Natan
Keira berakhir kembali keruanganku. Inilah hebatnya memiliki kekuasaan. Sejauh apa Keira berlari namun ketika dia berada dibawah kekuasaanku maka dia tidak bisa berbuat apa-apa selain tunduk padaku. Dan beginilah jadinya.
Keira menatap marah. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Dari awal saat dibawa petugas keamanan kesini wajah Keira memang sudah ditekuk sebegini model. Tentu saja, Keira marah. Apalagi aku membawa-bawa petugas keamana untuk menjemput langsung Keira di tempatnya seperti seorang buronan.
"Sudah? Bagaimana hasilnya?" Aku bertolak bangun menghampiri Keira. Aku menatap tidak berkedip sewaktu Keira keluar dari toilet. Aku jadi dak-dik-duk. Juga tidak sabaran. Lebih-lebih saat melihat wajahnya yang dibikin memelas.
"Kamu hamil?" Aku bertanya serius. Dadaku sudah tidak bisa ditolong karena berdetak begitu cepat dan kencang.
Dia mengerutkan alis dalam dan menatap malas."Serius?" Dia berkata marah. Mungkin kurang suka dengan perkataanku.
"Jadi nggak?" Aku menarik napas lelah. Mungkin mainku kurang efektif.
"Menurutmu?" Dia menyempitkan mata kesal.
Aku menarik napas. "Kita coba lagi, yuk." Dan aku menatap serius. Aku tidak akan menyembunyikan perasaanku biar Keira tahu bahwa sampai sekarang hanya dia yang aku cintai dan harapkan.
Keira tercengang kaget. Mulutnya bahkan setengah terbuka.
"Jangan merasa berkecil hati kalau belum ada hasilnya." Aku berkata lebih lanjut yang mana membuat rahang bawah Keira hampir melorot.
Dia menatap tak berkedip."Jangan sampai Bapak sakit ya?" Lirihnya.
"Kamu pikir aku Bapakmu? Bapak...Bapak...Bapak. Bapak apaan?" Aku mendadak kesal sendiri dengan panggilan itu. Lebih-lebih dari mulut Keira. Aku tak suka dipanggil begitu.
"Terus. Aku masti manggilnya apa?" Keira bertanya heran. Nadanya terdengar pelan dan tidak diselipkan nada sewot.
"Ganteng. Sayang. Baby. Honey. Ayang. Mas. Kak. Kang suami. Suami" Celetukku.
Mata Keira melotot."Memangnya panggilan itu cocok sama status Bapak sekarang? Masalahnya Bapak CEO loh. Bahkan dengar-dengar Bapak juga Owner." Katanya.
Aku mengangguk-angguk."Ya, dibuat pengecualian saja. Sama kamu bisa diatur. Bapak lagi. Aku bukan Bapak kamu ya. Aku lebih cocoknya jadi Kang suami kamu." Celetukku.
"Oh oke. Marzuki." Spontannya dan aku terkejut dibuatnya.
"Yang sopan Keira." Tekanku.
Dia mengatup bibir dan menunduk. Ini bagian yang aku suka. Keira yang bungkam.
"Tumben nggak ngegas?" Aku bertanya heran. Meski aku tahu apa penyebabnya. Entah mengapa aku senang saja menggoda Keira. Tumben-tumbenan Keira penurut walau kadang ada pancaran kekesalan dibalik matanya. Ralat. Sebetulnya disangat marah hanya saja berpura-pura happy didepanku. Ancamanku yang mengatakan akan memecatnya bekerja dan dia takut. Bagus. Itu yang aku harapkan.
Dia menatap marah sambil mengertakan gigi kuat-kuat."Mana berani akunya, Pak. Bapakkan bos disini. Sementar aku cuma Staff biasa." Sahutnya, berusahan menahan diri mati-matian dari kekesalan.
Aku tersenyum."Nah, kalau begitu kamu jangan panggil aku Bapak. Aku nggak suka. Bisa pilih opsi tadi selain Marzuki. Dan juga kalau aku memang atasan kamu setidaknya jangan membantah saat disuruh dan dimintai sesuatu." Kataku, membalikan badan dan duduk pada kursi kerjaku. Sementara Keira masih berdiri ditempat.
"Bisa minta tolong?" Tanyaku pada Keira.
Dalam kebingungan Keira mengangguk ragu-ragu. Dan aku tersenyum puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
WISHES.
Roman d'amourPenghianatan yang Natan lakukan sangat berdampak besar dalam perubahan hidupnya ketika akhirnya Keira memutuskan pergi. Natan mendadak kehilangan diri dan merasa hampa tanpa hadirinya sosok Keira. Akhirnya Natan menyadari bahwa Keira memilik arti pe...