Chapter 13. Semesta yang tidak adil (2)

15 9 1
                                    

Bismillah, selamat datang, selamat membaca, dan semoga suka aamiin.

**
"setiap orang punya bagian bahagia dan sedihnya masing-masing, jika bahagia mu tidak terjadi hari ini , mungkin akan terjadi besok. Dan jika  besok masih belum terjadi, mungkin Tuhan mau kamu berusaha lebih keras untuk mendapatkan bahagiamu itu."

~Raditya Dikta Mahendra~
**

Renjana POV

Renjana Anindya Naeswari

Dinyatakan:

Mengidap Gagal jantung stadium akhir.

Begitulah separuh isi dari surat yang barusan aku baca.  Gagal jantung stadium akhir? Tak pernah terlintas dikepalaku aku akan mengidap penyakit tersebut.

Aku ingin menangis, tapi kepada siapa harus menangis, Andai saja kak Altair ada disini sekarang, mungkin ia akan menjadi orang yang paling erat memelukku saat ini.

Pertahanan ku untuk tidak menangis akhirnya runtuh. Setetes air mata berhasil meluruh dari kedua mataku "Kak, semesta jahat kak, semesta nggak ngizinin gue untuk bahagia," aku menangis memanggil-manggil nama kak Altair meskipun aku tahu bahwa ia tidak akan pernah tiba-tiba muncul dan memelukku.

Akankah aku sanggup menanggung semuanya sendirian? Disaat luka-luka lama ku belum sembuh sepenuhnya, tapi justru tuhan malah memberiku luka baru yang hanya bisa aku peluk sendirian.

"Kepada siapa gue harus mengadu kak, disaat rumah satu-satunya yang gue punya kini udah nggak ada."

"Bahkan mama gue sekalipun, gak ada disaat gue lagi kayak gini kak." Aku terus saja bermonolog demikian, sembari tak henti-hentinya meneteskan air mata.

Aku menangis, menangisi diriku sendiri yang begitu malang, dan menangisi takdir hidupku yang begitu rumit. Aku tidak mengerti mengapa Tuhan begitu yakin jika aku akan sekuat itu untuk menghadapi semua takdir yang ia ciptakan.

**

Hari ini, aku memutuskan untuk memaksakan diri untuk pergi ke sekolah. Seperti biasa, Dikta datang menjemputku, padahal aku tidak minta dijemput sama sekalii.

Aku, pergi kesekolah bukan karena aku sudah benar-benar sembuh, hanya saja, aku ingin sedikit mengalihkan pikiranku agar tidak terus larut dalam kesedihan itu.

Aku, ingin menikmati sisa-sisa hidupku dengan bahagia dan tenang. Meskipun aku tahu, jika bahagia itu, mungkin sedikit sukar untukku.

Selama diperjalanan, aku tidak banyak bicara seperti biasanya. Bahkan tadi Dikta sempat bertanya padaku. Kenapa aku lebih murung dari biasanya. Aku hanya menjawab bahwa aku sedang malas berbicara.

Lain halnya dengan Dikta yang tak berhenti berceloteh selama perjalanan, dia menceritakan hal-hal random yang terjadi ketika aku tidak masuk sekolah. Meskipun begitu, Hal itu cukup membuatku merasa sedikit lebih baik daripada sebelumnya.

"Aaaaaaaa Renjana Lo kemana ajaaaaa sakit apaan sampe Lo nggak masuk hampir seminggu." Itu dhara suara cemprengnya langsung menyambutku ketika aku baru saja memasuki ruang kelas.

"Gue, ada kok, gak kemana-mana."

"Kok Lo makin kurus aja sih rennn, Lo gak pernah makan? Mana sekarang muka Lo pucet banget gini lagi. Padahal Lo kalau masih sakit jangan maksain sekolah." Masih Sura dhara, dia terus saja berbicara padaku layaknya seorang ibu bmyang sedang memarahi anaknya.

R E N J A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang