☯ 07: sport hall

373 70 51
                                    

Kei bersembunyi di balik salah satu pilar perpustakaan sambil celingukan melihat situasi sekitar. Setelah dirasa aman, barulah cewek itu bisa menghela napas lega. Ada sesuatu yang bikin dia merasa sangat terganggu selain dihadapkan pada situasi keramaian. Apa itu? Diuntit oleh seseorang.

Ya, sejak beberapa minggu belakangan, ada seorang cowok yang tertarik padanya dalam hal romantis. Tetapi cara dia mendekati Kei sudah seperti seorang stalker.

Hal itu bermula sejak dirinya mendapat kelas yang sama dengan cowok itu. Alvin namanya. Setiap habis kelas, Alvin selalu mengajak Kei untuk makan bersama walau ia sudah menolaknya berkali-kali.

Dan saat ini Kei sedang menghindari Alvin dengan bersembunyi sebelum mata cowok itu menangkap kehadirannya. Kalau Pra ada di sampingnya, sudah pasti ia akan menendang Alvin menjauh dengan hardikan bak mamak tirinya.

Tetapi sayang sekali Pra ada jadwal pengganti mendadak yang mengharuskan Kei menghadapi situasi mengerikan ini seorang diri.

Ya walaupun Alvin nggak secara terang-terangan mengakui kalau dia suka kepadanya. Namun tatapan bak seorang om-om genit yang dilihat Kei pada mata Alvin sudah cukup menggambarkan segalanya.

Kei bergidik ngeri jika mengingatnya, cewek itu berjalan cepat menuju parkiran, mending ia melakukan sesuatu yang sudah menjadi hobinya sejak maba. Yaitu nontonin Hagi main basket. Muehehheh.

Setiap kamis sore, Kei selalu menyempatkan diri untuk menonton Hagi main basket meski secara diam-diam. Menonton Hagi dari kejauhan saja sudah cukup bagi Kei.

Semenjak Hagi memasuki hatinya, Kei sering melakukan hal seperti ini. Misalnya memandangi Hagi makan di kantin diam-diam, menunggu cowok itu mengambil motor di parkiran diam-diam—tunggu dulu, ini kan sama saja seperti seorang penguntit?

Ah masa bodo lah, selama Kei nggak mengganggu kegiatan cowok itu, masih tidak apa-apa bukan?

Omong-omong soal ajudan dan antar-jemput, hal itu sudah berakhir sejak minggu lalu ketika Kei bilang kakinya sudah sembuh total.

Kei agak sedikit menyesal karena sejak saat itu pula ia dan Hagi tidak banyak momen bersama. Ya walaupun masih sering bertukar sapa dan mengobrol di dalam kelas. Mengapa kakinya sembuhnya cepat sih? Kei jadi pingin keseleo lagi.

Saking nggak sabarnya melihat ketampanan Hagi, Kei jadi lupa kalau dirinya sudah berkenalan dengan Hagi. Maksudnya cowok itu sudah mengenal dirinya. Jadi kegiatan menonton secara diam-diam ini sudah pasti nggak akan berjalan mulus kan?

Kei merutuki diri dalam hati, kenapa bisa sebego ini coba. Biasanya Kei mengambil duduk di tribun penonton paling atas bagian ujung agar kegiatannya ini tidak mengundang kecurigaan.

Lagipula Hagi tidak mengenalnya saat itu, jadi pekikan tertahan Kei pas lihat Hagi memasukkan bola ke ring dengan rambut berantakan—yang mana itu menambah kadar ketampanannya—tidak akan diketahui oleh cowok itu.

Sekarang situasinya sudah berbeda, Hagi sudah pasti akan langsung mengenali dirinya. Mampusnya lagi, Kei ingat hal sepenting ini saat sudah berada di dalam gedung sport hall kampus. Tempatnya nggak begitu luas namun fasilitasnya sudah seperti sebuah stadion. Gedung itu biasa dipakai buat latihan dan sejenisnya.

Cukup lama Kei bergelut dengan pikirannya sendiri sampai seseorang menepuk bahunya. Cewek itu menoleh dengan mata membelalak.

Kei ingin mengumpat keras-keras. Ternyata Alvin mengikutinya sampai ke sini.

"Mau nonton basket?"

Pergi aja lo kampret! "E-eh? Iya nih udah lama nggak nonton."

"Yaudah yuk cari tempat duduk."

Strawberry Eclairs ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang