Bismillah, selamat datang, selamat membaca, dan semoga suka aamiin.
**
"Bolehkah aku egois untuk kali ini ? Aku tidak mau merasakan kehilangan untuk yang kesekian kalinya"~Renjana Anindya Naeswari~
**
Renjana POV
"Harusnya sebagai cewek nggak sepantasnya Lo ngelakuin hal kayak gini. Serendah itu harga diri Lo sebagai seorang cewek ? Sampai-sampai Lo berani nembak cowok duluan." Ujar Dikta sarkas.
Aku berada diposisi yang membingungkan. Kenapa sejak Tari bilang bahwa dia akan menyatakan perasaannya pada dikta hatiku seolah berkata tidak rela. Aku seperti takut Dikta menjadi pacar Tari. Padahal jika aku memang tak punya perasaan apa-apa harusnya aku biasa-biasa saja kan ?
Disatu sisi aku marah ketika Dikta mengatakan kalimat sarkas itu pada Tari. Tak seharusnya Dikta melakukannya. Bukankah dengan menolak Tari seperti tadi sudah cukup mempermalukan tari ?
Tapi disisi lain aku juga merasa lega karena Dikta menolak untuk menjadi pacar Tari. Meskipun begitu tetap saja aku lebih marah ketika Dikta mengucapkan kalimat sarkas tadi.
Aku tahu, aku salah karena sebagai temannya Tari aku tidak bisa mencegah Tari untuk melakukan hal gila ini. Tapi namanya sudah cinta mau dicegah seperti apapun akan tetap memaksa iya kan?
Aku tahu, kalau Dikta tidak suka dengan Tari tapi bukankah hal ini bisa dibicarakan baik-baik tanpa harus mempermalukannya didepan banyak orang seperti ini.
Setetes air mata lolos dari kedua mata cantik Tari. Ia menangis. Perempuan mana yang tidak akan menangis jika disebut harga dirinya disebut rendah.
Aku menoleh dingin pada Dikta, aku pun menarik tangan Tari. "Udah tar, kita pergi dari sini ya ? Kita tenangin dulu fikiran Lo." Aku membawa tari menjauh dari kerumunan orang-orang tadi.
Sementa dhara yang terlanjur marah ia pun memaki Dikta habis-habisan sebelum mengikutiku. "DASAR COWOK BRENGS*K GAK BISA HARGAIN PERASAAN CEWE YANG SUKA SAMA DIA." Sayangnya amarah dhara tersebut Hana dianggap angin lalu oleh Dikta, ia melengos pergi begitu saja.
Aku membawanya ke taman belakang sekolah dan berusaha untuk menenangkannya. Dia masih menangis sesenggukan dipelukanku.
"Gue kurang apa Ren, kenapa Dikta nolak gue?" Tari terus saja berbicara sembari menangis.
Aku bingung harus menjawab bagaimana. Karena jika salah bicara aku takut menyakiti hati Tari lagi.
"Enggak tar, Lo nggak kurang apa-apa." Ujarku mencoba menenangkan Tari.
"Seburuk itu ya gue dimana Dikta? sampai Dikta gak mau lihat usaha gue buat dapetin dia."
"Enggak bukan gitu,"
"Udah ya mendingan Lo lupain dulu kejadian tadi. Lo harus tenangin dulu fikiran Lo."
"Tapi gue gak bisa Ren, kejadian tadi itu bener-bener bikin gue ngerasa jatuh se jatuh-jatuhnya, padahal gue udah bersusah payah buat ngumpulin keberanian." Ujarnya dengan napas tersendatnya.
Setelah percakapan itu, kami berdua sama-sama diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
Bagaimana jika memang ternyata benar aku menyukai Dikta? Apakah aku akan menjadi teman yang jahat bagi Tari ?. Aku tak mau jika sampai hal itu terjadi.
Tapi disisi lain, aku juga tidak mau kehilangan Dikta, Dikta yang selalu menjagaku setiap hari, membuatku merasa aman ketika berada didekatnya.
Dhara tiba-tiba datang dengan membawa sebotol air minum.
KAMU SEDANG MEMBACA
R E N J A N A
Roman pour Adolescents"Tentang mereka' yang tak diizinkan bahagia oleh semesta , dengan badai berkepanjangan serta dengan luka yang tak kunjung sembuh."