Enam

348 43 5
                                    

🤍 TYPO EVERYWHERE 🤍


Tubuhnya lelah bukan main, hatinya pun terasa berat, sudah tak terhitung berapa kali ia menguap, namun mata dan otaknya masih saja tidak bisa diajak istirahat. Indira berbaring menatap langit-langit kamar hotel. Pikirannya masih memikirkan ujian tulisnya yang gagal. Mantra ‘gak apa-apa’ yang ia ucapkan berkali-kali nyatanya tak membuat kondisinya membaik. Justru pikirannya jadi semakin berisik.

Indira bangun, meraih ponselnya perlahan, memastikan pergerakannya tak mengusik Gibran yang terlelap disebelahnya. Tadi, saat Gibran masih terjaga, Indira masih sanggup menata pikirannya. Ia pikir ia akan terlelap juga mengingat betapa melelahkannya hari ini, namun nyatanya pikirannya justru jadi berisik setelah ia sendirian. Indira menatap Gibran, memastikan pria itu tidak terbangun sebelum ia memutar posisi tubuhnya memunggungi ptia itu.

Matanya menatap nanar pengumuman ujian tulis, tepat dimana namanya dinyatakan gagal, serta warna merah terpampang jelas disana. Diam-diam ia memikirkan apa yang menyebabkannya gagal. Padahal ia sendiri sudah berusaha belajar siang malam, demi masuk kampus incarannya. Banyak buku ia kerjakan untuk melatih kemampuannya, dan hasilnya lumayan. Maka dari itu ia sedikit kecewa dengan hasil yang diterimanya ini.

Memang saat menjelang ujian, pikirannya agak sulit konsentrasi karena masalah perjodohan. Kekacauannya diperparah saat hari pernikahannya semakin dekat. Meskipun begitu ia pikir hal itu tidak akan mempengaruhi nilai ujiannya. Hatinya terasa berat. Tak sadar Indira menyalahkan keadaan dimana ia terdesak, dan menyesali keputusannya memilih perjodohan ini.

Air mata mengalir jatuh. Ia menggigit bibirnya. Hatinya terasa berat untuk berada disini. Impiannya untuk kuliah gagal, dan itu karena perjodohannya. Indira malam itu sibuk menyalahkan semua orang yang menggagalkan impiannya. Hatinya masih sulit menerima takdir kehidupannya.

Malam itu Indira berandai-andai. Andai saat itu ia tidak mendengar obrolan keluarga tantenya, andai saat itu Rosa tidak menawarinya perjodohan, andai saat itu ia tidak dijodohkan dengan gurunya sendiri, andai saat itu ada satu orang saja yang mendukung keputusannya untuk menolak perjodohan, andai, andai, andai.

Indira melepaskan ponselnya. Ia menangis deras tanpa suara. Dadanya terasa sesak. Perasaan malam itu, Indira sangat ingin mengulang waktu. Ia ingin tetap menolak perjodohan, agar pikirannya bisa fokus ke ujian, sehingga ia bisa lulus ujian tulis dan berkuliah disana seperti orang lain. Bukannya justru terjebak pernikahan yang tak diinginkannya seperti ini.

Gadis itu menahan napas saat merasakan ada pergerakan orang dibelakangnya. Buru-buru Indira menghapus air matanya lalu berpura-pura tertidur dengan mengumpati wajahnya ke bantal, untuk menyembunyikan jejak tangisannya. Ia masih berpura-pura terlelap saat mendengar suara keran hidup dikamar mandi.

Terlalu lelah menangis, Indira hampir saja terlelap kalau saja tidak ada tangan dingin yang menyentuh tangannya, mengambil ponselnya yang masih menyala menampilkan laman pengumuman. Selanjutnya dapat dirasakan seseorang menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya hingga ke leher. Indira sedikit terkejut saat Gibran merapikan rambutnya yang menghalangi wajah, membenarkan posisi kepalanya yang tenggelam ke bantal. Dapat ia rasakan tangan dingin itu mengusap matanya yang masih sedikit basah. Hatinya tertusuk.

Cukup lama Indira diam diposisi nyaman setelah dibenarkan Gibran, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka matanya saat tak merasakan pergerakan dari lawan jenisnya itu.

Indira terbangun duduk. Ia menatap lekat Gibran yang tengah bersujud disana dengan khusyuknya. Ada cekat-cekit dihatinya melihat Gibran bersujud setelah semenit yang lalu ia menyalahkan takdir yang membuatnya terjebak dengan pria itu. Terjebak dengan pria yang begitu baik. Terjebak dengan pria yang membantunya bangkit dari keterpurukannya waktu itu.

Terlalu Muda (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang