T.A.M 1/11: Feelings Are a Beautiful Gift.

363 33 18
                                    

Sepulang Austin sekolah, dan setelah tur rumah, dia pun dengan semangat memasak untuk makan siang bersama. Aku pun turut membantunya, karena aku tak mau dia kualahan sendirian. Ya meskipun aku hanya membantu menyiapkan piring dan minuman.

Kami makan siang bersama-sama di ruang tamu, karena Austin masih demam menonton tv. Jujur, dari belakang sini, hanya melihat punggung kecilnya bergidik karena respon melihat adegan di acara tv, membuatku semakin ingin melihat respon dan reaksinya yang masih tersembunyi. Aku tak kenal anak ini, namun aku ingin mengenalnya lebih jauh.

Tanpa sadar, perlahan tanganku bergerak mendekatinya. Jari telunjukku pun akhirnya menyentuh tengkuknya. Dia bergidik, merinding karena geli. Saat dia berbalik melihatku, wajahnya memerah entah karena malu atau ada hal lain. Aku sudah mulai menggila, ku rasa.

"Kak! Apa yang kau lakukan, geli!" Katanya sambil kembali membelakangi ku dan melahap makanannya. Aku penasaran, apakah ini yang dirasakan ayah saat dia menyentuh ibu diam-diam?

Aku pun menyudahi makanku, dan pergi untuk meletakkan piring. Karena lelah, aku pun langsung masuk ke kamar dan menjatuhkan diriku di atas kasur. Rasanya sangat lelah, sebab hari ini aku ekstra gerak mengangkat ini dan itu.

Ngomong-ngomong, tadi saat ibu menelpon, aku sangat senang bisa mendengar suaranya. Aku harap, ibu baik-baik saja di sana. Well, tentu saja dia baik-baik saja karena ada ayah, tapi aku tau betapa berat dirinya tanpaku. Sekarang, aku hanya perlu menjalankan 1 bulan penuh di sini, setelahnya aku akan kembali ke rumah. Aku hanya perlu bersabar.

Tiba-tiba kasur bergoyang, aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku. Saat aku berpaling, Austin ternyata ikut tengkurap di samping.

"Baru siap makan sudah berbaring saja?" Aku bangun dan menarik tangannya untuk ikut bangun juga.

"Kau juga berbaring, aku hanya mengikuti mu" ucapnya bersandar.

Kedua kakinya bergerak-gerak seperti anak kecil yang membuat malaikat salju, merasakan bagaimana nyamannya kasur baru. Austin terkekeh geli ketika sadar aku terus menatapinya.

Kemudian, aku mendengar suara rintik-rintik dari atap. Sepertinya hujan mulai turun, meredam panas bumi dengan udara dan airnya yang sejuk. Cepat-cepat pula Austin beranjak dari kasur untuk menutup jendela kamar. Dia kembali naik ke kasur dan menatapku.

Kedua manik mata coklat itu selalu menyihir ku, entah kenapa, rasanya membuatkan semakin nyaman, membuatku ingin terus melihatnya. Perasaan aneh itu muncul, perasaan ketika aku melihat ayah dan ibu. Perasaan itu sungguh mengganggu, sangat tidak mengenakkan, dan aku takut itu kembali membutakan ku.

Austin menggerakkan tangannya dan menyentuh pipiku, "Bukankah itu cukup mengganggu, kak?"

Dia tau, bagaimana dia tau? Aku tak mengatakan apapun, kecuali terus menatapinya.

"Namun, kalau kau terus seperti ini, kau akan selamanya terganggu, kak..." sambungnya.

Dia mendorong tubuhku hingga aku terbaring, hal yang mengejutkan adalah ketika Austin naik dan duduk di atas pinggangku. Seperti disihir, bagiku rasanya waktu jadi begitu lambat.

"Kau harus merasakannya, kak.... Kau harus merasakan dirimu sendiri..." Lalu dia berbaring di atas dadaku.

Rasanya begitu hangat, namun yang lebih membuatku terkejut, aku bisa merasakan detak jantung Austin yang seperti berjarak 1 senti dari jantungku. Aneh, seakan aku sulit bernafas, tapi setiap degup jantung itu menjadi cepat, aku pula menjadi cukup nyaman. Hingga detak jantung kami berirama.

"Aku tak pernah mengerti perasaan ini. Apakah ini yang di rasakan ayah dan ibuku? Kalau iya, maka mereka hidup dalam kebahagiaan. Dan aku datang untuk membenci kebahagiaan mereka sendiri" gumamku yang otomatis memeluk tubuh Austin.

