Bab 11. Dilema!

254 7 1
                                    

Keira

"AKU CINTA MATINYA SAMA DIA!"

Dia berpaling dan mata kami bertemu. Begitu cepat percikan keterkejutan mengalir diantara kami. Dan dengan cepat aku melihat Natan yang mengusap air mata kemudian bergerak kearah kamarnya.

Aku terpaku dalam ketidak percayaan. Semua yang terjadi tidak ada barang satupun yang aku mengerti. Lebih-lebih menyangkut Natan. Apa yang dia harapkan pada sebuah hubungan yang tidak bisa diselamatkan? Banyak luka yang ditorehkan bahkan jejek-jejek sakit itu masih ada dan membekas.

"Dia memang keras kepala." Komentar Edi, menggeleng lemah sambil menarik napas berat sewaktu menemukan kami yang berdiri tidak jauh darinya.

Beliau kelihatan lelah.

Tak berselang lama Natan melintas didepan kami dengan penampilan berbeda, rapi dan menawan.

"Kau pergi? Lagi?" Tanya Ridwan mengikuti arah gerak Natan.

Om Edi sontak berpaling dan mamindai Natan. Sementara lelaki itu tidak mengatakan sepatah kata dan terus membawah langkah pergi.

Apa begini sikap Natan ketika tidak ada aku disisinya? Apa harus separah ini? Apa aku sepengaruh ini dalam hidupnya?

Natan yang kulihat barusan bagaikan orang asing yang tidak perna kukenal. Dia berbeda.

Jarum jam terus berputar. Tanpa terasa waktu menunjukan pukul 12 malam dan Natan tak kunjung pulang. Semua orang panik memikirkan nya. Apa yang dia lakukan diluar sana? Apa dia baik-baik disana? Ya, kecemasan seperti itu yang tergambar diraut wajah keluarganya.

"Kita harus mencarinya. Anak itu sudah kelewatan batas." Ungkap Ridwan yang sejak tadi melempar mata kearah luar menanti kapan Natan akan pulang.

"Biarkan dia. Itu pilihanya. Dia bukan bocah yang harus di khawatirkan." Sahut Om Edi acuh. Padahal dengan terang-terangan raut mukanya menunjukan sebuah kecemasan.

Ridwan tertegung. Detik kemudian dia menggeleng, tidak setuju dengan ucapan sang Ayah.

"Saya akan mencarinya." Bilang Radwan langsung membawa mata kearah Ibunya yang tampak cemas.

Ridwan langsung memungut dompet serta kuci mobil. Setelahnya dia bergerak keluar, yang diikuti olehku. Kami sama-sama masuk kemobil dan Ridwan tidak mempersoalkan aku yang ikut-ikutan.

Sepanjang perjalanan Ridwan terus menghubungi Natan. Sayang panggilanya tidak digubris.

"Tidak angkat?" Tanyaku.

Ridwan membalas pertanyaanku dengan anggukan.

Ridwan terus-menerus menghubungi Natan. Namun hasil yang didapat masih sama. Natan tidak mengangkat panggilan.

Terlihat kecemasan mengembang dengan sempurna di raut wajahnya. Ridwan benar-benar mencemaskan adiknya.

Melihat gelagat Ridwan yang begitu menghawatirkan adiknya, aku mendadak gelisah. Cinta Ridwan pada adiknya bisa saja akan mengalahkan cintaku padanya.

Apa jadinya jika Ridwan tahu kalau akulah wanita yang berhasil membuat Natan segila ini? Apa tanggapannya? Siapa yang akan dia pilih? Aku atau Natan?

"Ri?" Kataku pelan dan menatap gelisah.

"Hmm?" Sahutnya tanpa melirik barang sebentar kearahku.

Hatiku mendadak tak enak.

"Boleh aku bertanya?" Bilangku penuh harap cemas.

"Ya, silahkan." Sekali lagi dia tidak milirku barang sebentar.

"Umm....siapa yang akan kamu pilih antara aku dan Natan jika kami sama-sama berada dalam suatu insiden bahaya yang sama dan kami sama-sama membutuhkan pertolongan darimu?"

WISHES.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang