Dion kembali ke rumahnya dengan perasaan gusar. Semalam ia tidak bisa tidur. Memang Ririn sudah membencinya. Ia tahu apa yang ia lakukan telah membuatnya kehilangan sosok yang akhir-akhir ini memberi warna dalam hidupnya. Setidaknya masih ada Dian. Itu yang sekarang ada di benak Dion. Namun ia ragu apakah Dian akan seperti dulu kala saat mengetahui bahwa Dion sudah mengatakannya? Apakah dia mau kembali ke rumah ini. Dion mengacak-acak rambutnya.
***
"Halo Sa" sapa Ririn di seberang sana. Sasa heran mendengar sahabatnya yang sepertinya sedang menangis.
"Ada apa? Kamu menangis?"
"Aku sudah tahu"
"Kamu tahu apa?"
"Pembunuh Rian" kini isakan tangis Rrin semakin menjadi-jadi.
"Apa? Siapa Rin? Bagaimana kau tahu?"
"Dion pembunuhnya"
"Apa?" Sasa terkejut mendengar nama yang disebutkan Ririn.
"Nggak mungkin kan. Kamu nggak boleh ngefitnah orang"
"Dia mengatakannya padaku"
"Apa.?"
"Dia bilang dia membunuh Rian karena dia menyakitiku"
"Aku nggak percaya. Kok bisa"
"Aku juga tidak peraya. Tapi di bilang dia adalah psikopat"
"Trus apakah kau akan melaporkannya?"
"Ya. Ini menyangkut hidup seseorang"
***
Dian menyusuri kompleks kampus,matanya mencari sosok manusia yang tak pernah ia lihat selama dua hari ini. Dia mulai bingung harus mencarinya kemana. Ia tidak mungkin bertanya pada teman Dion. Kini perasaan cemas memenuhi hati Dian. Ia memikirkan keadaan Dion kakak kembarannya. Dion pasti akan syok dengan kejadian ini. Kejadian yang baru sekali ia rasakan. Ia mulai takut namun ia mendengar seseorang menyebut-nyebut nama Dion. Ia mengintip orang yang sedang membicarakan kakaknya. Ia mendapati dua gadis. Yang satu tengah menangis,sepertinya ia sudah lama menangis terlihat dari matanya yang sangat sembab dan air matanya yang sudah tak keluar lagi. Sementara gadis yang satu tengah sibuk menenangkannya. Ia menajamkan pendengarannya untuk dapat mengetahui isi pembicaraan mereka."Sudahlah Rin. Sudah 2 hari kau menangisinya" kata Sasa yang mulai panik dengan keadaan Ririn.
"Kenapa dia lakuin ini? Kenapa Dion membunuhnya"
"Kau mendengarnya kan dia bilang karena Rian menyakitimu"
"Sa. Apakah aku sanggup?"
"Sudah seminggu Rian meninggal dan baru skarang kau merasakan kehilangan?"
"Ya. Sepertinya begitu"
"Tidak. Ku rasa kau bukan takut kehilangan Rian tapi Dion"
"Tapi dia pembunuh. Bagaimana jika ia membunuhku nanti?"
"Hidup dan mati di tangan Tuhan. Apakah ia pernah melukaimu?"
"Tidak"
"Jujurlah dengan perasaanmu"
"Aku bingung. Aku membencinya tapi aku juga tidak ingin menjauhinya"
"Kau mencintainya?"
"Sepertinya begitu"Dian yang sedari tadi menguping pembicaraan Ririn dan Sasa terkejut mendengar pernyataan Ririn. Dia juga mencintai kakaknya? Ia harus memberitahukannya pada Dion. Ia bergegas kembali ke rumah. Ia sudah tidak sabar untuk menceritakan semuanya pada Dion. Ia sangat yakin jika Dion akan bahagia dengan semua ini.
***
Sudah pukul 17.00 biasanya Dion akan tiba di rumah Dian jam segini. Namun tanda-tanda kedatangannya tak ada. Apakah Dion tidak merindukan Dian sudah beberapa hari Dion tak mengunjunginya. Biasanya selang dua hari Dion sudah mengunjunginya. Kembali perasaan gelisa dan cemas memenuhi dirinya. Ia melirik sebuket bunga yang kini perlahan mulai layu. Apakah kakaknya mulai layu? Tidak. Ia tahu kakaknya seorang yang kuat. Ia tak mungkin melakukan apa yang membahayakannya. Sudah lewat 20 menit Dion tak kunjung datang menemuinya. Hari ini hujan sangat deras. Apakah mungkin Dion diluar sana sedang menjalankan hobby anehnya. Jika begitu Dian bisa bernafas lega karena kakaknya kembali normal. Ia memutuskan untuk menghubungi ponsel Dion. Namun sayang ponsel Dion sedang tidak aktif. Kembali ia menelfon telfon rumah.
"Halo. Slamat malam" sapa Tom di seberang sana.
"Malam. Dion ada?"
"Maaf non. Tuan Dion belum pulang"
"Belum pulang? Sejak kapan ia pergi?"
"Tadi pagi non"
"Tapi aku tak melihatnya di kampus"
"Saya juga tidak tahu non. Ia pergi sendirian"
"Apakah kau melihat perubahan padanya?"
"Ia non"
"Apa?"
"Ia selalu mengurung diri nya di kamar. Aku pernah mengintipnya sedang memandangi sebuah perban dan baju yang berlumuan darah. Bahkan saya melihatnya seperti menangis"
"Menangis? Apa dia pernah menceritakan sesuatu padamu?"
"Tidak non. Kami tidak berani menanyakannya. Dia juga menjadi pemarah"
"Ya Tuhan apa yang terjadi pada kakakku. Kabari aku jika ia sudah pulang"
"Baik non"
Dian menutup telfonnya dengan gusar. Ia tidak ingin kehilangan kakaknya. Setidaknya hanya dia keluarga yang ia miliki.
***
Dion menatap ibu kota di tempat tertinggi. Ia bisa melihat aktifitas ibu kota yang tak kalah ramai dengan siang hari. Ia kembali merenungi nasibnya. Mengapa ia harus mengatakannya? Seandainya ia tidak mengatakan rahasia itu semua tentu akan baik-baik saja. Dion masih bisa melihat senyuman Ririn,mendengar celotehnya. Walaupun ia kadang tidak memberikan respon. Ia takkan mendengar pernyataan Ririn bahwa dia membencinya. Ia takkan membuat air mata Ririn mengalir. Perasaan menyesal dan berandai-andai memenuhi dirinya.
"Aaaaaaaa!! Aku mencintai mu!! Salahkah??!!" Dion berteriak penuh emosi.
Kini Dion tersungkur di tanah. Air matanya perlahan menetes di sudut matanya. "Aku mencintaimu. Aku merindukanmu" Dion hanya dapat mengucapkan kata-kata itu di iringi tetesan air matanya. Baru kali ini ia menangis. Ia memang pernah menangis saat Dian dihukum oleh ayah mereka. Kini pribadi yang begitu kuat menjadi sangat lemah dan rapuh. Mungkinkah Ririn masih menyayanginya? Dion rasa tidak. Ia merasa bahwa ia takkan pernah termaafkan. Ia takkan pernah mendapat maaf dari Ririn. Apa yang ia lakukan sudah menyakiti Ririn bahkan menyakiti dirinya sendiri.
"Ririn. Aku tidak bisa jauh darimu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For Psychopath
RomanceSeorang pewaris perusahaan yang misterius yang juga adalah seorang psikopat. Bertemu dengan mahasiswi psikologi. Benih cinta pun tumbuh di antara mereka. Apakah mereka dapat bersatu? Ataukah mahasiswi tersebut akan menjadi korban keganasan psikopat...