Usai menerima ancaman mematikan dari Kei, dengan sangat terpaksa Hagi menuruti permintaan cewek itu. Hagi tiba di depan rumah Kei lima belas menit setelah percekcokan yang terjadi di antara mereka berdua.
Ah ya, soal membantu menangkapkan ayam yang Kei katakan tadi, sebenarnya Hagi masih rada nggak percaya. Bisa-bisanya cewek itu meminta tolong untuk tangkap seekor ayam? Yang benar saja! Seumur-umur, Hagi belum pernah berhadapan langsung dengan ayam hidup, yah kalo sudah berbentuk ayam goreng siap makan mah udah sering.
Tapi ya Hagi nggak punya pilihan lain selain menurut. Jadilah berbekal arahan jalan dari Kei, mereka berdua berangkat menuju lokasi dengan berboncengan motor.
Berbeda dengan Hagi yang masih memasang wajah masam, Kei sendiri malah cengar-cengir di jok belakang. Ini kesempatan yang bagus untuk mengerjai Hagi habis-habisan.
"Abis ini ke mana?"
"Nggak ke mana-mana, 'kan lagi jalan."
"Maksudnya tuh abis ini belok ke mana?!"
"Oh, lurus aja, ntar di ujung ada persimpangan, belok kiri, teruuuusss luruuuss nanti ada warung tulisannya, 'jual ayam pelakor pedash, diskon seratus persen kalo lagi nggak buka' nah di sebelahnya ada gang masuk, ya jangan masuk, itu pemakaman umum—"
"Bisa nggak, kasih taunya tuh step by step gitu, jangan nyerocos seenak jidat! Gue nggak bakal inget secepat itu." hardik Hagi, lama-lama, cowok itu emosi juga.
"Lah itu kan udah runtut step by step."
"Maksudnya, lo kasih tau pas udah on the spot gitu, kayak abis ini belok sini, abis itu belok situ, gitu!"
"Yaudah," Kei menarik napas dahulu lalu berkata, "Abis ini belok sini, abis itu belok situ!"
Hagi menghela napas kesal mendengar kalimat Kei yang terkesan main-main.
"Kei, jangan bikin gue emosi. Ini lagi di jalan, lo tau 'kan bahayanya gimana?"
"O-oke, saaaawwwryyyy." Kei sengaja mengatakannya dengan nada dibuat-buat, biar emosinya makin nampol gitu, mueheheh.
Hening cukup lama hinggap, sampai mereka tiba di warung yang tadi Kei tuturkan. Hagi terkejut, ternyata spanduknya benar-benar tertulis hal nyeleneh yang tadi Kei bilang. Hagi kira, Kei cuma membual saja. Strategi marketing sekarang memang lagi edyan-edyannya.
"Rumah Pak Mandala tuh sebenernya di mana sih? Terus abis ini ke mana?"
"Makanya, lo dengerin dulu sampe abis tadi, jangan motong-motong kalimat gue mulu."
"Yaudah cepet, panas nih."
"Yeuh, bukan lo aja kali yang panas, gue juga!" Kei jadi sewot, namun tetap melanjutkan. "Ngomong-ngomong ini kita berhenti di depan kuburan yak—hadoh untung mbakyu kunti jam segini belom beroperasi, fyuuhh, eh sampe mana tadi?"
"Rumah Pak Mandala!" Hagi jadi geregetan sendiri.
"Oh yez, itu! Kuburan nih adalah patokannya. Kalo kita maju sepuluh meter ke depan lalu noleh sembilan puluh derajat ke kanan, di situ bakal keliatan tanjakan naik, yaiyalah naik, kalo turun mah turunan yak." Kei ketawa-ketiwi sendiri, bikin Hagi geleng-geleng kepala.
Sumpah, lama-lama makin keliatan aja gila-gilanya nih cewek satu. Batin Hagi dalem hati.
"Dah tuh, tinggal naik lewatin tanjakan, abis itu ada rumah-rumah jejer di situ."
"Itu kompleks perumahannya Pak Mandala?"
"Bukan, itu rumah warga sana."
"JADI RUMAH PAK MANDALA DI SEBELAH MANA?!" Sudah tak tahan, Hagi langsung saja semprot Kei pake nada tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberry Eclairs ✔
RomantizmIni hanya tentang Kei yang diam-diam menyukai Hagian. Menjadi fangirl Hagian sejak jaman maba tidak lantas menjadikan Kei menaruh harapan berlebih pada cowok itu. Jangankan mengajak berkenalan, menyapa saja Kei tidak berani. Kei hanya sanggup mengkh...