I Love You Too

11.2K 625 2
                                    

Ririn tidak bisa tidur malam ini,pikirannya terus melayang-layang. Ia kembali mengingat cerita Dian saudara kembar Dion. Dion termasuk orang yang tidak beruntung berbeda dengannya walaupun anak tunggal ia sangat bahagia mendapat kasih sayang orang tuanya walau ortunya nggak sekaya ortu Dion. Kembali ia mengingat saat Dion mengatakan ia mencintainya. Awalnya Ririn hanya menganggapnya sebagai cara Dion menghiburnya namun apa yang Ririn pikirkan ternyata salah besar. Pernyataan cinta waktu itu memang khusus untuknya dari lubuk hatinya yang paling dalam. Kembali ia menangisi semua yang terjadi. Ia bingung dengan hidupnya. Mengapa ia harus kehilangan dua orang yang ia sayangi. Jujur ia menyayangi Dion. Ia menatap foto Rian dan Dion. Entah darimana ia mendapatkan foto itu. "Kenapa kau mengambilnya?" ia menatap foto Dion lekat-lekat.
"Kenapa?" kembali Ririn bertanya walaupun tak akan ada yang menjawabnya.
***
Dion menatap bintang yang berhamburan di langit malam. Dengan jelas ia melihat begitu banyak bintang. Tiba-tiba ia teringat akan Ririn. Sudah lama ia tak mendengar suaranya atau sekedar melihatnya saja. Semenjak ia lari dari rumah ia tak pernah mengetahui kabarnya kini. Ia merindukan Ririn. Ia bertanya pada dirinya sendiri apakah Ririn merindukannya? Apakah ia merasakan hal yang sama dengan Dion. Dion memutuskan untuk mrngunjungi rumahnya, sekedar melihat aktivitas malamnya dari luar jendela. Ia melajukan mobilnya ke arah rumah Ririn. Dengan perlahan ia menghentikan dan mematikan mesin mobilnya agar Ririn tidak mengetahui keberadaannya. Dengan langkah yang hati-hati layaknya seorang pencuri yang mengendap-ngendap. Ia mengitari rumah Ririn namun ia tidak mendapat keberadaan Ririn.
"Kenapa kau mengambilnya"
Dion mendengar suara Ririn dengan isakan tangis. Ia tahu sumber suara itu dari kamar Ririn di lantai 2. Kebetulan pintu dapur Ririn tidak terkunci dengan leluasa Dion memasuki rumah Ririn. Ia berjalan ke arah kamar Ririn dan mengintipnya di balik pintu. Ia melihat Ririn tengah menangis sambil memegangi dua foto. Dion tidak dapat melihat foto itu dengan jelas.
"Kenapa?" kembali Ririn menangis. Membuat hati Dion perih. Ia tak menyangka Ririn akan begini. Dion bagaikan malaikat maut yang mencabut nyawa orang yang Ririn sayangi. Perlahan ia berjalan meninggalkan rumah Ririn dan melajukan mobilnya kembali ke rumah. Sesampainya ia di rumah, rumah tampak sepi mungkin para pelayan sudah tertidur atau mereka tengah mencarinya entah kemana. Ia berjalan ke kamarnya. Namun ia mendapati hal aneh dalam kamarnya. Seseorang tengah tertidur di atas tempat tidurnya. Dion mendekatinya dengan perlahan-lahan. Ia terkejut melihat sosok yang tengah tertidur di tempat tidurnya. Sosok yang tertidur nyenyak tengah memeluk sebuah bingkai foto.
"Dian?" ucap Dion yang masih heran.

Mendengar namanya di sebutkan. Kelopak mata Dian perlahan terbuka.
"Dion? Kau sudah pulang" kata Dian penuh kegembiraan. Kini bingkai foto yang ia peluk terlihat jelas bagi Dion. Foto masa kecil mereka. Dion hanya terdiam melihat adiknya yang pulang.
"Kau kemana saja? Aku mencemaskanmu"
"Untuk apa kau mencemaskanku?"
"Karena kau saudaraku"
"Oh hanya itu"
"Maksud kakak?"
Dion menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kau kembali?"
"Karena aku menunggumu"
"Kembalilah ke rumahmu"
"Kenapa? Bukan kah ini yang kau inginkan aku kembali ke sini?"
"Aku gagal. Kau tahu aku tak akan bisa berubah. Aku benci diriku. Aku merenggut nyawa orang dan merenggut kebahagiaan mereka"
"Tidak. Itu tidak benar kak"
"Jangan memanggilku kakak. Aku bukan kakakku. Pergi! Pergi dari sini"
"Tapi kak"
"Kau ingin ku bunuh?"
"Bunuh saja. Biar kau tenang"
Dion beranjak dari tempat duduknya dan menyeret Dian keluar dari kamarnya. Ia melepaskan genggaman tangannya dan kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Bruk" suara pintu yang di tutup dengan keras.
"Aku akan menunggumu disini tetap disini" ucap Dian. Rasa kantuk mulai menghampiri Dian. Perlahan dia tertidur di depan kamar Dion.
***
Dion terbangun dari tidurnya karena sesuatu mengganjal tubuhnya. Ia segera melihat benda apa itu. Ia mendapati bingkai fotonya dengan Dian saat masih kecil. Terlihat sangat bahagia. Dion yang tengah merangkul Dian. Senyuman yang menenangkan terlukis indah pada bibir Dian. Namun senyuman itu tak pernah ia jumpai pada Dian. Itu semua karenanya.
Dion mengingat kembali masa-masa kecilnya. Saat kedua orang tuanya mati di tangannya sendiri karena janjinya yang akan melindungi Dian. Awalnya ia berpikir hidup mereka akan lebih baik setelah itu. Namun semuanya tidak sesuai yang ia pikirkan. Dion terbentuk menjadi seorang psikopat dengan insting membunuhnya membuat Dian takut dan melarikan diri darinya. Saat ia bertemu dengan Ririn,Dian tampak mulai menunjukkan perubahan perilakunya. Dion berpikir bisa mengembalikan Dian ke rumah jika ia bersama Ririn. Namun kini Dion melakukan kesalahan yang sangat besar. Ia menghancurkan hidup Ririn dan ia takkan bisa mengembalikan Dian. Segala pemikiran liar bermain-main di benaknya. Air mata kembali menetes di sudut matanya.

Seorang monster. Kini Dion menganggap dirinya sebagai seorang monster yang begitu kejam. Ia berjalan keluar kamar dan mendapati Dian tertidur di depan kamarnya.
"Tom" Dion memanggil pelayannya. Dengan cepat Tom menghampiri Tuannya.
"Ada apa tuan?"
"Bawa Dian ke kamar"
"Baik tuan"

Dion berjalan ke sebuah ruangan tempat kehidupannya berubah. Tempat dimana ia membunuh ayah dan ibunya. Dengan membawa baju yang berlumuran darah Ririn dan perban pemberian Ririn.

Tom mengangkat tubuh Dian ke dalam kamar Dion. Namun karena tubuh Dian yang sangat peka terhadap sentuhan ia segera terbangun.
"Dion dimana?" tanya Dian
"Ia pergi ke perpustakaan non"
"Perpustakaan?"
"Ia non"
Perpustakaan? Untuk apa? Bukankah Dion tidak menyukai ruangan itu? Dian berlari ke perpustakaan di rumah itu. Ia mencoba mengintip kegiatan Dion di dalam. Tampak Dion tengah duduk di sebuah kursi dengan selembar baju dan perban di tangannya. Ia menangis. Kakaknya menangis? Untuk pertama kalinya saat kakaknya menjadi psikopat Dian melihatnya menangis. Perlahan air mata Dian mulai membasahi pipinya.
"Aaaahhh"
Dian terkejut mendengar suara teriakan kakaknya. Kini Dion berdiri menghadap tembok. Dian mulai takut jangan-jangan Dion akan melakukan apa yang di luar batas. Ia mulai kebingungan harus melakukan apa. Ia tiba-tiba mengingat Ririn. Ia kemudian berlari ke kamar Dion dan mencoba menelfon Ririn entah darimana ia mendapatkan nomor ponselnya.

Ririn berangkat ke kampus dengan wajah yang masih sembab. Ia telah menghabiskan malamnya untuk menangis. Sasa yang melihat keadaan sahabatnya merasa prihatin dan mencoba mendekatinya.
"Sudahlah Rin. Rian tidak akan kembali"
Ririn menatap sahabatnya yang kini berdiri di sampingnya.
"Aku memikirkan Dion"
"Dion? Kenapa? Ada apa dengannya?"
"Kemarin Dian datang dan menceritakan semuanya"
"Dian itu siapa?"
"Saudara kembar Dion"
"Dion punya saudara? Saudara kembar?"
"Ya"
"Trus dia cerita apa?"
"Masa lalu Dion. Kenapa sampai Dion menjadi psikopat"
"Trus?"
"Ia mencintaiku"
"Mencintaimu? Jadi waktu itu. Itu sungguhan pernyataan cintanya?"
"Ia"
"Trus kenapa kamu menangisinya"
"Aku takut ia kenapa-napa. Dion berubah saat ia mendengar pembicaraan kita. Saat aku mengatakan membencinya. Aku takut"
"Kenapa? Kau menyayanginya?"
"Ia"
"Jadi apa yang akan kau lakukan?"
Belum sempat Ririn menjawab pertanyaan Sasa ponselnya sudah berbunyi. Ia menatap layar ponselnya. Nomor baru yang tak ia kenali menelfonnya. Dengan ragu-ragu ia mulai mengangkat telfonnya.
"Halo. Dengan siapa?"
"Halo. Ririn tolong" pinta seseorang di seberang sana dengan isakan tangisnya yang terdengar jelas di telinga Ririn.
"Siapa?"
"Dion. Aku takut ia bunuh diri. Ku mohon tolong Rin"
Ririn sudah tahu bahwa Dian menelfonnya.
"Dion kenapa?" tanya Ririn mulai panik.
"Dia kembali tapi sepertinya dia ingin bunuh diri. Tolong selamatkan kakakku"
Ririn diam sejenak hendak memikirkan jawaban apa yang hendak ia berikan.
"Kami akan ke situ" teriak Sasa pada Dian. Sejenak telfon Ririn terputus.
"Kok kamu jawab sih" tanya Ririn.
"Kamu menyayanginya kan? Tunggu apa lagi? Kau ingin kehilangan orang yang kau sayangi untuk kedua kalinya?" tanya Sasa mulai beranjak dari tempat duduknya dan menarik tangan Ririn. Mereka berdua berlari hendak mencari kendaraan.

Dion tampak putus asa. Ia memikirkan para keluarga korban yang ia bunuh. Tapi otaknya di penuhi pemikiran akan Dian dan Ririn. Dengan kejam ia merenggut kebahagiaan mereka. Ia memukul dinding tembok di hadapannya. Darah segar kini mengalir dari tangannya. Insting membunuhnya datang. Namun bukan untuk membunuh orang lain melainkan dirinya sendiri. Ia melirik sebuah samurai yang tersimpan rapi dalam sebuah lemari. Samurai yang sama yang ia gunakan untuk menghabisi nyawa kedua orang tuanya. Ia berjalan mendekati dan meraih samurai itu.
"Jangan"
Dion menatap ke arah pintu. Kini Dian berdiri di hadapannya dengan bermandikan air mata.
"Jangan kak" pinta Dian diiringi air matanya yang mengalir deras di pipinya.
"Untuk apa aku hidup!! Aku hanya membuat kalian tersiksa"
"Tidak kak"
"Aku bukan kakakmu!!"
"Kenapa?"
"Aku bukan menjagamu tapi aku menghancurkanmu!! Aku ingin kau bahagia!!"
"Aku bahagia bersamamu"
"Bohong!! Kau bahagia jika aku pergi" Dion menghunuskan samurai yang ia pegang pada perutnya. Seketika itu juga darah mengalir deras dari perut Dion.
"Tidak!!" teriak Dian sambil berlari menghampiri kakaknya yang berlumuran darah. Semua pelayan datang mendapati mereka juga Ririn dan Sasa. Ririn berdiri terpaku melihat samurai kini melekat pada perut Dion. Ia berjalan mendekatinya dan terjatuh tepat di sampingnya.
"Aku terlambat. Seandainya aku lebih cepat" kata Ririn menyesal.
Ia meraih tangan Dion dan meletakkannya pada dadanya. Dion masih dapat melihat Ririn yang tengah menangis di hadapannya.
"I love you" ucap Ririn pada telinga Dion. Dion tersenyum mendengar pernyataan Ririn. Ririn juga mencintainya.
"Jangan tinggalkan kami Dion. Aku mencintaimu. Tidakkah kau ingin berdiri di sampingku?" ucap Ririn.

Love For PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang