4. Mon Dieu !

649 152 9
                                    

Ketika jam makan siang, usai salat, Shahreen menuju dapur untuk minta dibuatkan makan siang dan diantar ke dining area. Ia memang suka makan di sana daripada ruangannya sendiri, selain untuk mengganti suasana sejenak juga melihat kondisi di lapangan secara langsung.

Baru saja Shahreen memasuki dining area, ia melihat Ariga datang lagi tetapi kali ini bersama temannya. Awalnya ia ragu untuk menyapa, sebab ia merasa malu dan takut terkesan sok kenal meski aslinya memang kenal hanya saja pertukaran kalimat mereka tidak pernah panjang. Kalimat terpanjang yang terlontar dalam sejarah pertemanan mereka adalah kemarin.

"Assalamu'alaikum,Abang," sapa Shahreen seraya menangkupkan kedua tangannya dan ia mengangguk kepada teman Ariga ketika sudah di dekat meja mereka.

"Wa'alaikumussalam," balas Ariga sambil membalas dengan cara yang sama. "Ini lettingku, Svarga. Ga, ini adik kelasku SMA dulu, Shahreen. Akrab sama Syari juga."

"Oh." Lelaki bernama Svarga itu manggut-manggut dengan senyum lebar yang menurut Shahreen ada binar jail di sorot matanya. "Halo, Mbak, salam kenal."

"Salam kenal," balas Shahreen dengan senyum tipis. "Abang berdua sudah pesan makanan?"

"Sudah," jawab Ariga.

"Oh, ya sudah," kata Shahreen masih dengan senyum tipis. "Kalau begitu saya tinggal dulu, ya? Permisi dan selamat menikmati. Semoga berkenan. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," balas Ariga dan Svarga serempak.

Shahreen pun meninggalkan keduanya menuju meja untuk satu orang. Sedari awal ia sengaja membuat konsep meja yang berbeda untuk setiap jumlah tamu agar lebih efisien. Yang datang sendirian misalnya, tidak akan terganggu jika ada yang ingin bergabung atau yang datang lebih dari satu orang tidak perlu canggung harus bergabung dengan orang lain jika kafe dalam kondisi ramai.

Shahreen menuju meja yang tak terlalu jauh dari tempat Ariga berada. Begitu duduk, ia membuka ponselnya untuk membalas semua pesan yang masuk, dan di tengah kesibukannya itu tiba-tiba ia merasakan ada yang mendekat. Ketika ia mendongak rupanya Ariga. Sosoknya dari sudut pandang Shahreen, tampak sangat menjulang.

"Uhm, hai, mengganggu nggak?" tanya Ariga sambil tersenyum tipis dan kelihatan ragu serta canggung.

"Nggak kok, Bang, kenapa? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Shahreen balik.

"Kamu...uhm, kalau nggak keberatan daripada sendirian, uhm, mau gabung sama kami?" Ariga menunjuk dirinya sendiri dan Svarga.

Kedua alis Shahreen terangkat. "Nanti saya justru mengganggu Bang Ariga dan Bang Svarga," tolaknya halus.

Ariga menggeleng cepat. "Svarga sendiri kok yang usul," ketika mengatakan itu, wajahnya tampak memerah seperti ketahuan melakukan hal tak pantas, "Uhm, jangan khawatir, bukan kami minta kamu traktir kok, murni cuma biar kamu nggak sendirian aja."

Kedua alis Shahreen kembali terangkat. Entah mengapa ia sedikit kecewa bahwa ajakan itu tidak berasal dari Ariga sendiri, melainkan rekannya dan di sisi lain ia tidak ada pikiran buruk apa pun mengenai lelaki itu. Jika Ariga belum berubah, maka sifat lelaki itu jelas bukan tipe yang suka memanfaatkan sesuatu.

"Oke, kalau Abang dan Bang Svarga nggak keberatan, aku gabung dengan kalian." Shahreen pun memutuskan setelah berpikir sejenak. Ia pun berdiri dan beranjak bersama Ariga.

Mereka bertiga akhirnya pindah di meja untuk tiga orang.

"Jadi ganggu waktu santai kalian," kata Shahreen.

Svarga menggeleng. "Nggak kok, Mbak Shahreen santai saja. Saya nggak sangka ternyata pemilik kafe baru ini kenalannya Ariga. Rumah saya dekat sini."

"Oh ya?"  sahut Shahreen.

Caragana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang