Pagi-pagi Ririn sudah di kejutkan oleh sebuah bunyi klakson mobil. Ia melirik jam dinding yang terpasang tepat di depannya. Jam menunjukkan pukul 05.30 masih terlalu pagi untuknya bangun. Lagian hari ini adalah hari minggu. Biasanya Ririn akan bangun jam 9. Namun ketiga jarumnya tidak bergerak sama sekali dari posisinya. Jamnya mati?
"Piiipp" kembali bunyi klakson terdengar. Membuat kuping Ririn sakit. Dengan sedikit emosi ia membuka jendela kamarnya hendak melihat si pemilik mobil kurang ajar yang mengganggu tidurnya. Ia melihat sebuah mobil merah terparkir di depan rumahnya.
"Hey. Pulang sana ganggu tidur orang aja" husir Ririn.
Pintu mobil depan terbuka,Dion dengan baju kaos biru dan celana jeans hitamnya. Penampilan yang begitu santai. Ia mendongakkan kepalanya ke Ririn. Ia mendapati Ririn yang masih memakai baju tidurnya dengan rambut yang acak-acakan.
"Mau pergi?" ajak Dion.
"Kemana?"
"Jalan-jalan"
Ririn memutar bola matanya sedang berpikir dan menimbang.
"Baiklah"
Ririn segera berlari ke ruangan bawah dan membukakan pintu.
"Silahkan masuk" kata Ririn mempersilahkan. Dion berjalan memasuki rumah Ririn.
"Aku mandi dulu ya" kata Ririn. Dion hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju. Ririn meninggalkannya sendirian di sebuah ruang tamu. Ruang tamu yang kecil dan sederhana namun terkesan sangat nyaman. Dihiasi oleh dua pot tanaman hidup yang besar memberikan kesan yang natural. Ditambah dengan foto-foto yang menghiasinya. Ia mendapati sebuah foto yang tidak terlalu besar menempel di tengah ruang tamu. Foto sebuah keluarga harmonis sepasang suami istri yang sedang berdiri dan seorang gadis kecil tengah berdiri di antara mereka sedang memeluk boneka kecilnya. Kebahagiaan tampak dalam senyuman mereka membuat Dion merasa iri dengan keluarga Ririn.
"Ayo"kata Ririn membuyarkan lamunannya.
Dion menatap gadis yang kini ada di hadapannya. Berbalutkan dress pink lembut sebatas lutut dengan rambut yang ia gerai. Plus tas pink di samping kanannya. Tampak sederhana namun tetap cantik. Itu yang sekarang ada dalam pikiran Dion.
"Ayo" kembali Ririn membuat lamunannya buyar.
Dion berjalan keluar disusul oleh Ririn. Dion membukakan pintu depan dan mempersilahkan Ririn untuk masuk.
"Dimana supirmu?"
"Cuti"
Dion duduk di samping Ririn mengambil kemudi.
"Kita mau kemana? tanya Ririn.
Dion hanya terdiam saja. Melihat tingkah laku Dion Ririn memilih untuk diam saja. Ia memperhatikan jalan dari balik kaca mobil. Suasana yang tak pernah Dion harapkan. Dion selalu ingin mendengar celoteh Ririn walaupun ia tak sanggup menjawab semua pertanyaannya. Akhirnya mobil berhenti di sebuah pantai. Pantai yang terakhir kali Ririn kunjungi saat keluarganya hendak pindah.Mereka turun dari mobil dan berjalan beriringan. Mereka memilih menikmati angin laut di sebuah pondok kecil yang tepat mengarah ke laut. Angin laut yang berhembus sepoi-sepoi membuat rambut Ririn terbang-terbang dan acak-acakan. Mereka memilih untuk berdiam diri saja. Namun kini Ririn mengumpulkan semua kekuatannya dan memulai percakapannya.
"Kamu sering ke sini?"
"Tidak"
"Oh. Aku juga"
"Oh"
"Semenjak keluargaku pindah aku tak pernah datang ke sini"
"Kemana?"
"Ke luar kota. Ibuku mengikuti ayahku yang di pindah tugaskan"
"Kamu?"
"Aku nggak mau pindah. Aku lebih suka di sini"
"Oh"
"Keluarga kamu di mana? Aku nggak pernah lihat. Cuman pelayan yang berlalu-lalang di rumahmu."
"Mereka mati"
"Maaf. Seharusnya aku tidak perlu menanyakan hal itu. Jadi kamu sebatang kara?"
"Tidak. Aku mempunyai seorang adik. Tepatnya saudara kembar"
"Tapi aku tak pernah melihatnya"
"Aku tidak tinggal dengannya"
"Kenapa?"
"Dia tidak ingin pulang"
"Oh"
"Dia ingin bertemu denganmu"
"Denganku? Bagaimana ia tahu tentangku?"
"Aku menceritakannya"
"Oh"
Kembali suasana menjadi hening.
"Ayo pulang. Aku lapar" kata Dion sambil berjalan ke arah parkiran."Kita akan pulang?"
"Tidak"
"Trus?"
"Kita makan"
"Oh"
"Dimana kamu sering makan"
"Dirumah. Aku lebih suka memasak"
"Oh"
"Kita makan di rumahmu"
"Tapi aku belum belanja" kata Ririn.
Dion hanya diam. Dion melajukan mobilnya ke arah kota dan berhenti tepat di depan sebuah supermarket.
"Aku nggak suka belanja di sini" kata Ririn.
"Trus"
"Pasar biasa"
Akhirnya mobil kembali melaju dan berhenti dekat pasar sentral.
Ririn keluar dari mobil dan segera memasuki kawasan pasar.
Dion tidak pernah datang ke sini. Ia hanya ke supermarket itupun hanya untuk membeli keperluan pribadinya.
Ririn sangat tahu kawasan-kawasan di pasar sentral. Ia tahu dimana hendak membeli sayur,ikan bahkan ia sangat lihai menawar dengan para penjual. Dion hanya mengikuti Ririn dari belakang takut jika ia tersesat. Setelah semua telah selesai,mereka kemudian kembali ke rumah Ririn."Kamu tunggu di sini. Aku masak dulu" pinta Ririn. Dion berjalan dan duduk di sebuah sofa mungil.
"Auuu" teriak Ririn dari arah dapur. Dion segera berlari ke dapur dan ia melihat darah segar mengalir dari jari Ririn. Dion tidak tahu hendak berbuat apa. Ia sangat senang dengan darah. Tapi darah Ririn terlalu sedikit membuatnya tak puas. Ririn segera berjalan ke arah westafel hendak membersihkan jarinya. Namun langkahnya di hentikan oleh Dion. Segera Dion menyeka darah Ririn ke bajunya.
"Eh. Kenapa? Baju mu kotor karena darahku" tanya Ririn.
Dion tidak menanggapi kata-kata Ririn. Ia terus menyeka darah Ririn. Mata Ririn melihat sebuah kejanggalan di wajah Dion. Sebuah senyuman terukir jelas pada wajahnya. Darah Ririn tidak henti-hentinya mengalir,hingga Ririn menjadi panik.
"Dion. Apa yang kau lakukan?" tanya Ririn.
"Dimana kotak P3K"
"Di sana"
Dion segera berjalan menuju ke tempat kotak P3K,ia mengambil betadine, sebuah kain kasa dan perban. Ia kemudian membalut jari Ririn. Kini pakaian Dion berlumuran darah Ririn. Dion berjalan ke ruangan tamu meninggalkan Ririn di dapur.Ririn melanjutkan acara masak memasaknya.
"Dion ayo" suara Ririn memanggil Dion dari dapur. Dion berjalan ke dapur dan mendapati makanan yang asing baginya. Ririn sudah duduk di tepi meja makanan. Dion mendekati
meja makan.
"Silahkan" kata Ririn. Dion mulai memasukkan sendok demi sendok makanan ke mulutnya. Rasa yang asing baginya namun terasa sangat nikmat dengan Ririn di hadapannya.Tiba-tiba ponsel Ririn berbunyi.
"Halo. Kenapa Sa" tanya Ririn.
"Rin. Rian Rin"
"Ada apa? Rian kenapa?"
"Rian Rin"
"Ia Rian kenapa. Kamu tenang dulu"
"Rian dibunuh"
"Apa? Dibunuh?"Dion memperhatikan pembicaraan Ririn dengan Sasa. Ririn sempat menyebutkan nama Rian. Senyuman kembali mengambang di wajah Dion. Rian telah mati di tangannya.
"Dion" kata Ririn ke Dion yang tengah asyik makan siang. Dion hanya menoleh ke Ririn.
"Rian dibunuh" kata Ririn diikuti isakan tangisnya. Isakan yang membuat Dion membunuh Rian. Dion kemudian melanjutkan acara makan siangnya. "Kita pergi ke rumah Rian ya" ajak Ririn.
Dion sebenarnya tak ingin ke rumah itu lagi,tapi demi Ririn ia pun mengiakannya saja."Sasa" teriak Ririn saat melihat Sasa tengah menangis di ruang tamu Rian.
Sasa menoleh ke arah Ririn dan Dion.
"Ririn,dia dibunuh dengan sadis"
"Kapan?" isakan tangis Ririn kembali pecah.
"Polisi bilang kejadiannya di perkirakan kemarin malam"
"Pelakunya?"
"Pelaku nggak ninggalin barang bukti apapun. Diperkirakan pembunuhnya adalah pembunuh bayaran"
"Jahat. Pembunuh itu jahat"Dion hanya diam di belakang Ririn. Sampai ia mendengar Ririn mengatakan bahwa pembunuh Rian jahat. Ia memang jahat,tapi Dion tidak sanggup jika akan mendengar kata-kata itu dari bibir Ririn.
Mayat Rian kemudian dibawah polisi untuk di otopsi. Kini hanya tinggal Dion,Ririn dan Sasa di ruang tamu Rian. Isakan Ririn tak henti-hentinya mengalir. Membuat hati Dion sakit, terasa sangat sesak. Ia memberanikan diri memeluk Ririn.
"Dion. Kenapa?"
"Sudahlah"
Isakan Ririn tak berhenti.
"Sudahlah. Air matamu takkan membangunkannya"
"Tapi kenapa ia dibunuh dengan kejam?"
"Artinya ada yang tak menyukainya"
"Aku benci pembunuh itu."
Dion terdiam. Ririn membencinya?
"Aku mencintaimu" kata Dion perlahan. Ririn tak memberi respon apapun.Ririn terkejut mendengar kata-kata Dion. Ia mengatakan cinta? Apa itu benar? Ririn memilih untuk tidak menanyakan kebenaran kata-kata Dion. Mungkin itu hanya kata-katanya untuk menghiburnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For Psychopath
RomanceSeorang pewaris perusahaan yang misterius yang juga adalah seorang psikopat. Bertemu dengan mahasiswi psikologi. Benih cinta pun tumbuh di antara mereka. Apakah mereka dapat bersatu? Ataukah mahasiswi tersebut akan menjadi korban keganasan psikopat...