17. Il A Disparu 2

596 130 25
                                    

Kehidupan Shahreen betul-betul kembali seperti semula sebelum bertemu lagi dengan Ariga. Jikalau ada sedikit tanda kehidupan hanyalah dari satu foto yang di-posting Ariga di statusnya selesai melakukan kegiatan. Sepertinya lelaki itu sedang sibuk sekali.

Shahreen sudah terbiasa dengan ritme seperti itu sebab abi dan sebagian besar keluarganya juga begitu. Sehari muncul, sepuluh hari menghilang begitulah perumpamaannya. Namun, bedanya ia masih mendengar kabar dari mereka, sedangkan Ariga? Betul-betul seperti lenyap ditelan bumi.

Sementara itu, dengan Syari, Shahreen masih tetap berkomunikasi tapi tidak pernah menyebutkan tentang Ariga secara spesifik. Kalaupun ada, hanyalah sambil lalu yang itu pun sedikit membuatnya kurang nyaman. Adik Ariga itu mengatakan sambil lalu bahwa sepertinya abangnya sedang jatuh cinta sebab ketika umminya ingin mengenalkan dengan seseorang langsung ditolak tegas. Alasan Ariga sedang sibuk, tak ada waktu untuk memikirkan hal itu dan lagi ia ingin memilih sendiri calon istrinya. Jelas ummi mereka tidak percaya sebab tak ada sedikitpun tanda yang ditunjukkan oleh Ariga, tetapi lelaki itu mengatakan tak usah khawatir dan bagi Syari seperti menandakan sudah ada yang disukai.

"Tapi, aku ngapain mikirin? Bukan urusanku juga, kan?" Shahreen berdecak keras sambil menghela napas panjang.

"Mikirin apa atau siapa?" Tiba-tiba terdengar suara maskulin yang sangat dikenal oleh Shahreen tapi lama tak bersua.

Shahreen mendongak kaget melihat kepala siapa yang muncul dibalik pintu. "Dek Rahil?!"

Rahil, sepupu Shahreen, anak kedua dari Frannie yang merupakan adik sepupu Damai itu tersenyum sambil membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk.

Shahreen berdiri dan keluar dari balik meja untuk menyambut Rahil. "Apa kabar? Ayo, duduk, duduk. Aduh kangennya." Ia memberi isyarat agar sepupunya duduk di sofa, setelah itu ia keluar ruangan.

"Ada apa, Mbak Sha?" tanya Nuning.

"Tolong minta ke dapur buat minuman segar sama camilan buat tamu saya, kirim ke ruangan, ya, makasih," kata Shahreen.

"Siap. Mohon ditunggu, Mbak." Nuning pun menghentikan pekerjaannya sebentar dan menuju dapur.

Shahreen sendiri ke ruangannya dan duduk di sebelah Rahil dengan senyum lebar.

"Serem tahu, Mbak, lihat kamu senyum-senyum nggak jelas gitu," komentar Rahil dengan kening mengernyit dalam dan ekspresi wajah serius.

Shahreen langsung membalas ucapan sepupunya dengan menyepak kakinya kesal.

"Astaghfirullah, Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, kenapa keluarga hamba tidak ada yang normal, Ya Allah? Apa salah dan dosaku, Ya Rabb?" Rahil mengangkat kedua tangannya ke atas dengan gaya berlebihan.

"Lebay! Kok bisa sih Dek Mia kepincut sama kamu? Manusia penuh pencitraan," cibir Shahreen.

Rahil kontan tertawa. "Diancam dong. Mau nikah atau enggak? Kalau nggak mau, yakin nggak rugi nggak bisa dapatkan dosen ganteng nan baik hati ini?"

Melihat tingkah Rahil, Shahreen melongo sejadinya. "Ya Allah, mengapa keluarga hamba seperti ini semua?"

Rahil kembali tertawa. "Sudahlah, terima takdir saja."

Shahreen mengangguk. "Setidaknya kamu masih sedikit normal daripada Dek Sahil."

"Sedikit aja?"

Kedua alis Shahreen terangkat. "Memangnya keluarga besar kita ada yang normal kelakuannya?"

Rahil menatap sepupunya yang bagi orang luar tampak kalem dan cenderung pendiam seperti kakaknya sendiri,Ai, tapi sesungguhnya jika sudah mengenal baik tidaklah sependiam itu. Bunglon. "Memang sih. Oh, by the way, tadi kenapa?"

Caragana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang