Aku terlalu lelah untuk banyak bertanya ataupun protes ketika Ardan seenaknya mengambil keputusan untuk menginap di desa itu. Menurutku, aku sudah berjalan 2 km lebih. Oh, mungkin lebih dari itu karena sekarang kepalaku pusing dan kakiku mulai nyeri.
Demi apapun, ini desa ter-belakang yang ada di pulau Jawa kurasa. Boro-boro ada alat elektronik, untuk penerangan saja mereka masih menggunakan lampu minyak. Belum lagi suasana malam yang mencekam.
Kuharap Mbak Kunti tidak menghampiriku malam ini.
Aku dan Ardan pergi ke tempat kepala desa menurut petunjuk dari Bapak Gafar-penduduk setempat yang kebetulan sedang bersantai di depan rumahnya.
Sesampainya di rumah kades, kami disambut dengan hangat walaupun kami jelas-jelas mengganggu malam-malam. Pak Tora-Kades menganjurkan untuk menginap di salah satu rumah warga yang sudah 10 tahun belum dikaruniai anak. Pak Rudi dan Bu Mina. Aku sempat ragu ketika melihat rumahnya yang terletak paling pojok, alias paling dekat dengan hutan lebat dan gelap. Tapi melihat binar di mata Bu Mina, aku enggan menolak untuk menginap disini.
Jadilah, aku menempati kamar yang lebih kurang seluas 2 x 1 m.
Bu Mina tampak begitu bersemangat dan tampaknya ingin berbincang-bincang denganku semalaman, namun Pak Rudi menangkap sorot mata lelah (Lelah adek, Bay! Lelah!) di mataku sehingga ia pun membujuk istrinya untuk menunda acara ngobrol-mengobrolnya dan menyuruhku istirahat.
"Lo gak enak badan?"
Aku menoleh ketika Kak Ardan menanyai kondisiku dari ambang pintu yang hanya ditutupi oleh tirai. Yap, tak ada pintu.
Aku menjawab dengan anggukan. Bisa kudengar Kak Ardan menghela nafas lalu pergi. Hih, kupikir bakalan nawarin bantuan apaaa gitu. Ternyata, nanya doang. Oh, Bella. Jangan terlalu berharap pada muka datar sok innocent itu.
Oke, daripada mengomentari Ardan yang tak akan pernah ada habisnya, lebih baik aku tidur.
***
Aku membuka mataku ketika merasakan sesuatu yang basah di keningku. Aku terbangun dan sebuah kain jatuh di pangkuanku.Kompres?
Aku mengernyit bingung sekaligus heran.
Semalam gue demam? Mungkin Bu Mina yang ngasih ini kompres.
Aku tak terlalu ambil pusing mengenai itu. Aku keluar dari kamar dan mendapati Ardan dan Pak Rudi sedang mengobrol santai di ruang tengah sambil menikmati kopi dan pisang goreng.
Suasana yang bener-bener desa(yaiyalah). Aku belum terbiasa dengan rumah ini. Apalagi lantainya yang hanya dilapisi semen membuat kakiku terasa dingin.
"Sudah bangun?"
Aku menoleh ke arah Bu Mina yang sedang membawa secangkir teh hangat. Wajah Bu Mina tampak berseri-seri. Aku jadi teringat, cerita Ayah dan Bunda. Ayah dan Bunda yang sampai berkonsultasi ke dokter terbaik di berbagai negara karena mereka tak kunjung mendapat momongan. Bunda dan Ayah sudah melakukan berbagai cara seperti bayi tabung, jamu dan lainnya tapi tak berhasil, sampai Bunda akhirnya merelakan kalau seandainya Ayah menikah lagi. Tapi Ayah menolak, dan tak lama setelah itu, secara ajaib Bunda pun hamil. Kisah yang cukup sweet. Aku anak mahal dong ya, berarti.. (Haha)
"Udah Bu, semalem kecapekan banget" jawabku. Bu Mina tersenyum lalu memberiku secangkir teh. Aku menerimanya lalu meneguknya sedikit.
Bu Mina lalu memulai sesi pertanyaan. Semua ia tanyakan dan akupun mencoba sebisa mungkin untuk menjawab. Bu Mina terkadang bercerita tentang kampung dengan bangga. Aku hanya bisa mendengarkan, walau aku mulai merasa bosan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arabella
Teen FictionKetika seorang gadis manja harus meninggalkan posisi nyamannya. Copyright © 2015 by Lizz-chan