa pun di sekitarnya. Selang oksigen terhubung padanya, memberinya bantuan untuk bernapas dalam situasi yang semakin rapuh.

Di kamar yang sepi itu, suara jarum jam terdengar dengan sangat jelas. Setiap detik adalah pengingat akan waktu yang berjalan tak terelakkan, menuju pergantian tahun yang akan datang dalam hitungan jam. Namun bagi Victor, waktu terasa seperti bahan yang merangkak lambat, seolah-olah menampakkan sisi kekejaman dan penyiksaaan.

Melalui jendela kamar, cahaya bulan temaram masuk dan menerangi sedikit ruangan. Victor menatap keluar, mengawasi gemuruh kota Belgia yang berlangsung di luar. Dia tahu bahwa besok adalah tahun baru, ketika orang-orang akan merayakan pergantian waktu dengan harapan dan kegembiraan. Namun, untuknya, tahun baru tidak lagi memiliki makna yang sama.

Pikiran dan perasaan gelap menghantuinya, seperti bayang-bayang yang tak pernah lepas. Cacat permanen yang melumpuhkan tubuhnya adalah cermin dari keadaan mentalnya yang hancur. Dia merasa terperangkap dalam labirin keputusasaan dan ketidakpastian, tanpa tahu harus berbuat apa lagi.

Di tengah keheningan dan kesepian, suara langkah kaki lembut mendekat. Alyssa, sosok yang selalu muncul dalam momen yang kritis, muncul di samping tempat tidur Victor. Tatapannya yang penuh makna menghiasi wajahnya yang cerah.

"Besok adalah tahun baru," kata Alyssa dengan suara lembut, tetapi juga penuh arti. "Tahun baru adalah waktu untuk merenung, untuk memandang ke belakang dan merangkum apa yang telah terjadi."

Victor mendengarkan kata-kata Alyssa, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh beban yang begitu berat. Ia merasa seperti tenggelam dalam arus gelap yang tak terkendali.

Dalam redupnya kamar rumah sakit, suasana tiba-tiba terganggu oleh kedatangan seorang pria yang terlihat seperti warga biasa. Namun, Ada sesuatu dalam caranya bergerak dan tatapannya yang menyiratkan bahwa ia bukan sekadar orang acak. Matanya memandang ruangan dengan cermat, seolah mencari tanda-tanda yang mencurigakan.

Alyssa, berpura-pura terbaring lemah di tempat tidur, menyempurnakan aktingnya. Napasnya ditekan agar tidak terdengar terlalu normal, sementara tangannya yang terlipat di atas dada memberi kesan kerapuhan. Ia mengerti benar pentingnya menjaga samarannya dalam situasi seperti ini.

Pria itu mendekati tempat tidur Alyssa dengan langkah-hatinya yang hati-hati. Meskipun berpakaian layaknya warga biasa, ada ketegasan dalam gerakannya yang tidak bisa diabaikan. Tatapannya menganalisis setiap sudut ruangan, seolah mencari sesuatu yang kelihatannya tidak benar.

Alyssa menahan napasnya saat pria itu semakin mendekat. Detak jantungnya berdetak kencang, dan dia merasa cairan dingin mengalir di belakang lehernya. Dia harus tetap bermain peran sebaik mungkin; terlalu banyak yang dipertaruhkan.

Pria itu akhirnya berdiri tepat di samping tempat tidur Alyssa, tatapannya menatap wajahnya yang pucat. Ia berbicara dengan suara tenang, "Bagaimana kabar Anda? Kami mendengar bahwa Anda sedang dalam kondisi yang buruk."

Alyssa memainkan ekspresi wajahnya dengan baik, mencoba menyampaikan ketidaknyamanannya. "Dokter mengatakan bahwa saya perlu istirahat total," ucapnya dengan suara lemah, seperti orang yang sangat lelah dan rapuh. Matanya terpejam setengah, seolah berusaha keras untuk tetap terjaga.

Pria itu mengangguk penuh pengertian, seolah menerima penjelasan Alyssa. Namun, dia tidak sepenuhnya melepaskan kewaspadaannya. Ia memberi senyum yang tipis, "Semoga Anda segera pulih. Jika Anda memiliki informasi yang dapat membantu kami, jangan ragu untuk berbicara dengan kami."

Alyssa memberikan senyuman lemah sebagai balasan, seolah mengungkapkan bahwa ia mendengar. Begitu pria itu meninggalkan kamar, Alyssa merasa napasnya bisa kembali normal. Namun, tegangan yang melilit di tubuhnya tetap ada, mengingatkannya akan bahaya besar yang sedang mengancam.

Ketika pintu kamar tertutup kembali, Alyssa merasa detak jantungnya mereda sedikit. Di dalam keheningan pagi, Alyssa tetap berbaring dengan pura-pura kelelahan, berusaha keras untuk menjaga samarannya dan merahasiakan rahasia yang dapat mengancam segalanya.

"Mari kutebak, kau tidak mempunyai uang maka kau melakukan aksi kriminal?" tanya Victor dengan nada ragu. Pertanyaannya memecah keheningan di kamar rumah sakit yang terasa hampa.

Alyssa memutar matanya sejenak, menunjukkan rasa tidak pedulinya terhadap pertanyaan itu. Dia tidak menjawab, tetapi ekspresinya dan gerak-geriknya memberikan sedikit petunjuk kepada Victor.

Gerak-gerik Alyssa, meskipun minim, dengan jelas mengindikasikan bahwa dia tidak ingin membahas topik tersebut lebih lanjut. Namun, Victor sudah terbiasa dengan sikap skeptis dan kadang acuh tak acuh dari Alyssa. Bahkan dalam kondisi seperti ini, dengan selang oksigen melekat pada wajahnya, Victor tidak terkejut oleh reaksi Alyssa.

Selama beberapa saat, mereka hanya saling memandang. Dalam tatapan itu, Victor merasa ada semacam pertempuran diam di antara mereka, di mana pertanyaan dan penolakan bertemu. Tetapi saat ini, saat Victor terbaring dengan selang oksigen dan kegelapan yang terus mengelilinginya, pertarungan itu lebih lemah dan penuh dengan keputusasaan.

"Kalau begitu, di waktu kematianku ambillah uangku," ujar Victor dengan suara lemah, hampir seperti bisikan di antara suara selang oksigen yang semakin menyesak.

Alyssa menatapnya dengan tatapan datar, seolah tidak terkejut dengan pernyataan tersebut. Dia terbiasa dengan kepesimisan dan keputusasaan Victor yang semakin hari semakin terlihat jelas.

"Kau sudah memutuskannya?" tanya Alyssa, suaranya terdengar hampir tanpa emosi.

"Aku sudah yakin," jawab Victor, matanya yang suram dan penuh keletihan tetap menatap ke langit-langit kamar rumah sakit.

Alyssa hanya mengangguk sedikit, tanpa kata-kata lebih lanjut. Di dalam hatinya, dia merasa campuran antara kasihan dan frustrasi terhadap situasi ini. Melihat Victor yang terkapar dalam kondisi yang semakin memburuk membuatnya merasa sedikit terjebak dalam kenyataan yang kelam. Namun, dia juga merasa kesulitan untuk merasa simpati karena skeptisisme dan sikap pesimis Victor yang kadang sulit ditangani.

Dalam keheningan yang menyelimuti kamar, suara selang oksigen yang teratur menghembuskan udara masuk dan keluar dari tubuh Victor, seolah menjadi pengingat yang konstan akan keterbatasannya. 

Dalam keadaan yang semakin rapuh, Victor melihat sosok pria gemuk yang hadir dalam bayangannya. Namun, sosok ini bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia seperti sebuah abstraksi, suatu keberadaan yang tak terbentuk secara nyata, dan sangat samar dalam bentuknya. Wujudnya yang kabur dan abstrak mengingatkan Victor pada dunia mistis yang tidak dapat dimengerti oleh akal manusia.

Pria gemuk ini tidak menampilkan ekspresi emosi, seolah-olah ia ada di luar jangkauan manusia untuk diinterpretasikan. Bukanlah bentuk yang dapat dijangkau oleh panca indera atau emosi manusia. Seakan-akan Victor merasa bahwa kedekatan menuju kematian membawanya lebih dekat pada batasan antara dunia nyata dan dunia yang tidak terlihat.

Meskipun alam bawah sadarnya menyampaikan keanehan dan makna yang mungkin tidak dapat dijelaskan secara konvensional, Victor tidak lagi memiliki kemampuan untuk merasakan rasa takut atau emosi yang rumit. Ia seperti telah menerima eksistensi pria gemuk ini sebagai sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan. Semua ini terasa seperti bagian yang wajar dalam perjalanannya menuju akhirnya yang kelam.

Seven Deadly CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang