"Kak?"
"Eh, hah? Apa?"
"Tuh, kakak saja sampai melamun. Yakin tak mau menceritakannya, kak?" Aku menghela nafas dan melanjutkan aktivitas berulang-ulang ini,
"Aku ceritakanpun, kau tak akan memahaminya. Bukankah berakhir sia-sia saja?"
"Aku tak memaksamu, sih, kak... Namun, tidakkah kau akan mencobanya?"
Aku diam sebentar sambil terus menstempel buku-buku. Maksudku, apa dia tak masalah jika mendengar ceritaku? Terlebih kami baru jumpa, bahkan namanya saja aku tak tau. Kenapa dia tak merasa aneh sama sekali tentang hal ini? Kebanyakan orang akan bersikap bodoh, apalagi yang baru kenal, tapi anak ini. Benar-benar aneh sekali.
"Setelah mendengar ini, jika kau tertawa aku akan menceburkanmu ke kolam sekolah bersama ikan-ikan koi itu" ancamku.
Dia keget, "Mana mungkin aku akan tertawa!"
Lalu, aku pun mulai menceritakan masalahku, "Aku itu anak yatim piatu yang diangkat oleh sepasang gay, dan aku baru menyadarinya sekarang" Ku tatapi anak di depanku ini, dia sama sekali tak tertawa mendengarnya. Malah, dia melihatku seakan-akan aku adalah orang teraneh di dunia.
"Lalu?"
"Lalu, katamu? Tuh! Sudah ku bilang, kau tak akan mengerti!" Kesalku.
"Tentu saja aku tak akan mengerti! Lagipula apa yang aneh?"
Aku menutup buku dengan kasar, "Jangan-jangan kau sama anehnya dengan orang tuaku dan seluruh orang di rumahku?!"
Dia pun meletakkan stempel itu, melipat kedua tangannya ke atas meja, dan menatapiku dengan serius, "Tunggu dulu, jangan langsung menilai seperti itu. Jadi, kau diangkat oleh kedua orang tuamu yang... gay... lalu?"
"Lalu aku telah berpikir, kalau itu tidaklah normal. Terlebih melihat ibuku, semakin hari aku semakin tak menyukainya. Dia seakan telah benar-benar menjadi seorang wanita saja! Dan aku baru menyadari hal itu di usiaku yang sekarang!"
Dia menyipitkan matanya, "Jadi masalahmu karna kau berpikir orang tuamu tidak normal, kak?"
Aku bersandar dan melihat ke arah lain, "Ya, dan aku lelah karena itu. Kalau tau begini, dari dulu aku tak punya mereka saja. Rasanya sungguh aneh..."
"Kau yang aneh, kak..."
Ku lirik dia yang tersenyum, "Aku?"
"Iya! Karena bagaimanapun, yang telah merawatmu 'kan mereka. Bukan gender yang telah membesarkanmu menjadi kakak kelas hebat seperti sekarang! Tapi kasih sayang kedua orang tua mu itu kak!!"
Aku pun kembali berpaling, "Kau bilang begitu 'kan karena kau punya kehidupan yang lebih tenang dan normal daripadaku."
"Tidak, kak. Aku juga yatim piatu, tapi yang membedakan kita adalah, kakak telah punya orang tua sekarang, sedangkan aku tidak..."
Anak ini...
"Jadi, kau harus bersyukur kak... Terlepas dari apa dan bagaimana orang tua mu sekarang..."
Aku menghela nafas dan menidurkan kepalaku di atas meja. Anak ini ada benarnya juga, seharusnya aku tak boleh berpikir buruk seperti itu.
Dulu, saat bertemu ibu Astley... Aku sangat bahagia, dan akan menganggapnya sebagai ibuku sendiri. Kenapa sekarang aku malah mempertanyakan posisinya di hidupku?
Aku ini sudah gila...
Ibu telah menyelamatkanku dari kegelapan dan kesunyian dunia, dia merawatku dengan penuh kasih sayang, bahkan mungkin melebihi besar cintanya kepada ayah. Lewat tangannya yang hangat dan lembut, dia memberiku makan dan minum, memberikanku kenyamanan dan rasa aman, memberikanku cintanya.
Dia yang telah membesarkanku, lalu kenapa aku bisa berubah seperti ini hanya karena perasaan kebingungan remajaku ini? Aku sungguh sudah gila...
"Minta maaflah kepada orang tuamu, jika kau telah berbuat salah, kak... Aku yakin semua akan baik-baik saja..."
Ku anggukkan kepalaku, "Entah rasanya lega dan tenang setelah menceritakannya padamu, apalagi mendengar nasihatmu. Hatiku... Seakan tergerak lagi..."
Dia pun tersenyum lebar, "Aku senang mendengarnya..."
"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" Tanyaku.
"Namaku Austin, Austin Halley, salam kenal kak!"
Halley.... Halley.... Sepertinya sangat tidak asing di telingaku. Kapan aku pernah mendengar nama itu, ya....
"Namaku Lerell."
"Hey! Lerell! Apa kau telah selesai di belakang sana?!" Suara bapak killer itu menggema dari depan sampai ke belakang, aku pun langsung kembali mengerjakan kerjaanku.
"Baik pak!"
Setelah dari perpustakaan, aku langsung ke kantin untuk menyusul teman-temanku. Mereka memanggilku disaat aku tiba di kantin, sebuah meja di paling ujung ruangan menjadi tempat bersemayam kami selama ini. Segera aku mengambil piring dan menyajikan makanan yang telah tersedia di meja panjang untuk diriku sendiri. Selesainya, aku menghampiri meja di ujung sana dan duduk bersama teman-temanku yang ternyata menungguku. Mereka tak menyentuh makanan mereka sebelum aku sampai.
"Kau tampak trauma, El" ucap Borris melihatku dengan tatapan miris penuh kasihan. Dia menepuk bahuku, memberikan semangat atas apa yang telah ku lalui di perpustakaan.
"Perpustakaan itu seperti neraka!" Kesalku.
"Itulah kenapa aku tak mau ke sana, kalau terpaksa meminjam buku saja. Bahkan ada anak-anak yang ke perpustakaan untuk bolos kelas, mereka benar-benar payah" tanggap John sambil mulai menyantap makanannya.
"Memang apa yang terjadi padamu, sampai kau terlihat sekesal ini, El?" Tanya Peter sambil menyeruput colanya.
"Aku disuruh untuk stempel puluhan lusin buku!" Ucapku sedikit membentak, agar mereka bisa merasakan bagaimana kekesalanku pada bapak killer tadi. Hal itu buat Peter sampai geleng-geleng kepala.
"Aku lebih baik di penjara dari pada harus menghabiskan berjam-jam di dalam perpustakan!" Ungkap John terlihat sangat bangga atas kata-katanya.
"Kalau begitu kau harus melakukan sesuatu agar di penjara, John. Dan aku tak akan mau menemanimu di dalam jeruji besi itu!"
Perkataan Borris membuat aku dan yang lainnya tertawa lepas, hingga orang-orang lain yang ada di sekitar meja kami ikut tertawa mendengarnya. Lalu tiba-tiba saja, tanpa ku sadari, seseorang mendatanginya meja kali dan mendobrak permukaan meja itu sampai suaranya buat semua orang terdiam. Aku menengadahkan kepalaku, dan di sana mataku bertemu dengan seseorang yang selama ini menjadikannya musuh kami. Namanya adalah Aldric.
"Hey, anak yatim. Temui aku di Cheezy Talk pulang sekolah" katanya.
Tanpa ku tanggapi apapun, dia langsung pergi dari hadapanku. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, aku bangun dari dudukku dan menahan bahunya. Ketika dia menoleh ke belakang, aku pun memberikannya tinju yabg sudah ku kepalkan lebih dulu pada wajahnya. Hal itu buat dia tergusur ke belakang, sampai mengenai meja, dan semuanya jadi berantakan.
"Sialan kau!" Aldric bangun, berjalan ke arahku dengan langkah cepat, dia ingin membalas pukulan yang ku berikan padanya. Dan sayang sekali, setelah bebetapa kali saling pumul itu berlanjut, aku harus terkena pukulannya di bagian perut karna mataku memilih untuk melihat ke arah lain.
Mataku melihat ke seorang laki-laki yang tadi ku jumpai di perpustakaan, sednag masuk hendak ke meja makanan, mata kami bertemu satu sama lain.
Kami terus saling adu fisik, hingga ketika seorang guru bimbingan konseling yang datang tanpa di undang menghentikan kami berdua.
"Kalian berdua, datang ke kantor ibu, sekarang!"
TBC
"dosa loh bang, ngehardik anak yatim" -megumi ver indo dubing
support.
KAMU SEDANG MEMBACA
They Are Mine (BXB)
Teen FictionSEQUEL #2 dari MINE ARE MINE Ketika menginjak SMA, Lerell mulai memasuki masa pubertas. Dia berubah seiring berjalannya waktu, hingga membangkang Ignatius dan Astley. Namun, setelah terjerumus ke jalan yang salah, dia bertemu dengan adik kelasnya da...