"Rasanya seperti sulit bernafas sekaligus sangat nyaman untuk di lepas. Bagaimana jika..."

Austin menurunkan satu tanganku, dan ia menyatukan telapak tangan kanannya dengan talapak tanganku. Sentuhan sensitif yang menggelikan, seperti ada banyak sengatan listrik yang ada di setiap kulit kami.

"Aku ada di sini, kak El... Kau jangan khawatir..."

Dia benar, seharusnya aku tak perlu khawatir seperti itu.

"Aku suka kulitmu, kau punya kulit yang bagus. Aku yakin perempuan di kelasku saja bisa kalah telak darimu" ucapku jujur.

"Kalau begitu...." Dia bangun, berada di atasku. Saat ini, wajahnya begitu dekat dengan wajahku, seakan jika aku bergerak sedikit saja, hidung kami bisa tersentuh dengan sempurna.

"Kalau begitu...?" Tanyaku.

"Kalau begitu, kenapa kau tak menyentuhku lebih lama lagi?"

Mendengar itu, mataku melotot dengan perlahan, seiring mencerna ucapannya yang terdengar... Menggelikan di telingaku. Rasanya seperti menjadi ayah saja, yang sedang berhadapan dengan ibu.

"Kau menyukainya 'kan? Jadi, sentuh lah aku sampai kau puas" dia memegang tanganku, dan menempelkan telapak tanganku di pipi dinginnya.

"Aku memang suka, tapi kenapa kenapa aku harus menyentuhnya?"

"Karena... Aku tak bisa memberikanmu apapun itu, kalau kulitku bisa menyenangkan mu, jadi-"

Aku pun bangun dan menindihnya, "Kau pikir aku orang yang seperti itu? Kenapa kau berlagak seakan kau sedang menjual dirimu sendiri?"

"Habisnya, kau menyukainya, dan hanya itu yang bisa kuberikan padamu setelah semua yang kau lakukan untukku, kak El!"

"Jangan bilang kau pernah begini ke orang lain sebelumnya?"

Dia menggeleng dengan perlahan, dan tak lagi melihatku, "Aku belum pernah seperti ini... Aku belum pernah seperti ini dengan orang lain..."

"Aku hanya berusaha menyenangkan mu, itu saja... Jangan marah, kak El... Kalau kau tak suka-"

"Aku suka!"

Dia terdiam, begitu juga dengan ku. Tunggu, tadi apa yang mau ku bilang? Aku suka? Aku suka apa? Aku suka kulitnya? Tentu saja, dia punya kulit yang halus dan lembut, semua orang pasti menyukainya. Tapi, seperti bukan itu yang ingin ku katakan tadi...

"Aku suka kulitmu, ok? Tapi, bukan berarti aku ingin menggunakannya untuk kepuasanku... Aku suka karena itu ada padamu!"

Ah, gawat. Aku mengerti sekarang, kenapa aku menyukai kulitnya.

"Lagipula, aku tak ingin apapun darimu. Aku melakukan semua itu, memang hanya karena mu, itu saja. Aku tak berharap kau membalasnya, dengan apapun itu. Namun, tetaplah ada untukku" aku tak tau apa yang aku bicarakan, aku juga tak tau apakah Austin bisa mengerti apa yang aku katakan.

Aku terus menatapinya kedua manik matanya, tatapan kami seakan menyihir ku semakin dalam. Perasaan aneh itu kembali datang menghantuiku. Aku harus merasakannya, 'kan? Itu yang Austin bilang.

"Aku... Aku merasakan perasaan itu... Kenapa saat aku melihatmu, perasaan itu datang?" Tanyaku.

Begitu saja, mataku turun melihat bibir Austin yang terlihat seperti milik ibu, namun sedikit berbeda. Aku tidak mengerti diriku sendiri, kenapa aku punya pikiran untuk menempelkan bibirku dengan bibir Austin. Tapi, begitu saja itu terjadi.

Aku mencium Austin, untuk yang pertama kalinya dalam seumur hidupku. Aku pernah berpikir untuk mencium gadis sexy di tepi pantai, tapi ternyata ciuman pertamaku ada pada Austin.

Rasanya? Tentu saja, rasanya aneh. Awalnya menggelikan, tapi, saat aku menyudahinya dan melihat reaksi Austin, ternyata menciumnya tak seburuk itu. Wajahnya memerah, aku bisa melihat manik matanya yang bergetar. Aku baru mengerti, ini yang dimaksud perasaan aneh itu.

Kalau sudah begini, kenapa aku harus berhenti?













TBC




senin kan? wkwkwk kasian yg upacara



support.



They Are Mine (BXB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang