14. Hanya Kau Yang Boleh Memanggilku 'Liam'

1.4K 125 1
                                    

Type: Spoiler

Words: 700

♥︎♥︎♥︎





"Liam ...." Arwin memanggil dengan nada menggantung.

"Kau tahu, Arwin? hanya kau yang boleh memanggilku dengan panggilan itu." William berkata sembari menyentuh ujung hidung Arwin dengan jarinya.

"Liam? kenapa?" Arwin bertanya heran.

"Karena kau orang pertama yang memanggilku dengan cara itu, kau ingat?"

"Kapan itu?" Arwin benar-benar lupa.

"Saat itu ada badai, kau ketakutan saat mati lampu."


[Flashback]

William sudah berada di rumah peristirahatan milik kakeknya ini. Kakek lebih sering berdiam di rumah ini sejak neneknya meninggal dua tahun yang lalu. Hari ini kakek memintanya datang ke rumah ini karena kakek tiba-tiba saja harus pergi ke daerah Nova Scotia untuk beberapa hari. Kakek ingin dia menemani anak itu.

"Arwin masih kecil, Will. Kasihan kalau dia melewati malam sendirian di rumah itu. Rumah itu jauh dari keramaian."

Begitu yang diucapkan kakek kepadanya tadi siang. Maka setelah menyelesaikan sekolah dan juga latihan basketnya, William terpaksa harus datang ke rumah ini, rumah di mana kakek membawa anak itu untuk tinggal. William sudah berkenalan dengannya. Ia dibawa kakek dari Indonesia sekitar tiga bulan yang lalu. Usianya empat belas tahun dan ia nampak seperti seorang bocah lelaki yang polos dan lugu.

Maka kini William sudah berada di dalam kamarnya, setelah makan malam yang dilewati dengan saling diam, keduanya pun memasuki kamar masing-masing. Sepanjang hari dilalui dengan angin kencang dan di televisi pun sudah diumumkan jika akan ada badai dalam beberapa hari ini. Angin semakin kencang berhembus, William hanya duduk sembari menonton televisi. Suatu ketika badai itu benar-benar datang, seluruh lingkungan berderu keras, beberapa barang terdengar berterbangan.

Klik!

"Ahhhh! Tolong!"

Listrik padam, malam menjadi gelap gulita dan teriakan ketakutan itu datang dari kamar di sebelah kamar William. Ia keluar dengan menyalakan ponselnya, berjalan menuju kamar anak yang lebih kecil. Membuka pintu kamarnya dan mencari-cari di mana anak yang berteriak itu.

"Liam ...."

William mendengar anak itu memanggilnya, itu cara memanggil yang baru ia dengar, semua orang yang dikenalnya memanggilnya dengan 'Will'.

"Aku takut!"

Greppp!

Ia memeluk William, membuat anak yang lebih tua nyaris terjengkang andai tidak segera menegakkan tubuhnya.

Tubuh Arwin terasa dingin, aroma wangi sabun tercium di hidung William, wangi freesia yang lembut.

[Flashback end]


"Kau masih ingat kejadian itu?" Arwin menatap tak percaya pada mantan suaminya ini.

"Tentu, itu pertama kali kita berpelukan, kau ketakutan dan memelukku, kau memanggilku dengan panggilan spesial, bahkan aroma wangimu saat itu masih kuingat sampai saat ini."

"Jadi itu benar-benar hanya aku yang memanggilmu Liam?" Arwin bertanya pelan. William mengangguk.

Arwin ingat jika di masa yang lalu William pernah memarahi Zevin yang ikut-ikutan memanggilnya dengan Liam, sejak itu pemuda itu tak pernah lagi melakukannya.

"Liam, ada yang ingin kutanyakan padamu." Arwin bertanya pelan.

"Apa itu? tanyakan saja." William menanggapi dengan ringan.

"Gadis itu, bukankah kau dan dia sudah bertunangan?" Arwin bertanya dengan perasaan tak nyaman. Ia memang dibuat bingung dengan sikap William dan beberapa kenyataan yang ada di antara mereka.

"Ya, kami sudah bertunangan enam bulan yang lalu." William berkata dengan nada teramat santai.

Arwin sejenak nampak terdiam, "lalu kenapa kau seperti ini denganku?" tanyanya tak habis pikir.

"Karena aku mencintaimu, bukan dia." Jawaban William masih terdengar santai.

Arwin jadi kesal sendiri, pemuda itu refleks bangun dari berbaringnya, "kau menyebalkan, aku pulang saja!" ketusnya namun William bangun dengan cepat dan memeluknya dari belakang.

"Tidak, sayang. Dengarkan aku dulu, Belle adalah keponakan bibi Annette, ibunya Victor. Kami dijodohkan, aku bahkan tidak pernah menyetujui pertunangan itu."

"Bagaimana bisa terjadi pertunangan itu kalau kau tidak setuju?" Kening Arwin berkerut.

"Saat aku mendapat kabar tentang penyakit Archie, aku kebingungan dan juga kerepotan membagi waktu antara merawatnya dan bekerja. Keluarga Bibi Annette sudah lama memperkenalkanku dengan Belle, itu bahkan sejak kita baru saja berpisah tapi aku tidak pernah meresponnya." William menjelaskan panjang lebar di balik punggung Arwin.

"Bukannya dia teman SMAmu?"

"Bukan, kami bahkan baru mengenal saat kita sudah berpisah. Bibi terus memaksa Mommy dan Daddy menyetujui perjodohanku dengan Belle, aku yang sedang panik dan juga bingung, tak sempat berpikir jauh, ditambah aku tak dapat mengelak ketika mereka mengatakan jika Archie butuh seorang ibu. Belle akan membantuku merawat Archie."

"Dan kau akhirnya bertunangan dengannya?"

"Ya, aku menerimanya tanpa perasaan sedikit pun, kami bahkan sangat jarang bersama."

"Tapi yang kulihat berbeda!" Arwin mendegus.

"Aku hanya ingin membuatmu cemburu."

Arwin terkikik ketika William menempelkan hidungnya terlalu lama di pipinya.

"Apa yang lucu?" William bertanya dengan wajah pura-pura herannya.

"Kau mencium mantan istrimu!"

"Siapa bilang? aku juga terus meniduri mantan istriku!"

"Sialan kau, William!"

"Jangan mengumpat, sayang!"

"Liam! breng- ahhh, lepaskan!"

"Karena kau selalu mengumpat, aku akan memberi pelajaran pada mulut seksimu ini!"

Srettt!

"Liam-A-Mmmphhh ...."





♥︎♥︎♥︎









I'm Sorry, I Still Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang