Aku berpamitan dengan teman-temanku yang kebingungan melihat bekas merah merona samar-samar di pipiku, karena tadi ayah menamparku cukup keras. Ku katakan pada mereka untuk tidak khawatir, dan akhirnya aku pulang dengan ibu menggunakan motorku.
Di jalan, ibu terlihat senang. Meski ia sengaja tak mengenakan helm, katanya mau merasakan angin mengibarkan rambutnya. Dia jarang sekali naik motor, karena ayah selalu menggunakan mobil kalau kemana-mana bersama ibu. Sayangnya, ada apa dengan ayah hari ini sampai tak membawa ibu pulang?
Kami tak pergi kemana-mana, kami hanya jalan ke satu tujuan pasti, pulang ke rumah. Setibanya, aku melihat mobil yang ayah gunakan tadi ke sekolah, terparkir di dalam garasi. Ibu turun dan terlihat kebingungan melihat mobil itu di depannya.
"Oh, ternyata ayahmu pulang."
Aku masih mencoba untuk berpikir sepositif mungkin untuk ibu, "Ya karena ibu lama di dalam ruang konseling bersamaku, mungkin. Jadi ayah pulang lebih dulu."
Ibu tak merespon apapun, kecuali ia melenggang lebih dulu masuk ke dalam rumah lewat pintu kaca yang langsung mengarah ruang tengah. Saat aku menggantung helmku di kaca spion, ternyata handphoneku berdering. Ku lihat, ternyata Borris meneleponku. Segera ku angkat panggilan darinya tanpa menunggu masuk ke dalam rumah.
"Ya, Ris? Ada apa?"
"Kau sudah sampai rumah?"
Aku mengangguk-angguk sendiri, sambil melepaskan sarung tangan berpergian ku dengan bantuan gigiku, "Aku baru saja sampai."
"Oh, begitu. Ku pikir kau mau ikut ke Cheezy Talk And Chillz dengan yang lain? Kau tau, sepupu Peter mentraktir kita beberapa makanan dan minuman. Sekalian, ceritakan tadi saat kau di seret ke ruang konseling!"
Dari seberang telepon sana, aku mendengar suara sepupu Peter mengatakan kalau ia memang akan mentraktir 'anak belakang' secara cuma-cuma, "Aku tak tau harus pergi atau tidak, aku harus menghadap ayahku lebih dulu. Kalau tidak, tamat riwayatku."
"Ayahmu itu orang yang seperti apa, sih? Sampai seorang sepertimu takut begini?"
"Aku tak takut padanya, namun...." Dari kejauhan, tiba-tiba aku mendengar suara sesuatu yang pecah. Aku yakin suara itu dari lantai 2.
"Namun?"
"Namun... Aku lebih takut jika dia berbuat sesuatu pada ibuku..."
"Tapi kau selalu bercerita, orangtuamu itu sangat... Gila satu sama lain soal cinta, kau sampai mau muntah untuk menceritakannya, ingat?"
"Ris, kau tau waktu bisa mengubah manusia, 'kan? Ya sudah, nanti aku hubungi lagi jika aku akan pergi ke sana."
Aku langsung mengakhiri panggilan itu, dan masuk ke dalam rumah terbirit-birit. Aku yakin ibu yang menyebabkan suara itu, karena ya... Dia mungkin bisa melakukan banyak hal, tapi dia sangat ceroboh.
Ku campak tasku di atas sofa, dan naik tangga untuk ke lantai dua. Aku berlari kecil ke arah kamar ayah dan ibu, ku lihat ternyata pintunya terbuka lebar. Aku pun mengintip ke dalam untuk melihat apa yang sedang terjadi di antara mereka.
"Kau sebaiknya mengajarkan anakmu, agar tak membuat aku semakin malu! Kau lihat! Aku telah di panggil ke sekolah hanya untuk mendengar ucapan tidak jelas gurunya itu! Astley, tidak pernah ada sekalipun orang di dunia ini yang pernah berani memberikanku sebuah peringatan, kecuali tingkah anakmu itu!" Bentak ayah, dia berdiri sambil memegangi gelas kaca yang telah pecah akibat kuat genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
They Are Mine (BXB)
Teen FictionSEQUEL #2 dari MINE ARE MINE Ketika menginjak SMA, Lerell mulai memasuki masa pubertas. Dia berubah seiring berjalannya waktu, hingga membangkang Ignatius dan Astley. Namun, setelah terjerumus ke jalan yang salah, dia bertemu dengan adik kelasnya da...