A Secret

9.8K 610 0
                                    

Sudah 2 hari Dion tidak kembali ke rumah. Setiap kali Dian menanyakan keberadaan Dion,Tom selalu mengatakan belum ada kabar. Hal ini membuat perasaan Dian semakin tidak karuan. Ia bingung harus mencari kakaknya kemana lagi? Apakah ia harus mengatakannya pada polisi? Dian rasa tidak.
"Bagaimana kabarmu di luar sana kak" ucap Dian di sela-sela tangisannya. Walaupun ia kadang tak suka dengan perlakuan kakaknya namun sebenarnya ia menyayanginya.
"Apa yang harus ku lakukan?" tanya Dian pada dirinya sendiri. Tiba-tiba sebuah ide yang mungkin cemerlang terlintas dalam benaknya. Dion begini karena Ririn mengatakan ia membencinya. Bagaimana jika Ririn mengatakan isi hatinya pada Dion? Dian benar-benar yakin dengan idenya. Tapi ia kembali bingung. Ia tidak tahu alamat Ririn. Ia berjalan kesana-kemari untuk mencari ide yang lain. Kini sebuah ide kembali muncul dalam benaknya. Ia mengingat saat Dion mengatakan pernah ke rumah Ririn. Walaupun Dion bisa menyetir sendiri tetapi ia lebih suka di antar jemput oleh supir. Ririn yakin supir Dion tahu alamat Ririn. Tanpa berpikir panjang Dian segera bergegas ke rumah Dion.

Dian menghembuskan nafasnya saat ia berdiri di sebuah rumah yang berdiri megah. Sudah berapa tahun ia tak menasuki rumah ini bahkan lewat saja tidak pernah. Tidak ada perubahan pada gaya rumah ini. Ia melangkahkan kakinya mendekati pintu dan memencet bel. Tidak lama Tom datang membukakan pintu. Tom begitu terkejut melihat Dian, semenjak Dian lari dari rumah ia tak pernah mau kembali lagi.
"Apakah sudah ada kabar?" tanya Dian.
"Belum non. Saya sudah mengerahkan para anak buah saya untuk mencari tuan Dion tapi sampai saat ini dia belum kami temukan"
"Huh! Apakah kau tahu tentang Ririn?"
"Ia non. Tuan Dion pernah membawanya ke sini"
"Trus?"
"Hanya itu non yang saya tahu"
"Kau tahu alamatnya?"
"Tidak non. Tapi mungkin Muklis supir tuan tahu"
"Dimana dia?"
"Tunggu saya panggilkan"
Tidak menunggu terlalu lama kini Tom dan Muklis datang mendapati Dian yang tengah asyik memperhatikan kondisi rumah yang pernah ia tinggali.
"Ada apa non" tanya Muklis.
"Kau tahu alamat Ririn?"
"Tahu non"
"Kalau begitu antarkan aku kesana"
"Baik non"
Dian segera berangkat ke rumah Ririn. Kini ia sangat berharap pada Ririn. Kehidupan kakaknya kini ada di tangannya.

Mobil berwarna silver berhenti tepat di sebuah rumah. Dian melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah dengan perasaan takut. Ia takut Ririn akan memarahinya. Dengan ragu-ragu ia mengetuk pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka dan muncul seorang gadis sederhana yang begitu polos. Matanya sudah tidak sembab namun Dian masih dapat melihat ada duka yang sangat mendalam dalam dirinya.
"Siapa ya?" tanya Ririn ramah.
"Aku Dian"
"Dian? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu"
Dian hanya tersenyum.
"Bolehkah aku masuk?" tanya Dian.
"Oh ia. Maaf aku lupa"
"Tidak masalah"
"Silahkan duduk. Kamu mau minum apa?"
"Tidak perlu repot-repot. Aku hanya mampir sebentar untuk mengatakan sesuatu padamu" kini Dian menundukkan kepalanya.
Ririn duduk tepat di sampingnya.
"Kamu mengatakan pernah mendengar namaku? Tentu kau mengenal saudara kembarku"
"Siapa?" tanya Ririn bingung.
"Eldion. Aku Eldian"
Ririn teringat saat makan malam di rumah Dion. Dion sempat mengatakan nama Dian.
"Oh. Senang berjumpa denganmu" kata Ririn dengan senyum ramahnya. Dian dapat bernafas lega setidaknya Ririn tidak mengusirnya.
"Ia. Mungkin kau sudah tahu kelainan kakakku" tanya Dian penuh hati-hati.
"Ya. Dia mengatakannya padaku" kini raut wajah Ririn berubah.
"Kau tahu? Masa kecil kami sangatlah miris" Dian mencoba mengingat kembali masa lalunya.
"Aku dan Dion terlahir di sebuah keluarga yang berada. Orang tua kami adalah seorang pengusaha terkenal. Kami hanya dua bersaudara sekaligus kami anak kembar. Kami hanya beda 5 menit." Dian menghentikan ceritanya dan menarik nafasnya dalam-dalam. Terlihat Ririn sangat antusias mendengar cerita Dian. Dian kembali melanjutkan ceritanya.
"Namun orang tua kami tidak pernah mempedulikan kami. mereka hanya memikirkan uang uang dan uang tanpa memikirkan mental kami berdua. Mereka juga orang tua yang tempramental dan juga diktator. Mereka selalu memaksakan kehendaknya pada kami. Walaupun mereka pebisnis namun mereka kadang berada di rumah. Namun itu bukan berarti mereka memiliki waktu untuk kami" air mata Dian kini tak dapat ia bendung lagi. Ririn yang melihat itu mulai merangkul Dian mencoba menenangkannya. Dian kemudian melanjutkan kisahnya.
"Mereka ingin kami seperti mereka menjadi pengusaha kaya dan sukses. Namun kami tidak mau. Kami punya jalan sendiri. Sewaktu SD aku pernah memecahkan pot kesayangan ibuku. Ibu sangat marah dan memukulku. Dion yang melihat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menangis melihatku di pukuli. Saat ibuku pergi, ia datang menghampiriku dan memelukku. 1 kata yang ku ingat ia mengatakan "aku akan melindungimu" sejak saat itu ia memasuki komunitas ilmu bela diri secara diam-diam. Hanya aku dan supir pribadi kami yang tahu. Jika ayah dan ibu tahu mereka tentu akan menghukum kami bertiga. Saat itulah aku juga melihat perubahan pada diri Dion. Ia mulai menjadi pendiam,tak banyak bicara dan tentunya ia sangat kuat di mataku. Jiwa pembunuh sudah ada dalam dirinya saat kami kelas 2 SMP. Saat pulang sekolah aku memergokinya sedang membelah-belah mayat kucing yang mati di jalan. Bukannya ngeri ia malah tersenyum. Saat itu aku takut padanya. Aku tak pernah mengatakannya karena aku takut jika ia di hukum oleh ayah dan ibuku. Banyak hewan tetangga bahkan hewan peliharaan ibu dan ayahku ia bunuh dengan sadisnya. Hanya aku yang tahu" Dian menghentikan sejenak ceritanya untuk menghirup udara segar.
"Sampai saat akan masuk SMA, aku dan Dion sangat antusias memilih sekolah favorit kami, saat akan meminta tanda-tangan orang tua. Mereka merobek-robek formulir di mata kami. Mereka ingin kami sekolah di luar negeri untuk melanjutkan bisnis mereka. Saat itu Dion hanya menurut saja tapi aku bersikukuh tak ingin mengikuti kemauan mereka. Aku ingin bersekolah di tempat yang ku sukai. Akhirnya ayah sangat marah padaku. Ia mengambil rotan dan memukulku. Dion hanya memandangiku, namun saat kakiku mulai mengeluarkan darah,aku melihat mata Dion aneh. Ia memancarkan sinar kemarahan. Saat ayah akan memukulku lagi aku takut dan menutup mataku namun tiba-tiba ayah terjatuh di sampingku. Aku melihatnya mati di tangan Dion. Ia menusuknya dengan samurai. Ibuku datang. Ia sangat marah pada kakakku,belum sempat ia memukul Dion. Dion telah memutuskan kepalanya" isakan Dian kini semakin keras. Ririn hanya bisa mengusap-usap pundaknya agar ia bersabar. Ririn kemudian mengambilkan Dian segelas air agar dia bisa tenang. Air mata Ririn perlahan menetes satu demi satu. Saat kekuatan Dian kembali ia melanjutkan ceritanya "aku takut Dion akan membunuhku juga. Ia berjalan mendekatiku aku semakin takut. Namun ia menjatuhkan samurainya dan memelukku, ia mengatakan "aku sudah berjanji akan menjagamu. Tidak ada yang boleh menyakitmu" dia membawaku ke kamar dan kembali ke ruangan tempat mayat orang tua kami. Selang beberapa waktu para pelayan mengetahui bahwa ayah dan ibuku di bunuh. Aku hanya diam,aku takut Dion di penjara. Entah apa yang ia lakukan sehingga tidak ada barang bukti yang dapat di temukan" Dian menghentikan ceritanya. Ia menatap wajah Ririn yang sudah sembab.
"Saat itu aku sering melihatnya membunuh manusia dengan sadia hingga aku memilih melarikan diri. Aku bersembunyi di sebuah tempat sampah. Namun ia menemukannku dan mengajakku pulang. Aku mengatakan "aku tidak ingin tinggal dengan pembunuh" akhirnya ia memutuskan untuk memberikanku sebuah rumah dan membiayai kehidupanku."
"Hidupmu sangat berat" kata Ririn penuh simpati.
Dian hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Skarang ia menghilang. Aku takut ia akan membahayakan dirinya sendiri"
"Menghilang?"
"Ia. Sudah beberapa hari ia tidak kembali. Aku mohon kembalikan kakakku"
"Maksudnya?"
"Ia mencintaimu. Ia selalu menceritakannya. Namun hari itu ia datang dengan sangat emosi. Ia mengatakan ia membunuh orang yang kau sayangi. Ia membunuhnya karena dia menyakitimu"
"Apa yang harus aku lakukan"
"Aku hanya meminta untuk mengembalikannya ke rumah. Kau tak perlu membalas cintanya. Setidaknya kau bisa menerima dirinya"
Ririn terdiam. Ia memang mencintai Dion tapi juga membencinya karena ia membunuh Rian. Ia hanya bisa terdiam, Dian menatapnya penuh harap.
"Baiklah. Tapi aku tidak menjanjikannya"
"Trims Rin. Aku pulang dulu aku ingin melanjutkan mencarinya.
"Baiklah"
Dian berjalan ke luar dan di sambut oleh supir Dion. Ia kembali ke rumah Dion, ia lebih memilih kembali ke rumah itu untuk menunggu Dion di sana.

Love For PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang