5 - Perjalanan yang Kacau

97 10 2
                                    

Setelah acara Anniversary yang super sweet dan pengorbanan (lirik kepala Bayu) , kami harus mengahadapi ulangan semester ganjil.

Awalnya, aku sempat agak panik. Tapi Bayu menenangkanku. Ia bilang "Nilai itu gak penting, Bell. Bisa aja ada kecurangan. Tapi kalau lo udah belajar maksimal, berarti otak lo udah yang terbaik"

Akhirnya, dengan berbekalkan balas dendam akibat nilai-nilai ulangan harianku yang lebih rendah daripada Ratih, aku berusaha untuk melampauinya.

Selama seminggu penuh, chat atau telepon dari Bayu maupun dariku bisa dihitung dengan jari. Karena kami berdua saling berkomitmen kalau prestasi itu penting untuk membanggakan orang tua.

Aku, Bayu dan Dysti merayakan hari terakhir ulangan dengan pergi ke bioskop dan karaoke. Perasaanku saat itu senang sekali. Rasanya lega, senang, bebas. Tapi itu tak berlangsung lama. Karena ketika aku pulang, aku melihat koperku sudah siap di kamar.

Aku ingat kalau aku harus pergi ke Kampung antah berantah itu. Ingin rasanya aku merengek kepada Ayah, cuma rasanya tidak tega. Ayah sudah berkorban segalanya untuk memenuhi keinginanku. Apa salahnya kali ini aku menuruti kemauannya.

Aku segera men-sms Bayu. Memintanya datang untuk.menemaniku malam ini. Dan syukurlah ia menyanggupi. Aku turun ke bawah, ke ruang keluarga sambil menunggu Bayu.

"Yah, ntar Bayu kesini, yaa" izinku.

Ayah mengangguk, "Ara gak mau pergi? Yakin mau di rumah aja? Inget, Ara kan besok udah mau pergi"

Aku terdiam. Iya juga! Kenapa gak terpikir?

Aku buru-buru naik ke atas untuk mengganti pakaianku. Kali ini, aku sudah memakai kaos berwarna putih yang bergambar Hello Kitty. Aku memakai sweater soft blue-ku karena kurasa malam ini cukup dingin. Untuk bawahannya aku memakai jeans. Setelah bercermin, aku memutuskan untuk turun ke bawah. Kembali duduk di sofa depan tv.

Ayah mengalihkan pandangannya dari tv ke arahku. Ia tersenyum. Entah kenapa aku pun ikut tersenyum. Belakangan aku sadar kalau Ayah sudah semakin tua. Guratan di wajahnya semakin terlihat. Aku juga sadar, kalau selama ini aku belum bisa menjadi anak yang baik.

Aku sedih melihat Ayah semakin tua. Bukan berarti aku mendoakan yang tidak-tidak, tapi umur siapa yang tahu?

Aku masih ingat, Ayah selalu membelikanku apa saja yang kumau. Apa saja. Bahkan menghiraukan omelan Bunda yang selalu melarang Ayah terlalu memanjakanku. Aku tahu. Aku tahu Ayah sangat sayang padaku. Begitu juga aku. Aku hanya berharap, dapat melihat senyum itu selamanya.

"Kok ngelamun? Dih, cantik-cantik melamun" Ayah berkomentar. "Gapapa, Ara sayang sama Ayah" tiba-tiba, aku mengucapkan kata spontanitas itu.

"Ayah juga sayang sama Ara" Ayah tersenyum lalu mengusap pundakku.

"Ayah kadang seneng, ngeliat Ara sama Bayu" Alisku bertaut bingung.

"Kenapa? Ara sweet ya, sama Bayu?" godaku. Ayah terkekeh.

"Bukan, mirip aja dulu, kayak Ayah sama Bunda" Ayah mengambil jeda. Ayah memang tak jarang menceritakan masa lalunya walau sering juga diomelin Bunda karena katanya 'Ngapain sih, cerita itu dikasih tau ke anak kecil yang gak ngerti apa-apa?'

Padahal saat Ayah mulai bercerita, umurku sudah 12 tahun. Tapi Ayah belum pernah cerita kalau aku dan Bayu mirip Ayah dan Bunda dulu.

"Dulu Ayah juga sering, nganterin Bunda kamu pulang sekolah, ngobrol sama Eyang kung, abis tuh pamit dan ngelakuin itu terus sampe Ayah dan Bunda menikah. Eyang juga dulu merestui, jadinya tidak ada hambatan yang erlalu berarti buat Ayah" Ayah menatapku lalu menepuk pundakku.

ArabellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang