Dua

254 28 0
                                    

🤍 TYPO EVERYWHERE 🤍


“Mama!”

Indira dan ibu paruh baya yang sedang bicara padanya menoleh. Mendapati anak perempuan umur belasan yang masuk disusul wanita dewasa dibelakangnya. Ibu ini tertawa terkejut sebelum memeluk mereka berdua erat.

Hati Indira menghangat. Ia sontak memundurkan dirinya sambil terus menatap interaksi mengharukan itu. Matanya tak sengaja menatap ke sekeliling. Bangsalnya saat ini sedang ramai karena beberapa kunjungan anggota keluarga. Kalau diperhatikan, hanya dirinya saja disini yang tidak dijenguk oleh siapapun.

Yah, siapa juga yang mau jenguk. Orang gak punya siapa-siapa.

Tak kuat menatap kehangatan yang kian memanas itu, Indira memilih mendorong kursi rodanya sendiri keluar ruangan. Tangannya bergerak menggulir roda tak tau arah. Cuaca sore ini sedang hujan. Maka dari itu agak sedikit orang berjalan di lorong terbuka. Namun justru itulah tujuan Indira saat ini. Ia berhenti dan menatap nanar rintikan hujan yang turun. Taman yang biasanya saat sore ramai kini tak ada siapapun disana.

Tubuhnya ia sandarkan sebelum tangannya menjulur membiarkannya basah. Karena kesendiriannya ini entah kenapa pikirannya menjadi kalut. Ah, mungkin dari sejak melihat anggota keluarga yang menjenguk tetangganya? Yah. Itu hanyalah rasa iri.

Rasa iri dijenguk oleh salah satu anggota keluarga sambil membawakan buah-buahan. Mungkin akan terasa hangat kalau saja ada keluarganya yang menjenguk. Indira terkekeh pahit sebelum menghembuskan napasnya kasar. Ia menengadah berusaha menjernihkan pikirannya.

Saat itu juga hujan. Hari ketika ia kecelakaan dan menewaskan kedua orang tuanya juga kakaknya. Kebetulan saat itu mereka menjemputnya dari sekolah setelah menerima pengumuman penerimaan SNM. Kebahagiaannya saat itu membuncah, sampai ia lupa kalau kadang itu bisa juga lenyap. Kejadiannya berlalu begitu cepat baginya.

Ia yang menerima SNM. Pamer pada keluarganya ketika di mobil. Euforia yang membuat lengah hingga mengacaukan fokus ayahnya saat itu. Hujan deras membuat jalan licin seakan mendukung kecelakaan yang menewaskan semuanya kecuali dirinya.

Dari situlah mimpi buruknya dimulai. Terbangun sendirian di ranjang rumah sakit. Tubuhnya yang penuh luka agak sedikit ngilu ditambah dengan kabar buruk yang menimpanya. Dunianya hancur saat itu juga. Ia ditinggalkan sendirian. Ia akan hidup sendirian di dunia yang luas ini.

Pikirannya kalut. Kenapa hanya ia yang selamat? Kalau gitu kenapa Tuhan tidak mengambilnya juga? Kenapa ia ditinggalkan sendirian? Harusnya saat itu ia juga ikut karena bagaimanapun ialah penyebab kematian keluarganya. Harusnya ia ikut saat itu juga. Harusnya ia mati.

Ia harusnya mati.

Tak jarang ia memikirkan itu ketika sendirian. Ketika ia mendadak merasa kesepian dan takut, tangannya bergerak tak sadar melukainya.

“Harusnya aku yang mati, bu... Kenapa malah kalian semua ninggalin aku?...” lirihnya pelan.

Rasa sesaknya yang ia tahan selama ini meledak. Entah itu karena hujan yang terdengar berisik atau tangisannya, ia tak lagi peduli. Indira sudah tak sanggup diam dan berpura-pura lagi. Mungkin ketika guru dan temannya datang ia masih sanggup berpura-pura karena suasana ramai yang membuatnya hanyut. Karena sudah sepi seperti ini bukannya sekalian saja ia tumpahkan semua kesedihannya?

Terlalu Muda (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang