10. L'invitation

585 133 8
                                        

Ketika tiba dari rumah Antari, Shahreen menuju ruangannya, sedangkan Naina menuju Fleuriste untuk membuat daftar bunga apa saja yang harus dibeli. Praktis beli semua jenis sebetulnya. Stok ulang.

Namun, sebelum ke ruangan, Shahreen ke dapur terlebih dahulu. Ternyata sif Emre.

"Sudah balik, Mbak Sha?" sapa Emre yang tengah membuat puding roti tawar. Ia hanya menoleh sebentar lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

Shahreen mengangguk. "Alhamdulillah, barusan."

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Emre.

"Tolong buatkan cokelat hangat buatku dan kirim minuman segar sama camilan terserah apa buat Naina," jawab Shahreen sambil berpikir enaknya mengirim minum dan camilan apa untuk Naina.

"Mbak Sha enggak?"

"Boleh deh. Kentang goreng saus mayo."

Emre mengangguk. "Siap. Mohon ditunggu."

"Makasih," ucap Shahreen lalu keluar dari dapur menuju ruangannya. Meninggalkan kesibukan dapur yang makin hari makin meningkat.

"Mbak Sha ada kiriman surat, saya taruh di meja." Nuning memberitahu begitu Shahreen melintas.

Mendengar hal itu, Shahreen otomatis berhenti dan mendekati meja Nuning. "Surat apa? Dari mana?"

"Ukurannya besar seperti undangan, pengirimnya Mbak Mehreen," jawab Nuning apa adanya.

Kening Shahreen mengerut dalam. Mengapa adiknya harus mengirimkan sesuatu jika telepon saja bisa dan lebih cepat? Kalau undangan, undangan apa? Mengapa adiknya itu tidak mengatakan apa pun sama sekali? Tidak mungkin lupa.

"Oke, makasih, ya," ucap Shahreen kemudian lanjut jalan lagi menuju ruangannya.

Sesampainya, Shahreen melihat amplop cokelat diletakkan di atas meja. Melintasi ruangan, perlahan ia meletakkan tas di rak dekat kursinya, lalu duduk, barulah meraih amplop yang terdapat tulisan tangan Mehreen. Ia pun membukanya dan benar adanya perkiraan Nuning, yaitu sebuah undangan. Tepatnya undangan reuni Akbar. Hari Minggu.

"Berarti Syari dan ... Bang Ariga juga datang?" Tiba-tiba pikiran itu terlintas di otak Shahreen yang kemudian menggelengkan kepalanya untuk mengusir segala kemungkinan yang ada. "Aduh, hush! Hush!"

Ketika Shahreen tengah membaca lagi undangan untuk mencari tahu berapa iuran yang harus dibayarkan dan ke mana, ada pesan masuk ke ponselnya. Ia pun mengambilnya dari dalam tas dan melihatnya. Dari nomer asing.

08XXXXX
Assalamu'alaikum, saya Ariga.

Ariga? Bang Ariga? Membaca isinya, kedua alis Shahreen mencuat.

Wa'alaikumussalam.
Bang Ariga?

Shahreen tak tahu harus membalas bagaimana. Bertahun-tahun mengenal lelaki itu, ia tidak pernah bertukar nomer telepon. Aneh, tapi begitulah adanya, apalagi ia tidak pernah punya kepentingan untuk menghubungi Ariga.

08XXXXX
Iya. Ada undangan reuni. Waktu itu Syari lupa kasih ke kamu, jadi dikirimkan ke rumah.

Oh, betulan Bang Ariga, batin Shahreen. Ia pun menyimpan nomor tersebut di daftar kontaknya terlebih dahulu.

Iya, Bang. Ini baru sampai di Jogja.
Adek Reen sudah kirim ke saya.

Abang datang sama Syari?

Bang Ariga
Syari nggak bisa datang.
Katanya sudah ada janji lain.
Saya sendiri belum tahu datang atau tidak.

Kenapa?

Caragana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang