Bella POV
Aku merutuki diriku sendiri dalam hati. Memang bener kata Dysti. Mulutku itu emang gak ada remnya, asal ceplas-ceplos.
Kak Ardan pasti tersinggung. Mungkin masa kecilnya emang gak terlalu baik. Dan sangat tidak baik jika aku meledeknya, jika posisi dibalik, aku sudah mencak-mencak, berteriak dan memukuli orang tersebut. Tau sendiri lah kan ya, cewe gimana. Gampang baper.
Tapi aku bener-bener gak tau kalau dia sampe semarah ini. Tadi saja dia langsung pergi menjauhi rumah dengan penuh emosi kurasa. Bahkan mungkin, saking emosinya, Ardan sampai salah memakai sandal. Aku tahu yang dipakainya tadi bukan sandalnya melainkan sandal Pak Rudi.
Aku benar-benar merasa bersalah. Apa aku emang keterlaluan?
Yaiyalah! Bego banget lu.
Dewi batinku sendiri sekarang sudah mengataiku bego. Bunda selalu mengajarkanku untuk meminta maaf jika emang kita sudah melakukan kesalahan. Aku ingin meminta maaf, tapi aku takut ia malah membentakku dan mengusirku pergi.
Aku mengambil nafas dalam. Aku salah, dan harus minta maaf. Aku berdiri dan langsung memakai sandal yang ada di teras—entah sandal siapa karena aku sangat malas untuk memakai flat shoesku.
Aku berjalan tanpa arah. Aku sama sekali tidak tahu kemana Ardan pergi, jadi aku memutuskan pergi ke tempat-tempat yang sudah dikunjungi Ardan, walaupun aku yakin hampir semua tempat disini sudah ia kunjungi karena ia memiliki waktu yang sangat banyak untuk berkeliling. Aku menyusuri kebun teh yang sepi. Langkah kakiku terus berjalan menuruti instingku yang berkata bahwa 'Ardan ada di pondok mungkin?'
Tak ada salahnya memercayai instingku. Dan benar saja, dari sini, aku dapat melihat siluet seseorang sedang duduk di pondok. Dari bentuk tubuhnya, aku yakin itu Ardan. Aku berjalan mendekati pondok itu dan berhenti sekitar dua meter dari pondok.
What the hell. Ardan ngerokok??!
Salah satu jenis orang yang kubenci adalah orang yang merokok. Emang dikira bagus apa ngerokok? Ngerasa gentleman? Ngerasa laki? Duh, liat dong di bungkusnya. Jelas-jelas ditulis dapat menyebabkan kanker dan impoten. Emang situ ngerasa cowo kalo impoten? Nggak kan? Trus apa pada gak mikir, kalau asapnya tuh, juga berakibat ke orang-orang disekeliling mereka.
Mereka tuh udah kayak ngisap racun tau gak?Mulutku gatal. Gatal ingin mengocehi, menceramahi dan memarahi Ardan. Kulangkahkan kakiku kesana dan dengan cepat kuraih rokoknya.
"Lo tuh apaan sih? Pake ngerokok segala?! Apa manfaatnya? Orang tua lo gak pernah ngelarang?" omelku. Ardan diam. Lalu menghembuskan asap dari hidung dan mulutnya. Refleks aku menutup hidungku.
"Emang. Orang tua gue gak pernah ngelarang gue ngerokok. Kayak mereka peduli aja sama gue" jawab Ardan dengan nada mengejek. Aku tertegun.
"Gue... Gue minta maaf kalau tadi gue udah lancang nyinggung soal masa kecil lo. Gue gak bermaksud buat nyinggung lo" Aku menunduk.
"Gapapa. Gue aja kali, yang terlalu sensitif soal itu" jawabnya dengan nada dingin. Lama, kita berdua sama-sama terdiam.
Aku melirik rokok yang masih ada di tanganku. Segera kubuang karena puntungnya nyaris jatuh mengenai kakiku.
"Eng, kakak... Ada masalah ya, sama orang tua kakak?" tanyaku hati-hati.
"Mereka emang gak pernah merhatiin kakak. Selalu kakak yang harus ngemis-ngemis perhatian" katanya dengan tersenyum miris.
"Bukannya Bu Mar itu baik banget? Sayang banget sama semua anak kecil di kampung dulu deh kayaknya"
"Iya, ibuku emang terlalu baik sama semua orang sampai-sampai dia lupa kalau ada anaknya yang harus diperlakukan lebih. Kakak gak pernah dapet kasih sayang lebih lagi semenjak Ibu sibuk ngurusin panti asuhan milik kakekmu. Ibu terpaksa harus membagi kasih sayangnya sama rata kepada semua anak yatim termasuk kakak, anaknya sendiri. Kadang kakak suka mikir, trus apa bedanya kakak sama anak yatim piatu?" Ardan tertawa pahit. Aku mendengarkan secara saksama. Ini rekor. Ia bercerita panjang lebar dengan mimik yang pas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arabella
Teen FictionKetika seorang gadis manja harus meninggalkan posisi nyamannya. Copyright © 2015 by Lizz-chan