I am Psychopath

11K 641 3
                                    

Dion menatap perban di dalam genggamannya. Ia teringat dengan kata-kata Ririn saat di rumah Rian. Ririn membenci pembunuh Rian. Artinya Ririn membencinya.
"Bruk" Dion melampiaskan emosinya pada meja di hadapannya. Apa yang telah ia lakukan membuat orang yang ia sayangi membencinya. Ia keluar dari rumah dan tak mengatakan apa-apa kepada para pelayannya. Mengambil salah satu mobilnya dan melaju dengan kecapatan tinggi. Dalam sekejap ia sampai di rumah Dian. Ia mengetuk pintu dengan kasar. Seorang pelayan membukakan pintu.
"Dimana Dian"tanya Dion penuh emosi.
"Di kamar tuan"
Dion segera berjalan ke kamar Dian. Ia mendapati Dian sedang tertidur pulas. Namun perlahan mata Dian mulai terbuka.

Dian mendapati wajah kakak kembarnya penuh dengan emosi.
"Ada apa?" tanya Dian bingung. Dion tidak menggubris pertanyaan Dian. Ia berjalan mendekati Dian dengan sebuah senyuman setan dan mata yang mengintimidasi. Membuat Dian takut.
"Kakak mau apa?" tanya Dian yang sudah diliputi ketakutan.
"Hahaha" kini Dion tertawa terbahak-bahak membuat Dian semakin takut. Namun tiba-tiba Dion terjatuh ke lantai. Ia menundukkan kepalanya,
"Ia membenciku" kata Dion.
"Siapa kak?" Dian menghampiri kakaknya yang kini berlutut di lantai.
"Ririn"
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Ia mengatakan ia membenciku"
"Kenapa bisa?"
"Aku membunuh orang yang ia sayang"
"Kakak membunuh keluarganya?"
Dion menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Trus siapa?"
"Rian. Orang yang menyakitinya"
"Oh. Apakah kakak menyayanginya?"
Dion menatap wajah adiknya lekat-lekat.
"Aku menyayanginya"
"Jika begitu,biarkan dia bahagia"
"Maksudmu?"
"Cinta itu tidak harus saling memiliki. Kadang cinta bertepuk sebelah tangan. Cinta juga mampu membuat orang yang kita sayangi bahagia. Jika ia bahagia bukan bersama kakak itu tidak masalah"
"Aku sudah menyatakannya"
"Apa?"
"Isi hatiku"
"Trus responnya?"
"Dia tidak meresponku"
"Mungkin dia bukan untuk kakak. Aku masih ada untuk kakak"
"Ya. Mungkin kau benar"
***
Pagi yang begitu cerah. Seperti biasa Ririn selalu di sibukkan oleh kegiatan kampusnya.
"Ririn" panggil Sasa yang sedari tadi sudah menunggunya.
Ririn berjalan mendekatinya.
"Bagaimana kabar tentang kasus Rian?" tanya Ririn.
"Belum ada perkembangan"
"Oh. Semoga pelakunya cepat di tangkap kalau bisa di hukum mati juga"
"Ia"

Dion memperhatikan pembicaraan Sasa dan Ririn dari kejauhan. Kembali rasa bersalah muncul dalam dirinya. Ia tak berani untuk menghampiri mereka. Mungkin untuk sementara waktu ia hanya bisa memperhatikan Ririn dari kejauhan sampai ia melupakan kasus Rian.
***
Di sudut ruangan tampak Di Dion sedang mengamat-amati baju kaosnya yang berlumuran darah. Darah dari jemari Ririn. Ia merasa sangat senang dengan darah Ririn. Bahkan ia merasa bergairah ingin melihat darah Ririn lebih banyak. Kini ketakutan muncul dalam diri Dion. Ia takut jika insting membunuhnya dapat membunuh Ririn. Menyadari akan kesenangannya akan darah. Beruntung saat itu ia tidak melukai Ririn untuk dapat memberikan kepuasan baginya. Ia menyayanginya namun ia tidak menjamin akan bisa menjaganya dari insting membunuh yang ia miliki. Bagaimana jika ia membunuh Ririn? Segala ketakutan akan kemungkinan-kemungkinan yang terkadi bergulat dalam benak Dion. Apakah ia harus menjauhi Ririn. Apakah ia sanggup? Hanya 1 hari saja ia tidak mendengar celotehnya sudah membuat Dion tersiksa. Namun insting membunuhnya memaksanya untuk bisa menjauhkan Ririn dari kehidupannya. Namun Dion kembali ragu. Apakah Ririn mau menjauhi Dion? Apa alasan yang harus ia katakan untuk membuat Ririn jauh? Dion memutuskan untuk mengunjungi Dian,mungkin ia punya solusi untuk masalah Dion.

"Kau ingin menjauhinya?" tanya Dian.
"Ia. Aku takut akan membunuhnya nanti"
"Darimana kau tahu kau akan membunuhnya"
Dion mengeluarkan selembar baju kaos lengkap dengan bercak darah yang menghiasinya.
"Darah siapa ini?" tanya Dian sambil memandangi baju yang di berikan kakaknya.
"Ririn"
"Kau melukainya?"
"Tidak"
"Trus?"
"Saat ia memasakkanku makanan,jarinya teriris. Aku sangat senang saat melihat darah Ririn mengalir. Bahkan ia ingin mencucinya,namun aku buru-buru menyeka darahnya pada bajuku"
"Apakah kau ingin membunuhnya saat itu?"
"Tidak. Tapi aku ingin melihat darahnya mengalir lebih banyak lagi"
"Jadi skarang kakak akan melakukan apa?"
"Aku ingin menjauhinya"
"Kakak sanggup?"
Dion menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu solusi dari masalahmu. Dengarlah kata hatimu. Tapi jangan terlalu cepat mengambil tindakan sebelum semuanya terlambat" pesan Dian pada Dion. Dion hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia mengerti maksud kata-kata Dian.
Dion mengemudikan mobilnya menuju ke pantai yang pernah ia datangi bersama Ririn. Ia duduk tepat di pondok yang mereka tempati. Suasana pantai tidaklah terlalu ramai. Hanya ada beberapa pasang manusia yang berlalu lalang. Entah mereka kekasih,atau hubungan mereka belum jelas seperti Dion dan Ririn. Otak Dion masih saja menggeluti pikirannya tentang Ririn. Bagaimana ia harus menjauhinya. Tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya. Ia kemudian bergegas ke arah parkiran mobil dan kembali ke rumah. Ia hendak membuat janji dengan Ririn namun ia lupa jika ia belum memiliki nomor ponsel bahkan telfon rumah Ririn. Ia hanya bisa menunggu sampai hari esok untuk menyelesaikan semua yang ia pikirkan.
***
Dion menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Ririn. Dion membunyikan klaksonnya. Namun rumah Ririn tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kembali Dion membunyikan klaksonnya namun tidak ada respon dari dalam rumah Ririn. Dion melajukan mobilnya ke kampus. Ia mencari-cari keberadaan Ririn maupun Sasa. Namun ia sama sekali tak mendapati keberadaan kedua gadis itu. Ia mulai bingung. Ia harus mencari Ririn kemana? Dion memutuskan untuk kembali ke rumah Ririn,berharap Ririn telah kembali ke rumah. Namun harapan Dion tidaklah terkabul. Rumah Ririn masih tetap sepi. Akhirnya Dion memilih untuk menunggu Ririn pulang.

"Hey. Kamu ngapain di sini?" Ririn mengetuk-ngetuk kaca mobil Dion membuat Dion terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam di mobilnya sudah menunjukkan pukul 18.09. Dion kembali ke luar mobil dan berjalan mengikuti Ririn memasuki rumahnya.
"Kamu ngapain di situ?" tanya Ririn sekali lagi.
"Menunggumu"
"Kenapa kau menungguku?"
"Kau harus tahu"
"Apa?"
Dion menghembuskan nafasnya dengan berat.
"Jauhi aku"
"Maksudmu?"
"Jauhi aku jika kau ingin selamat"
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti"
"Kau tahu? Aku adalah seorang psikopat"
Ririn kaget mendengar pernyataan Dion. Yang ia tahu psikopat adalah sebuah kelainan atau pemyimpangan perilaku seseorang yang membuat seseorang dapat membunuh.
"Kamu jangan bohong Dion"
"Aku tidak bohong! Aku takut akan membunuhmu nanti"
"Tapi kau tidak akan membunuhku kan?" kini air mata Ririn mulai menetes satu demi satu.
"Aku tidak tahu"
"Aku yakin. Kau tidak akan melakukannya"
"Aku tidak tahu. Tapi aku suka melihat darahmu"
"Bohong!!" Ririn setengah berteriak ke Dion.
"Aku tidak menjamin tidak akan membunuhmu. Aku sudah membunuh orang tuaku. Dan aku yang membunuh Rian"
"Apa? Kau membunuhnya? Kenapa?"
"Karena ia menyakitimu. Tapi kau membenciku"
"Kenapa? Kamu jahat!!" isakan tangis Ririn semakin menjadi-jadi.
"Rin"
"Tinggalkan aku sendiri! Pergi!!" teriak Ririn penuh emosi. Dion hanya terdiam melihat Ririn yang kini terkulai lemas di lantai.
"Aku pergi"
"Pergi sana. Kah iblis yang tak punya hati" kembali Ririn mencaci-makinya. Dion berjalan keluar meninggalkan Ririn.

Love For PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang