20. Lelaki Es

11 0 0
                                    

"Kamu!"

Laki-laki di depanku menatap tajam. Alis tebalnya membingkai kokoh. Hidungnya yang tinggi dan lancip menegaskan apa yang ada dalam sorot itu. Aku membuang pandangan.

Panggilannya tertahan, tepatnya ada penekanan yang seolah mengintimidasiku. Dia tidak ingin "permusuhan" diantara kami didengar oleh ibunya dan Bunda.

Kalau saja bukan karena Bunda, enggan rasanya aku bertemu makhluk ini. Tadi kupikir mungkin dengan berdamai dengan keadaan, setidaknya ada penerimaan hangat dari orang yang ingin Bunda pertemukan denganku.

"Seharusnya, kamu jangan mau dibawa ke sini. Bikin runyam keadaan saja, " ujarnya perlahan, dingin dan ketus.

Aku kaget dan kembali menoleh. Andai saja ini bukan rumahnya, aku ingin sekali berteriak bahkan sedikit memberinya sedikit pelajaran karena sudah berani melecehkan seorang Anindira.

Ya aku, Anindira Birdella Kyrania. Perempuan yang pemberani, cerdas, dan memegang teguh prinsip.

"Lihat saja, kau akan menarik ucapanmu ini suatu saat nanti," runtukku dalam hati.

Saat ini diam adalah solusi yang tepat. Kubuang pandangan ke arah lain. Bunda terlihat bahagia bertemu dengan Tante Hanina, ibu laki-laki ketus ini. Mereka sengaja mengambil tempat lain di rumah ini untuk bercengkerama. Sementara aku harus puas duduk di ruang tamu bersama laki-laki yang tidak menghendaki kehadiranku.

Tiba-tiba dari tangga turun sosok lain yang kukenal sebelumnya. Dia tersenyum dan kemudian menyapaku. Sempat dia melirik laki-laki itu.

"Kak Dira, apa kabar?" Kiyoko, gadis cantik yang usianya di bawahku tiga tahun datang memeluk.

"Kabar baik, Ki!" jawabku sambil tersenyum.

Untunglah dia datang. Jika tidak, habis sudah aku menjadi bulan-bulanan kemarahan kakaknya yang sedari tadi diam seperti patung.

"Mas, diam aja. Ada Mbak Dira di depan mata dianggurin," tegur Kiyoko.

Arion Mahawira. Nama laki-laki itu.
Dia mendengus kesal. Namun, tatapannya tak mau beralih. Seolah-olah dia hendak memakanku bulat-bulat.

"Kak, ngobrolnya pindah aja, yuk, di ruang sana aja! Aku ada koleksi novel baru yang di beli tadi siang. Pasti Kakak suka." Gadis itu menawarkan dan tanpa pikir panjang aku menyetujuinya. Kiyoko pastinya juga tahu, jika kakaknya bukan tuan rumah yang baik.

Fyuuhh ... sedikit lega rasanya. Kini aku berada di ruangan lain. Kulihat laki-laki tadi pergi entah ke mana. Bodo amat, emang gue pikirin!

Aku kemudian tenggelam dalam obrolan dengan gadis itu. Anak yang ramah dan santai. Berbeda sekali dengan kakaknya, Arion. Tak lama kemudian, Bunda memasuki ruangan tempat aku dan Kiyoko berada. Ada Tante Hanina membersamai. Beliau mengerutkan keningnya.

"Arion ke mana?" tanya perempuan paruh baya yang masih cantik itu.

"Engga tau, Tante," jawabku sopan.

"Dia paling balik lagi ke kamarnya. Tadi aja Mbak Dira didiemin. Ya, mana ada perempuan yang betah sama dia, Ma!" Kali ini Kiyoko menyahut pertanyaan mamanya. Ada nada gusar dari ucapan gadis itu.

Kulihat Tante Hanina menggelengkan kepalanya. Bunda tertawa kecil.

"Udahlah, Nin! Biarkan dulu. Biar anak-anak saling mengenal secara alami. Lagian mereka harus banyak belajar juga. Masih muda 'kan gitu," kata Bunda sambil mengusap lengan mama Kiyoko dan Arion.

Rasa aku ingin segera pergi dari rumah itu. Lagian juga Bunda, sih, untuk apa aku diajak ketemu sama makhluk itu. Meskipun umurnya lebih tua dariku tiga tahun, tetap saja tidak dewasa di mataku. Arion memang ganteng, tetapi kekanak-kanakan.

"Nin, kayak udah sore, nih. Aku pamit dulu, ya! Ayahnya Dira bentar lagi pulang. Di rumah cuma ada si kembar. Nantilah aku hubungin lagi lewat WhatsApp." Bunda menyentuh bahu Tante Hanina hendak berpamitan.

Nah gitu dong, Bun! Dari tadi kek. Rasanya kok engga nyaman di sini," sungutku dalam hati.

Aku buru-buru memesan taksi online lewat aplikasi, jadi bisa buru-buru keluar dan bermain dengan sahabatku. Selesai!

Setelah itu aku segera menghampiri Tante Hanina dan  sambil tersenyum aku mencium tangannya. Beliau membalasnya dengan mengecup kedua pipiku. Begitu juga kepada Bunda. Supaya tidak lama seremoni perpisahan dua sahabat di depan pintu, Bunda segera kutarik keluar pintu rumah. Tante Hanina melambaikan tangan dan mengantarkan kami sampai depan pagar.

Sampai di depan pagar aku merasa ada seseorang tengah memandangku dari belakang. Instingku bergerak. Tanpa sadar, kualihkan pandangan. Berbalik menghadap rumah Tante Hanina.

Di atas sana, di balkon lantai dua seseorang tengah memandangku. Dingin dan sedikit cemberut. Arion.

Asem amat. Sialan!

Kuangkat dagu angkuh dengan sedikit tatapan sinis. Aku kembali ke posisi semula. Membelakanginya. Bunda masih saja ngobrol dengan Tante Hanina. Tak lama taksi online pesananku datang. Aku menarik Bunda agar segera masuk. Kulihat lagi ke atas balkon. Laki-laki itu udah tidak ada lagi. Syukurlah!

"Bun, besok-besok enggak usah deh ajak aku ke rumah Tante Hanina, bisa 'kan?" rajukku sambil mempermainkan ponsel di tangan.

Kami baru saja sampai di rumah menjelang Magrib. Ayah rupanya sudah sampai dari tadi dan kini sedang menonton televisi di ruang tengah bareng si kembar.

"Kenapa?"

"Males ketemu Arion."

"Males atau kangen?" Tiba-tiba Ayah sudah ada di hadapan kami.

"Dih, siapa yang kangen sama makhluk astral gitu. Sebel. Tadi aja wajahnya jutek gitu." Cemberutku.

"Sekarang bilangnya sebel. Besok-besok benci ... benar-benar cinta!" goda Ayah yang dukung oleh Bunda yang ikut tertawa.

"Sstt ... dia calon suami yang baik buat kamu lho, Dira!" Bunda menjawil pipiku.

"Calon suami? Sejak kapan ada ada nama dia dalam kamus calon pendamping hidupku?

*****

Arion Mahawira. Dia bukan orang asing bagiku. Tapi, kupikir lebih baik jadi orang asing. Tak kenal satu sama lain walaupun Tante Hanina adalah Ibunya.

Aku sedikit heran saja. Ibunya dan adik semata wayangnya begitu ramah dan baik jauh berbeda dengan anaknya yang satu ini. Bagai langit dan bumi. Kiyoko usianya tiga tahun di bawahku. Dia sering bertemu denganku jika Mamanya main ke rumah. Sementara Arion, aku lupa sudah berapa lama tidak melihat batang hidungnya semenjak memutuskan kuliah di Singapura. Entah empat atau lima tahun yang lalu.

Kupikir, kedatanganku ke rumah Tante Hanina tempo hari akan bertemu dengan sosok laki-laki sabar dan santun yang akan menerimaku dengan senyum yang indah dan hati yang tulus. Nyatanya ... laki-laki kutub selatan berhati es yang menyambutku.

Aihh ... mana hasil sekolah di luar negeri itu! Jangan sampai ilmu tinggi tidak dibarengi dengan adab yang baik.

Karena hal itu, aku bertekad untuk menolak perjodohan itu dan lebih baik memacari lelaki yang sering kulihat di pelataran masjid kampus dengan wajah teduhnya.

P U L A N G (Kumpulan Cerita Pendek) (Dalam Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang