Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kajja-kajja! *
Bapak Mason lihat infus di tangan-nya lagi, untuk tahun ini— sudah ketiga kalinya. Alice yang jadi penunggu, selalu— karena si Bungsu gak pernah muncul ketika Papa-nya di rawat, sekarang contohnya. Bapak Mason lirik Alice sekali lagi, hatinya bergemuruh; rindu pada Cucunya, Gabriella.
"Kak.." panggil Bapak Mason. Alice balas dehaman kecil, pandangan tetap fokus di MacBooknya.
"Kira-kira Jennie izinin Gabrie buat kesini gak ya?" lanjutnya. Pandangan mata Alice menyudut, perhatiin Papa-nya. Bapak Mason cuma kasih senyum kecil, "Kangen Gabrie, Kak." lanjutnya.
"Pah.." suara Alice nyaris kayak bisikan.
"Gak ada salahnya di coba lagi kan, Kak?" Bapak Mason berharap— selalu, ada kemurahan hati Jennie untuk terbang ke Seoul dan bawa Gabriella. Pernah nyoba beberapa tahun silam, Jennie tolak.
Sejak 6 tahun silam, Jennie bener-bener gak pernah balik lagi ke Seoul, apalagi sejak Daddy-nya berpulang setelah Gabriella umur 4 bulan. Daddy Kim juga di kebumikan di Auckland, atas permintaan Istri dan Anak semata wayangnya. Belum selesai disana, Mommy Kim juga berpulang saat Gabriella berumur 3 tahun.
Jadi Seoul bukanlah tempat Jennie pulang— untuk kemarin, sekarang, nanti bahkan selamanya. Jennie udah anggap Auckland rumahnya. Perihal Perusahaan Keluarga juga Jennie serahkan pada orang kepercayaan, cukup kelola dan membangun usaha hasil kerjanya selama beberapa tahun terakhir. Jennie sudah merasa cukup dan kuat untuk semuanya.
"Papa telfon Jennie sendiri kan bisa." Alice bangkit dan ambil ponsel Bapak Mason yang ada di atas nakas, diserahin.
"Kakak aja yaa.. please?" pinta Bapak Mason, Alice hela nafas pelan.
Alice sambungin telfon ke Jennie, pakai ponsel Bapak Mason— dering pertama masih belum ada jawaban.
